Selamat Datang di Blog saya

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kamis, 08 April 2010

Susno dan Reformasi Penegak Hukum

Susno dan Reformasi Penegak Hukum
Oleh Tjipto Subadi

Suara Karya Kamis, 8 April 2010
Tidak ada yang menduga, tudingan yang dilancarkan mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen (Pol) Susno Duadji dalam konferensi pers di sebuah Rumah Makan Padang di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (18/3), berhasil mengguncangkan sendi-sendi hukum di Indonesia. Betapa tidak, institusi penegak hukum seperti Polri, kejaksaan, dan kehakiman bagaikan terkena gelombang tsunami, sementara institusi Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak, bagaikan diguncang gempa berkekuatan 9 skala richter.
Seperti disiarkan secara langsung sebuah stasiun televisi swasta, sebenarnya waktu itu Susno Duadji tidak bersedia menunjuk hidung langsung siapa pejabat Mabes Polri yang terlibat markus pajak Rp 25 miliar dengan aktor Gayus Tambunan, PNS golongan III A Ditjen Pajak. Namun, karena desakan para wartawan, akhirnya Susno Duadji menunjuk langsung meski dengan nama inisial, yakni lima perwira yang terdiri dari 2 brigjen, 1 kombes, 1 AKBP, dan 1 kompol. Untuk kedua brigjen dengan inisial RE dan EI, jelas keduanya adalah Brigjen (Pol) Raja Erizman, Direktur II Eksus Bareskrim Mabes Polri, dan Brigjen (Pol) Edmond Ilyas, Kapolda Lampung. Sekarang Edmond Ilyas sudah dicopot, sedangkan Raja Erizman sedang menunggu giliran.
Namun, kejanggalannya, sebelum keduanya diperiksa oleh tim khusus yang dipimpin Irjen (Pol) Matius Salempang (Kapolda Kaltim), justru Susno yang melaporkan kasus korupsi dan terbukti sekarang benar sudah ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka dengan dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran kode etik oleh Divisi Propam Mabes Polri. Dengan ditetapkan sebagai tersangka, Susno selain terancam ditangkap sewaktu-waktu juga diwajibkan setiap hari melapor ke Mabes Polri.
Antara Intelijen dan Propam Mabes Polri pun terjadi perbedaan pendapat dalam memeriksa Susno. Intelijen di bawah Irjen (Pol) Saleh Saaf menyatakan tidak ada masalah, sedangkan Propam menganggap terjadi pelanggaran kode etik dan pencemaran nama baik. Memang kode etik Polri menyebutkan, setiap anggota Polri dilarang mengungkapkan kejelekan yang terjadi di tubuh Polri. Dengan kata lain, setiap anggota Polri haram hukumnya mengungkapkan di depan publik segala keburukan yang terjadi di tubuh korps baju cokelat tersebut.
Peraturan inilah yang sesungguhnya menghambat reformasi di tubuh Polri dan membuat makin suburnya markus (makelar kasus) dan mantan (makelar jabatan) berkeliaran di Trunojoyo, sebutan untuk Mabes Polri.

Markus Pajak
Tidak dapat kita bayangkan jika sebagian dari 32.000 pegawai Ditjen Pajak seluruh Indonesia bermental korup seperti Gayus Tambunan. Katakanlah 10 persen saja yang bermental korup seperti Gayus, yang meski dengan gaji Rp 12,7 juta per bulan, tetapi memiliki rekening hingga Rp 25 miliar dan sejumlah rumah mewah. Padahal, berdasarkan aturan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kalau seseorang memiliki rekening Rp 25 miliar, berarti total kekayaannya bisa mencapai 10 kali lipatnya atau Rp 250 miliar. Jika dihitung secara matematis, maka keuangan negara yang dirugikan para "Gayus" di Ditjen Pajak sebesar 3200 X Rp 25 miliar atau sama dengan Rp 80 triliun per tahun. Padahal, pegawai Ditjen Pajak yang bermental korup seperti Gayus diperkirakan jumlahnya lebih dari 10 persen.
Setiap satu rupiah penerimaan hasil pajak tidak hanya menjadi tulang punggung pembangunan negara, tetapi juga pembiayaan APBN. Pada APBNP 2009, target penerimaan pajak mencapai Rp 726,3 triliun dengan APBNP sebesar Rp 1.003, 07 triliun. Padahal, realisasi belanja APBNP 2008 hanya sebesar Rp 985,3 triliun, sedangkan realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 566,2 triliun atau Rp 31,7 triliun di atas target. Dengan demikian, dengan munculnya kasus markus pajak, diperkirakan penerimaan pajak jauh berkurang dari target tahun ini.
Barangkali Indonesia satu-satunya negara Asia yang terus menaikkan target pajaknya, sementara pelayanan kepada masyarakat pembayar pajak makin menurun kualitas dan kuantitasnya. Di Indonesia tidak ada satu pun yang tidak dipajaki termasuk beribadah, seperti ibadah haji. Selain itu masih ada pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn), bea meterai, pajak bumi dan bangunan (PBB), bea cukai, bea masuk, pajak ekspor, pajak kendaraan bermotor, pajak reklame, pajak retribusi dan sebaginya.
Pajak menjadi pos utama pendapatan negara. Tanpa pajak, dapat dipastikan negara akan kolaps. Makin besar pajak, maka makin besar ekonomi biaya tinggi dan harga barang, termasuk kebutuhan pokok meningkat, sehingga rakyat kecil makin menjerit. Jika aksi boikot pajak sejuta dukungan melalui facebooker terlaksana, maka tidak dapat dibayangkan bagaimana kondisi negara nantinya. Jika rakyat memboikot bayar pajak, negara akan ambruk.

Reformis
Memang sesungguhnya sistem ekonomi kapitalis atau neoliberal yang dianut di Indonesia sekarang selalu menjadikan pajak sebagai pos utama pendapatan negara. Maka, sangatlah banyak jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat, tidak peduli mereka kaya atau miskin.
Tampaknya keinginan para pengusaha yang ingin membayar pajak seringan-ringannya itulah yang dimanfaatkan para "Gayus" di Ditjen Pajak untuk melakukan korupsi. Gayus sendiri tercatat menangani pajak 149 perusahaan besar, nasional maupun internasional.
Namun, sesungguhnya fenomena Gayus hanyalah puncak gunung es dari kasus serupa yang terjadi di Ditjen Pajak. Gayus hanyalah aktor kelas teri yang sengaja dikorbankan. Masih ada aktor kelas kakap dan hiu yang belum tersentuh hukum.
Menjadi tugas berat dari Kementerian Keuangan dan aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi di Ditjen Pajak. Sebab, tidak tertutup kemungkinan nilai total keuangan negara yang dirugikan bisa melebihi kasus Century dan BLBI. Jika kasus markus pajak itu bisa diungkap secara tuntas, dapat dipastikan terjadi efek kartu domino yang berimbas pada Mabes Polri, Kejagung, kehakiman, dan Ditjen Pajak. Maka, ungkapan yang tepat untuk membongkar kasus korupsi yang menghebohkan itu adalah "jangan menyapu lantai kotor dengan sapu yang kotor". Para aparat penegak hukum yang dipilih untuk membongkar kasus ini harus benar-benar bersih dari kasus korupsi sekelas mantan Jaksa Agung, almarhum Baharuddin Lopa.
Dengan demikian, sesungguhnya Komjen (Pol) Susno Duadji dapat dianggap sebagai pahlawan yang berhasil membongkar kasus korupsi di berbagai lembaga penegak hukum, sekaligus pahlawan bagi reformasi di tubuh Polri. Terlepas dari tudingan bagi Susno sendiri.
Gebrakan Susno dapat menjadi momentum bagi dimulainya reformasi di tubuh aparat penegak hukum. Sesungguhnya Susno Duadji telah tercatat dalam sejarah sebagai tokoh reformis, tidak hanya di tubuh Polri, tetapi juga kejaksaan, kehakiman, dan Ditjen Pajak. ***
Penulis adalah dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar