Islam Membatasi Poligami
Joglo Semar, Selasa, 17/11/2009 11:00 WIB - Dr. Tjipto Subadi
Peresmian Klub Poligami Global Ikhwan (KPGI) di Bandung pada 17 Oktober lalu yang merupakan cabang dari Malaysia, langsung menyedot perhatian media massa. Hampir semua televisi swasta nasional menjadikannya sebagai berita utama dan meminta tanggapan dari masyarakat. Bahkan sebuah stasiun televisi swasta langsung mewawancarai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, yang pada dasarnya menyayangkan pembentukan klub poligami tersebut, meskipun mengakui poligami diperbolehkan dalam Islam.
Dalam waktu singkat, KPGI sudah memilik anggota 36 pasangan poligami. Bahkan ada juga anggotanya yang masih lajang dan mahasiswa. Pimpinan KPGI menjelaskan, dengan menjaring anggota lajang dan mahasiswa diharapkan nantinya setelah mereka berkeluarga akan menjadi keluarga poligami.
Sebenarnya beberapa tahun lalu, persoalan poligami juga marak di Indonesia. Hal itu setelah pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, Puspo Wardoyo, menyelenggarakan acara Poligami Award di Jakarta (2003). Pemenangnya adalah seorang pelaku poligami asal Jawa Barat yang sudah berusia 93 tahun dan memiliki empat orang istri. Sementara Puspo Wardoyo sendiri juga memiliki empat orang istri. Waktu itu penyelenggaraan Poligami Award di Hotel Aryaduta Jakarta, sempat didemo sekelompok orang yang tidak setuju diadakannya event tersebut. Namun Poligami Award yang rencananya diadakan setiap 5 tahun, ternyata hingga sekarang belum pernah diselenggarakan kembali.
Pengertian Poligami
Dalam Islam, poligami itu bukan wajib dan bukan pula sunah, tetapi hanya diperbolehkan. Dalil nash diperbolehkannya poligami sudah jelas ada dalam Alquran surat An Nisa ayat 3: Maka nikahlah dengan perempuan yang menyenangkan hatimu, dua dan tiga dan empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil, maka nikahlah seorang saja.
Mengenai sistem poligami di dunia, sesungguhnya sudah ada jauh sebelum Islam datang ke Jazirah Arab pada abad ke-7 masehi. Banyak bangsa yang telah menjalankan sistem poligami seperti bangsa Ibrani (Yahudi), Sisilia, dan Arab jahiliyah. Bahkan hingga sekarang sistem poligami masih dianut berbagai bangsa seperti China, Jepang, India, dan penduduk asli Afrika. Bahkan pada zaman modern ini poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Afrika bagian selatan, seperti Zimbabwe, Afrika Selatan, Mozambik, Lesoto, dan lain-lain. Sedangkan para Raja Jawa zaman kolonial melakukan poligami dengan adanya sistem garwa padmi (permaisuri) dan garwa ampil (selir). Sementara untuk garwa ampil tidak dibatasi jumlahnya.
Sedangkan di kalangan bangsa Arab jahiliyah pra-Islam, poligami juga bebas tidak dibatasi. Tetapi setelah Islam datang dibawa Nabi Muhammad SAW, maka poligami dibatasi hingga empat orang istri saja. Dengan demikian, meski memperbolehkan poligami, Islam sebenarnya membatasi poligami. Jadi tidaklah benar jika dikatakan sistem poligami hanya berlaku di kalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebab, bangsa lain juga melakukannya.
Memang dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, poligami diperbolehkan dengan persyaratan tertentu, seperti istri sudah tidak bisa lagi melayani suami karena sakit, harus dengan izin istri dan sebagainya. Namun sesungguhnya Asas Pernikahan dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah monogami. Hal itulah yang mendasari lahirnya UU Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perceraian dan Perkawinan bagi PNS yang mempersulit PNS untuk melakukan poligami.
Memang selama ini poligami ditengarai banyak menimbulkan terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Namun, tidak sedikit juga kasus KDRT yang ditimbulkan pasangan monogami yang berakhir dengan perceraian di Pengadilan Agama seperti sering dilakukan para selebritis. Selain itu para pelaku poligami biasanya sulit untuk berlaku adil, terutama adil dalam nafkah batin dan perasaan cinta di antara istri-istrinya, meskipun tidak sedikit juga di antara mereka yang mampu berlaku adil dalam nafkah lahir, batin dan perasaan cinta.
Bagi para pelaku poligami yang tidak adil, dalam sebuah Hadis Nabi SAW dikatakan nanti ketika di akhirat berjalannya akan miring karena letak bahunya tidak sejajar alias miring sebelah, sebagai akibat perilakunya ketika di dunia tidak adil terhadap para istrinya. Memang sulit ditemukan istri yang dengan ikhlas bersedia dimadu, karena mereka khawatir diperlakukan tidak adil oleh suami terutama dalam nafkah lahir dan batin.
Meski demikian, poligami ditengarai dapat menjadi solusi efektif dengan banyaknya kaum wanita yang sudah berumur tetapi belum menikah. Apalagi, di belahan dunia mana pun, jumlah wanita akan selalu lebih banyak daripada pria termasuk di Indonesia. Jika ditanya, mayoritas wanita akan menjawab lebih baik menjadi istri kedua, ketiga atau keempat daripada tidak punya suami sama sekali sehingga tanpa perlindungan dari seorang laki-laki. Sedangkan kalau menjadi istri poligami akan berkesempatan untuk memiliki anak membahagiakan lahir batin. Sehingga dengan adanya poligami, para istri akan saling menolong dalam fastabiqul khoirot dengan “berbagi suami”.
Lalu, bagaimana solusi mengenai pro dan kontra poligami yang sering mengemuka di masyarakat? Pertama, sebagaimana dikatakan ahli tafsir Alquran dan mantan Menteri Agama Quraisy Syihab, meski diperbolehkan dalam Islam, poligami adalah sebuah “jalan darurat”. Poligami bukanlah wajib atau sunah, hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat tertentu, seperti istri yang sakit bertahun-tahun dan tidak mampu melayani suami. Sebab jika dibiarkan, maka suami dapat berselingkuh atau berzina yang justru dilarang keras dalam Islam.
Kedua, bagi pelaku poligami yang tidak adil terutama dalam pemberian nafkah lahir sehingga menelantarkan istri tua dan anak-anaknya, maka hukum negara dapat diperlakukan terhadap mereka. Seperti terbitnya Perda Pemprov NTB mengenai perceraian PNS. Jika PNS mencerai istrinya secara sewenang-wenang bukan karena sang istri selingkuh dengan pria lain, maka sang PNS hanya akan menerima sepertiga dari gaji bulanannya, sedangkan yang dua pertiga diberikan kepada istri dan anak-anaknya.
Ketiga, sesungguhnya Islam membatasi poligami. Sedangkan pada zaman pra-Islam poligami tidak dibatasi, sehingga ada suami yang memiliki hingga 100 istri. Setelah Islam datang, poligami dibatasi hingga maksimal empat orang istri. Namun jika tidak mampu berbuat adil, maka sebaiknya hanya memiliki seorang istri, sebagaimana disebutkan surat An Nisa ayat 3 di atas.
Jumat, 09 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar