Selamat Datang di Blog saya

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kamis, 08 April 2010

Pemimpin Yang Amanah
Suatu Analisis Imam dari Perspektif Islam)
Oleh : Dr. H. Tjipto Subadi, Drs, M.Si


Sebagaimana layaknya seseorang menyampaikan pidato, kalimat segala puji semata-mata untuk Allah SWT sering digunakan sebagai kalimat pengantar dengan maksud untuk pencerahan berpikir sekaligus mengingatkan kepada pendengar bahwa hanya kepada-Nya sesorang wajib memuji, mengharapkan pertolongan, memohon petunjuk, memohon ampun dan bertobat. Kalimat ini juga menerangkan bahwa semua yang ada ini adalah ada yang lebih berkuasa, semua yang terjadi ini tidak bisa lepas dengan kekuasaan-Nya, dan juga mengingatkan bahwa manusia ini tidak memiliki apa-apa, lemah, tidak berdaya, dan bergantung hanya kepada-Nya.
Kalimat berikutnya adalah salam dan shalawat kita sampaikan kepada Nabi Muhammad, hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah sang pelita penerang yang dengannya Allah menerangi seluruh kegelapan di dunia. Ia diutus oleh Allah dengan berbekal petunjuk dan kebenaran yang nyata. Nabi Muhammad disamping sebagai utusan Allah. Ia mendirikan suatu pemerintahan dengan dakwah sebagai landasan setiap kebajikan. Al-Quranul Karim memberikan penjelasan kepada semua manusia, bahwa:
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaa-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan seizing-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 16).

Risalah ini membahas dasar-dasar pemerintahan dan masalah hak dan kewajiban penguasa atas rakyat. Sumbernya adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Al-Quran ibarat mata air yang selalu mengaliri risalah ini, sedangkan Sunnah bagaikan awan yang senantiasa menaunginya. Pada gilirannya akan terwujud system pemerintahan yang banyak memberikan informasi yang benar yang menjadi tolok ukur, acuan dan pandangan hidup bangsa dan negara.
Manakala kelompok pendukung kebenaran (sebut saja di Indonesia kelompok Islam/mayoritas) tidak mampu mengangkat suara, kondisipun mengalami krisis. Terjadilah dominasi negatif dikalangan masyarakat luas sampai kepada batas yang sangat fatal sehingga hanya terdapat perbedaan sangat tipis antara kebenaran dengan kebatilan bahkan ironisnya kebalitan bisa menjadi kebenaran. Pada saat itulah negara akan mengalami disintegrasi system undang-undang. Terbentuklah system pemerintahan dengan si kuat bertindak sebagai diktator. Penguasa memaksa rakyatnya mematuhi segala bentuk undang-undang yang dibuat berdasarkan hawa nafsu. Sytem demokrasi manjadi sarana legitimasi segala keputusan yang diambil demi kepentingan sekelompok kecil orang. Akibatnya bagi mereka, kebenaran Al-Quran dan Sunnah terbatas pada opini sesuai dengan pepentingannya, yang hijau menjadi kering, tatanan masyarakat yang sebelumnya dilandasi oleh nilai-nilai luhur manjadi berantakan. (Ismail, 1995:10). Padahal Jeze mengatakan bahwa kebaikan system demokrasi menghormati opini mayoritas, namun tidak untuk jangka panjang. (Jeze 1924: 410)
Uraian di atas mengingatkan sejarah bahwa setelah berakhirnya system khalifah di Turki pada tahun 1924 dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam. Selama masa penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum musliman tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran agama mereka secara jalas, komprehensip dan tuntas mengenai berbagai masalah.
Untuk kurun waktu yang cukup lama, kaum muslimin secara sengaja dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam oleh penjajah Barat dan dalam proses alienasi masyarakat Islam dari agamanya itu, kolonialisme dan imperialisme Barat itu melakukan “wisttoxication” atau proses peracunan Barat atas dunia Islam. Setelah mengalami proses ini sebagian masyarakat Islam kemudian dihinggapi penyakit yang oleh Abdulhassan Banisadr di sebut “westomania” penyakit kejiwaan yang menganggap Barat adalah segala-galanya. Padahal tidak. (Rais, 1990:7).
Lalu bagaimana idealnya suatu konstitusi dan bentuk pemerintahan yang amanah yang mampu menyatukan umat? Islam bersifat pasti, dan menyakinkan dalam semua prinsip umum, sesuai untuk setiap waktu, tempat dan bangsa. Karenanya bila prinsip-prinsip Islam dijalankan oleh setiap orang di suatu negara termasuk Indonesia maka akan baiklah negara itu. Al Quran Surat Al A’raf 96 mengisyaratkan bahwa:
“Jikalau penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa disebabkan karena perbuatannya”(Q.S. Al A’raf 96)

Lantas bagaimana kekuasaan menurut ajaran Islam? Ajaran Islam memberikan arahan tentang kekuasaan bahwa kekuasaan itu merupakan amanah Allah SWT, sebagai penjilmaan dari misi kekhalifahan manusia di muka bumi, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan bahwa kekuasaan tersebut bersifat mas’uliyyah (responsibility) dan amanah (credibility), serta berfungsi untuk melayani kepentingan rakyat.
Untuk bisa melaksanakan kekuasaan yang amanah tersebut dibutuhkan pemimpin yang memiliki kriteria kepemimpinan nasional religiusitas, kriteria kepemimpinan nasional ini akan mengantarkan terwujudnya pemerintahan Indonesia yang good govemence kepemerintahan yang baik atau hal menjalankan kekuasaan negara secara baik. Kriteria kepemimpinan itu antara lain: (1) integritas; memiliki kekuatan moral dan intelektual (amanah dan fathanah) (2) kapabilitas; kemampuan memimpin bangsa, mampu menggalang dan mengelola keberagaman/kemajemukan kekuatan yang sinergis (3) mempunyai iman dan taqwa yang kuat (4) populis; berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat (5) visioner; memiliki visi yang strategis untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan mandiri (6) berjiwa negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa (7) memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional, dan (8) berjiwa reformis; memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi. (Suara Muhammadiyah, 2003; 5)

Disamping kriteria kepemimpinan yang religiusitas tersebut di atas, dalam proses memimpin bangsa, pemimpin yang amanah harus mengedepankan nilai-nilai dasar kehidupan politik yang sesuai dengan perspektif ke-Tuhanan.

Pertama, keadilan (al’adaalah) sebagaimana di Firmankan Allah dalam Al-Quran Surat Al A’raf 29, yang artinya; Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan dan katakanlah luruskan muka (dirimu) disetiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya. (Al A’raf 29).

Dalam surah yang lain Allah menegaskan bahwa;
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu, sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat (An-Nisaa’ 58)

Orang-orang yang beriman dalam hal memilih pemimpin, diarahkan oleh Allah agar tidak salah pilih, Al-Qur’an Surat Al Maidah ayat 57 dengan tegas Allah berfirman yang artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, yaitu di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertaqwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman(Al Maidah 57).

Kedua,persaudaraan (al-ukhuwwah) seperti dijelaskan dalam surat al-Hujuraat ayat 10 yang artinya;Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (Al Hujuraat 10).

Ketiga, persamaan (al-musawamah) hal ini sesuai dengan dalil al-Quran Surat Ali Imran ayat 195. Keempat, musyawarah (al-suuraa) sebagaimana Firman Allah dalam Surat al-Syura 38, al-Baqarah 233 dan Ali Imran 159. Kelima,pluralisme (al-ta’adudiyyah) sesuai Firman Allah Surat al-Hujrat 13. Keenam, perdamaian (al-silm). Ketujuh, pertanggungjawaban (al-mas’uliyyah). Dan kedelapan, otokritik (al-naqd al-dzaaty) sebagaimana Firman Allah dalam Surat al-Isra’ ayat 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar