SOSIOLOGI BORO
Tjipto Subadi
Struktur Masyarakat Desa
Struktur masyarakat desa sebagaimana layaknya karakteristik daerah tradisional-agraris bahwa struktur masyarakat desa masih dipengaruhi oleh struktur kepemilikan tanah yang terdiri dari; kuli kenceng, kuli setengah kenceng dan, kuli ngindung. Yang dimaksud kuli kenceng adalah anggota masyarakat yang mempunyai tanah sawah, tanah pekarangan dan tanah tegalan. Kuli setengah kenceng adalah anggota masyarakat yang hanya memiliki tanah pekarangan dan tidak memiliki tanah sawah dan tanah tegalan. Sedangkan kuli ngindung adalah anggota masyarakat yang tidak memiliki tanah sawah, tanah tegalan dan tanah pekarangan.
Secara sosiologis struktur masyarakat di desa ini dijadikan patokan dalam menentukan banyak sedikitnya sumbangan pembangunan atau besar kecilnya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan desa, artinya partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih dikaitkan dengan status pemilikan tanah tersebut, bagi masyarakat yang tergolong sebagai kuli kenceng dikenakan sumbangan wajib lebih besar dari kuli setengah kenceng dan kuli ngindung. Di samping itu struktur masyarakat tersebut masing-masing memiliki strategi survival dalam menghadapi situasi dan kondisi yang ada, terdapat tiga strategi survival yaitu; (1) menjadi bagian dari masyarakat dan tetap tidak melakukan mobilitas, (2) melawan (resistensi), dan (3) membentuk jaringan, akomodatif, memelihara keharmonisan keluarga, dan kemudian memilih meninggalkan desanya.
Struktur masyarakat pedesaan di samping dipengaruhi oleh struktur pemilikan tanah juga dipengaruhi oleh struktur status sosial, artinya; partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih dikaitkan dengan struktur masyarakat di desa ini yakni struktur status sosial. Orang yang memiliki status sosial tinggi mendapatkan perlakukan yang berbeda dengan seseorang yang berstatus rendah. Boror, oleh masyarakat desa ini digolongkan sebagai anggota masyarakat yang memiliki status sosial lebih tinggi dibanding dengan anggota masyarakat yang tetap tinggal di desanya. Karena status sosial boro lebih tinggi dengan anggota masyarakat yang tidak boro, maka boro dikenakan sumbangan wajib pembangunan desa lebih besar dari pada anggota masyarakat yang tidak boro.
Pengertian Boro
Boro dalam tulisan ini identik dengan migrasi sirkuler. Boro berasal dari bahasa jawa, dari kata “ngemboro” atau “mboro” yang berartikan meninggalkan desa tempat tinggalnya pindah ke daerah lain (waktunya sementara) dengan tujuan mencari penghasilan, meningkatkan status sosial ekonomi, dan pada saat-saat tertentu ia kembali ke desanya dengan membawa uang (remitan) dan kemudian kembali lagi ke tempat tujuan. Dengan kata lain, boro merupakan usaha seseorang untuk meningkatkan status sosial ekonomi di desanya dengan cara meninggalkan tempat tinggal (sementara) untuk bekerja ditempat tujuan, pada saat-saat tertentu ia kembali ke desanya dengan membawa hasil (remitan) dan kembali lagi ke daerah yang di tuju itu. Adapun lamanya waktu boro yang dilakukan oleh masyarakat desa, beragam dengan rentan waktu minimal 3 (tiga) minggu sampai dengan 3 (tiga) bulan di tempat tujuan, setelah beberapa hari di rumah (kira-kira 1-2 minggu) ia kembali lagi ke tempat tujuan.
Fenomena boro yang dilakukan oleh sebagian penduduk di desa tidak dilakukan oleh seluruh anggota keluarga, jika pelaku boro suami maka istri dan anak-anak tinggal di rumah (desa), jika yang boro istri maka suami dan anak-anak tinggal di rumah (desa), begitu juga jika yang boro anak, ayah dan ibu tinggal di rumah (desa). Pelaku boro ini pada saat tertentu kembali ke desa dan melakukan aktivitas sosial sebagaimana anggota masyarakat lainnya, kemudian setelah kurun waktu tertentu (1-2 minggu) mereka kembali ke daerah boro lagi. Begitu seterusnya boro dilakukan oleh masyarakat desa.
Ada banyak hal yang menarik seputar fenomena boro. Penelitian Tjipto Subadi (2004) yang berjudul; “Boro: Mobilitas Penduduk Masyarakat Tegalmombo Sragen” menjelaskan bahwa: (1) Pada tahun 2002 di desa tersebut terdapat sebanyak 122 orang pelaku boro dengan tujuan Batam sebayak 3 orang, Kalimantan 3 orang, Sumatra 111 orang, sisanya ke Malaisya 2 orang dan ke Taiwan dan 3 orang. (2) Jumlah pelaku boro dari tahun ke tahun cenderung meningkat, pada tahun 1990 terdapat 47 orang melalukan boro dan pada tahun 2002 jumlah tersebut menjadi 122 orang, yang berarti ada kenaikan 200% lebih, padahal pada beberapa tahun terakhir ini, perkembangan industrialisasi di Kapupaten Sragen cukup menjanjikan sebagai upaya pemerintah mengatasi permasalahan pengangguran dan ketenaga kerjaan (di bidang tenaga kerja). (3) Boro diikuti dengan perpindahan pekerjaan dari buruh tani ke “pedagang”, padahal berdagang membutuhkan modal, sedangkan pelaku boro adalah masyarakan desa “kuli setengah kenceng” yang tidak mapu. (4) Secara pedagogis fenomena boro adalah untuk mencari pengalaman, boro demi anak-anak, boro ingin meningkatkan status pendidikan. (5) Secara sosiologis boro untuk meningkatkan status sosial.
Pelaku dan Proses Boro
Boro dalam buku ini dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat “kuli setengah kenceng” yang memiliki kesadaran jaringan dengan orang yang sedang melakukan boro, memiliki sedikit modal untuk beralih mata pencaharian dari buruh tani ke pedagang di daerah tujuan, memiliki jaringan sosial dengan boro lama yang sukses dan, memiliki jaminan keamanan dan jaminan kesehatan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Adapun prosesnya adalah sebagai berikut, kelompok kuli setengah kenceng menghadapi kesulitan ekonomi (penghasilan rendah, susah mencari pekerjaan, gagal panen) mempunyai jaringan sosial (hubungan dengan boro lama), sedikit modal dan, ada jaminan sosial seperti keamanan dan kesehatan bagi keluarga yang ditinggalkan mengikutu saudara boro yang sukses (yang diharapkan dapat mencarikan pekerjaan, memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal pada hari-hari pertama di daerah tujuan) sebagai tenaga kerjanya dengan imbalan uang mendapat pengalaman dan sedikit tabungan menjadi boro mandiri mengajak saudaranya di desa untuk mengikuti boro, dan seterusnya.
Boro dilakukan tidak hanya dodorong ekonomi saja melainkan juga kepentingan-kepentingan non ekonomi seperti; (1) keinginan mengikuti perintah agama (relegiusitas) (2) menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dan (3) meningkatkan status sosial di tengah masyarakat. Selain itu boro dianggap sebagai alat yang mampu mendorong mobilitas vertikal untuk menjadi elit atau tokoh masyarakat. Mobilitas vertikal ini tidak hanya didorong keberhasilan individu pelaku boror tetapi juga oleh pandangan masyarakat desa yang melihat bahwa boro memiliki status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan anggota masyarakat yang tinggal di desanya, dengan kata lain ada konstruksi sosial yang turut mendorong mobilitas vertikal tersebut.
Konstruksi Sosial Proses Boro
Konstruksi sosial proses boro adala bahwa boro dilakukan dengan mengikuti orang yang sudah lama melakukan boro dan berhasil. Orang yang akan melakukan boro telah memiliki jaringan atau kedekatan dengan orang yang telah boro dan sukses di daerah tujuan, atau sebaliknya, orang yang telah sukses di daerah tujuan mengajak kerabatnya/familinya untuk ikut melakukan boro, proses boro ini menggunakan “sistem siklus” yang teratur dan “sistem sepesukuan”. “Sistem siklus”menjelaskan bahwa boro dilakukan dengan mengikuti boro berhasil, sedangkan “sistem sepesukuan” menjelaskan bahwa antara boro baru dengan boro lama masih memiliki hubungan keluarga atau sedesa.
Proses pengambilan keputusan seseorang melakukan boro tergantung pada ada dan tidaknya kesadaran (kesadaran akan jaringan sosial, kesadaran keuntungan ekonomis, dan kesadaran jaminan sosial). Adanya jaringan dengan kerabat yang telah lebih dulu berada di tempat tujuan akan meningkatkan motivasi dan keberanian seseorang untuk meninggalkan daerah asalnya karena mereka (boro lama) diharapkan bisa menolong kepada boro baru untuk mencarikan pekerjaan di tempat tujuan dan memberikan bantuan ekonomi, tempat tinggal pada hari-hari pertama.
Keberadaan boro lama manjadi sumber informasi yang berharga bagi pelaku boro yang baru. Sekalipun calon boro di daerah asal telah menerima dan mempertimbangkan berbagai informasi mengenai daerah tujuan. Informasi yang positif dari boro yang terdahulu tentang peluang kerja, tempat tinggal sementara dan hasil yang memadai akan menjadi pertimbangan mereka dalam memutuskan untuk melakukan borodan sebaliknya.
Proses penyesuaian diri boro di temapt tujuan tidak lepas dari keberadaan boro terdahulu, khususnya dalam hal informasi mengenai adat-istiadat, norma, atau kebiasaan masyarakat sekitar. Adaptasi boro terhadap lingkungan tempat tujuan menjadi sangat penting mengingat mereka memasuki kondisi sosial baru yang berbeda dengnan daerah asal.
Kamis, 08 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saksikan pertandingan seru antara :
BalasHapusParis Saint-Germain vs Dijon
Minggu, 25 Oktober 2020 Pukul 02:00 WIB
jangan lupa betting jagoannya ya bossku
semoga menang jp ya bossku
Promo BOLASINGA :
- Bonus Deposit Harian 10%
- Bonus Cashback Slots dan Sportbooks Up To 15%
- Bonus Rollingan Casino 0.8%
- Bonus Rollingan Poker 0.2%
- Bonus Referral All Games 2.5%
- Bonus Referral Rollingan Sportbooks 0.1%
Ayuk daftar dan bermain bersama kami di www . bolasinga . net
Info lebih lanjut hubungi :
Whatsapp : +855 16 326 804
Instagram : bolasingaofficial
Twitter : Singa Bola
http://www.fcarema.com/
#prediksibola #taruhanbola #agenbola #bandarbola #bola #bolaonline #pokeronline