Selamat Datang di Blog saya

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jumat, 09 April 2010

Pat Gulipat di Bank Century

Tahun 2009 tepatnya Kamis 3/9/2009 sebelum publik membertakan skandal bank Century, saya telah menulis kasus bank Century, dengan Judul Pat Gulipat di Bank Century, tulisan saya ini dimuat di Harian Suara Merdeka. Edisi Kamis 3/9/2009. Selengkapnya anda bisa membaca tulisan di bawah ini.


Pat Gulipat di Bank Century
Oleh Tjipto Subadi

SuaraMerdeka,Kamis 3/ 9/2009

MASIH terasa dalam ingatan kita kurang lebih 10 tahun lalu, pascakrisis moneter melanda Indonesia, pemerintah Orba mengucurkan utang secara besar-besaran kepada para pemilik bank yang kolaps. Ditaksir mencapai Rp 150 triliun. Kalau ditaksir dengan nilai saat ini sudah mencapai Rp 700 triliun atau 70 persen APBN 2009; suatu jumlah yang luar biasa besarnya.

Namun apa yang terjadi, ternyata para pemilik bank swasta tersebut lari ke luar negeri beserta utang-utangnya sehingga negara dirugikan ratusan triliun rupiah. Pasalnya, setelah aset mereka disita dan dijual ternyata tidak seimbang dengan nilai utang sehingga menjadi skandal perbankan terbesar di Indonesia. Itu dikenal dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Setelah 10 tahun berlalu, skandal itu terulang kembali meski dalam konteks lebih kecil dari sisi nilainya, yakni ’’hanya’’ berupa suntikan dana Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,762 triliun. Itu dikenal dengan skandal Bank Century atau skandal BLBI jilid II.

Dalam skandal ini nilai kerugian negara mencapai kurang lebih Rp 5 miliar. Pasalnya, jika ditaksir nilai aset Bank Century (BC) hingga 2011 nanti saat LPS melepas kepemilikannya hanya Rp 1,5 triliun.

Seharusnya BC tidak perlu ditolong dan dibiarkan kolaps sebagaimana Bank Indover. Jika BC sampai ambruk, dapat dipastikan tidak akan berdampak terhadap perekonomian nasional karena kecilnya nilai aset BC bila dibandingkan dengan potensi perekonomian nasional.
Sakit Padahal dalam sejarahnya, sebelum merger tahun 2004 lalu Bank Century masih bernama Bank CIC. Waktu itu dalam kondisi sakit. Dari laporan keuangan 2003-2004, Bank CIC terus merugi. Namun setelah merger dan berganti nama menjadi Bank Century, total asetnya tahun 2005 mencapai Rp 13 triliun dan 2006 mencapai Rp 14,5 triliun.

Sedangkan surat berharga luar biasa tahun 2005 sebesar Rp 2,49 triliun dan 2006 Rp 3,62 triliun. Namun total biaya operasi BC tahun 2005 minus Rp 177 miliar dan 2006 berubah menjadi plus Rp 99 miliar. Total aset tahun 2008 sebesar Rp 15,23 triliun ketika Rp 9,279 triliun di antaranya dana pihak ketiga. Padahal setelah ambruk, LPS hanya menjamin Rp 5,2 triliun dari dana pihak ketiga sehingga Rp 4,09 triliun tidak masuk dalam penjaminan LPS.

Diduga kebangkrutan Bank Century disebabkan karena dua deposan besar, yakni Putra HM Sampoerna dan jaringan bisnis keluarga bos Merco Grup Arifin Panigoro menarik dana. Putra HM Sampoerna diperkirakan menarik dana sebesar Rp 3 triliun sementara jaringan bisnis keluarga Arifin Panigoro Rp 1 triliun.

Namun yang mengherankan, mengapa Menkeu Sri Mulyani melalui LPS berusaha keras untuk menyelamatkan Bank Century meskipun sudah dalam kondisi payah sekali dengan menyuntikkan dana Rp 6,762 triliun dalam empat periode. Bisa jadi dimaksudkan untuk menyelamatkan dua deposan tersebut atau ada strategi lain. Tetapi yang jelas hal itu menciptakan skandal Bank Century seperti sekarang ini. Menkeu bukannya menghukum bankir nakal, tetapi justru berusaha menolongnya dari kebangkrutan.

Lebih mengherankan lagi mengapa Menkeu tidak pernah memberitahu Wapres Jusuf Kalla soal suntikan dana ke BC dan dilakukan sewaktu Presiden SBY berkunjung ke luar negeri? Padahal sebelumnya oleh DPR hanya diizinkan dana suntikan sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan demikian penyuntikan dana (bailout) tersebut tanpa konsultasi dengan DPR sehingga terjadilah penggelembungan suntikan dana ke BC hingga lebih dari Rp 5,4 triliun.
Suntikan Adapun LPS sampai empat kali menyuntikkan dana ke Bank Century. Pertama pada 23 November 2008 senilai Rp 2,776 triliun (modal untuk mengembalikan rasio kecukupan modal/ CAR Bank Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen). Kedua pada 5 Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun.

Ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun untuk menutup kekurangan CAR berdasar hasil perhitungan BI. Keempat pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar. Dengan demikian, total suntikan dana yang dikucurkan LPS mencapai Rp 6,762 triliun.

Ternyata dari surat berharga BC itu sebanyak 56 juta dolar adalah bodong. Pada 3 Nopember 2008, BC dinyatakan telah gagal bayar. Sementara pada 13 Nopember BI menyatakan BC tidak sistemik.

Tetapi anehnya seminggu kemudian pada 21 Nopember, BI menyatakan BC sistemik dan menyerahkannya ke LPS. Dengan demikian, sesungguhnya LPS telah menerima barang yang sudah berkualitas buruk alias rongsokan.

Maka tidaklah mengherankan jika LPS sempat menolak penyerahan karena semula menggunakan neraca pada 30 Oktober bukannya neraca 20 November. Padahal LPS menerima penyerahannya pada 21 Nopember 2008.

Padahal pada neraca 30 Oktober injeksi ke BC sebesar Rp 1,55 triliun, sementara pada neraca 20 November injeksi ke BC telah mencapai Rp 2,65 triliun dengan CAR 8 persen. Hal itu menunjukkan kualitas pengawasan di BI sangatlah buruk sehingga menyebabkan terjadinya skandal BC tersebut.

Sekarang ada yang perlu dipertanyakan kepada otoritas moneter terutama Menkeu dan Gubernur Bank Indonesia. Pertama, mengapa terjadi perbedaan keputusan Bank Indonesia hanya dalam waktu seminggu dari nonsistemik menjadi sistemik.

Kedua, mengapa BI mengunakan neraca 30 Oktober bukan neraca 20 Nopember ketika menyerahkan BC ke LPS. Ketiga, Mengapa BI tidak memiliki laporan akuntan publik; bagaimana kualitas aset Bank Century yang ternyata bodong.

Maka tidaklah mengherankan jika KPK meminta BPK agar mengaudit BC, meski hingga sekarang DPR belum melakukan permintaan serupa kepada BPK. Siapa yang paling bertanggungjawab atas skandal Bank Century yang berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 5 triliun tersebut? (80)

—Dr Tjipto Subadi MSi, dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar