Apabila Listrik Diprivatisasi
Oleh: Tjipto Subadi
Joglo Semar.Jumat, 29/01/2010 11:00 WIB -
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menggantikan UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, maka semakin terbuka untuk melakukan liberalisasi dan privatisasi terhadap PLN. Apalagi setelah Dahlan Iskan dilantik menjadi Dirut PLN menggantikan Fahmi Mochtar akhir tahun lalu.
Maka tidaklah mengherankan jika Serikat Pekerja (SP) PLN mengajukan judicial review (peninjauan kembali) terhadap UU Nomor 30 Tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diharapkan akhir Februari nanti MK memutuskan, apakah akan menerima atau menolak judicial review dari 42.000 anggota SP PLN seluruh Indonesia tersebut. Jika diterima, maka nasib UU Nomor 30 Tahun 2009 akan sama dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK melalui Keputusan Nomor: 001-022/PUU-1/2003 tanggal 15 Desember 2004.
Pasalnya, pada waktu itu MK di bawah kepemimpinan Jimly Assidiqie berpendapat, UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan berbau neoliberal dan bertentangan dengan semangat UUD 1945 terutama Pasal 33. Sebab dalam UU itu disebutkan kelistrikan Jawa-Bali akan diswastanisasi dan menyerahkan PLN luar Jawa kepada pemerintah daerah. Karena ditolak MK, maka yang berlaku tetap UU Nomor 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, di mana pemerintah bertanggung jawab penuh menangani ketenagalistrikan di Indonesia, sehingga sesuai dengan semangat UUD 1945. Namun sekarang MK di bawah kepemimpinan Mahfud MD, apakah juga akan melakukan penolakan terhadap UU Nomor 30 Tahun 2009 yang sangat jelas berbau kapitalistik dan liberalistis, seperti sebelumnya? Kita tunggu saja hasil keputusan MK nanti sebagai hasil dari judicial review SP PLN.
Program kerja 100 hari KIB II di bawah SBY-Boediono sudah jelas mempercepat privatisasi terhadap BUMN, di mana PLN termasuk di dalamnya. Apalagi selama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Boediono dikenal sebagai tokoh neoliberal yang mendukung privatisasi terhadap BUMN.
Skandal Century
Jika keduanya sampai selamat dari badai skandal Century yang sekarang sedang dibicarakan di Pansus DPR, maka privatisasi akan semakin digencarkan. Namun jika keduanya sampai jatuh gara-gara skandal Century, maka kemungkinan privatisasi akan sedikit terhambat dan berjalan tertatih-tatih. Memang pemerintah melalui Kementerian Negara BUMN telah merencanakan akan memprivatisasi 52 BUMN dari 141 BUMN yang ada saat ini, sehingga nantinya tersisa hanya 89 BUMN. Sejumlah BUMN tersebut akan dijual ke swasta termasuk swasta asing seperti PLN, Telkom, Pertamina, Garuda, PT KAI dan sejumlah PT Perkebunan Negara (PTPN).
Privatisasi dan liberalisasi terhadap BUMN memang pertama kali terjadi pascapenandatanganan Letter of Intent (LoI) antara mantan Presiden Soeharto dengan Ketua IMF Michael Camdesus di Jakarta pada 1998 lalu, pascakrisis ekonomi mendera Indonesia. Dengan menerima bantuan IMF, maka Indonesia dipaksa menjual sejumlah BUMN-nya meski cukup strategis dan menguntungkan. Dari 267 BUMN saat itu, sekarang tinggal 141 BUMN dan itu pun masih tetap akan dijual hingga akhirnya dalam lima tahun ke depan tinggal 89 BUMN. Sebagaimana dikatakan Amien Rais, dengan privatisasi menunjukkan bangsa Indonesia akan menjadi buruh di negaranya sendiri, sementara kekuatan ekonomi kapitalis asing akan semakin kuat mencengkeramkan kuku-kuku kekuasaannya di Indonesia.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dampaknya jika nanti judicial review SP PLN ditolak MK sehingga UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mulai berlaku di Indonesia?
Pertama, pasti akan terjadi privatisasi dan liberalisasi terhadap PLN, sehingga nantinya PLN akan dijual ke swasta asing maupun swasta dalam negeri terutama para konglomerat. Sebab selama ini privatisasi dan liberalisasi terhadap PLN tidak berjalan mulus dikarenakan Dirut PLN selalu dipegang orang dalam PLN, sedangkan sekarang dipegang orang luar PLN. Apalagi setelah diperkuat dengan UU Ketenagalistrikan yang pro privatisasi dan liberalisasi.
Kedua, dengan dimilikinya PLN oleh pihak swasta, maka tarif dasar listrik (TDL) pasti akan dinaikkan. Kalau sekarang TDL hanya Rp 600 per kwh, maka dalam waktu dekat akan dinaikkan menjadi Rp 900 per khw. Meski Dahlan Iskan sebelumnya pernah mengatakan tahun 2010 tidak akan ada kenaikan TDL. Hal itu menunjukkan tahun 2011 nanti TDL pasti akan naik. Kalau tarif listrik naik, maka berbagai harga kebutuhan pokok pasti akan naik dan akhirnya memicu inflasi dan keresahan rakyat.
Ketiga, kalau sekarang pemerintah selalu mengeluhkan besarnya subsidi PLN sebenarnya kurang tepat. Sebab dari tahun ke tahun PLN semakin sehat dan subsidi semakin menurun. Terbukti tahun 2008 subsidi mencapai Rp 76,5 triliun, sedangkan tahun 2009 hanya tinggal Rp 38 triliun. Diperkirakan tahun ini hanya tinggal Rp 20 triliun. Semuanya itu menunjukkan PLN semakin sehat setelah bahan bakar pembangkitnya diganti dari minyak bumi ke batubara atau gas alam. Dengan demikian seharusnya PLN tidak perlu diprivatisasi karena semakin sehat.
Keempat, dengan adanya privatisasi, maka nasib PLN nantinya akan sama dengan NAPOCOR (National Power Corporation) atau PLN-nya Filipina, di mana sudah menjadi milik swasta asing dan konglomerat dalam negeri. Untuk Pembangkitnya dikuasai General Electric AS dan Hyundai Korsel, sementara untuk transmisinya dikuasai China dan perusahaan milik keluarga Presiden Arroyo.
Kelima, dengan adanya privatisasi PLN, maka nantinya PLN hanya tinggal kenangan sejarah listrik murah yang menyejahterakan rakyat Indonesia. Sebab nantinya antara pembangkit, transmisi, distribusi dan retail akan saling terpisah dan dikuasai swasta asing dan konglomerat dalam negeri, sehingga harga listrik akan semakin mahal. Padahal sekarang keempatnya berada di bawah satu atap PLN yang memungkinkan harga listrik tetap murah.
Penulis adalah, dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kamis, 08 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar