Rusaknya Pahala Ramadhan dan Ketaqwaan Seseorang
Oleh : Dr. H. Tjipto Subadi, M.Si
Saya melihat Ramadhan telah berkemas. Saya bertanya, akan kemana engkau ya Ramadhan? Dengan lembut mereka menjawab; aku akan pergi jauh selama 11 bulan, tolong sampaikan kepada MUKMININ terimakasih-ku, karena Mukminin telah menyambut-ku dengan ikhlas BERPUASA dan MENAHAN SEMUA HAWANAFSU, menghiasi malam-ku dengan SHALAT TARWIH, TADARUS, DAN I'TIKAF, serta MEMPERBANYAK SEDEKAH, dan sampaikan kepada mereka kalau merindukan-ku, INSYA ALLAH aku akan datang lagi tahun yang akan datang, tapi jika mereka sudah berpulang ke hadirat Allah, mereka akan aku tunggu di SURGA lewat pintu AR-RAYYAN. Terimakasih ramadhan, SAYA tunggu lagi kehadiran-mu tahun depan, kataku. "Selamat Idul Fitri 1431 H taqabbalallahu minna wa minkum" mohon maaf lahir dan batin”.
Ramadha sebagai sekolah khusus mempunyai 3 (tiga) identitas, yaitu: Pertama, setiap orang Islam wajib masuk sekolah ini; Kedua, semua orang tahu aturan sekolah ini; Ketiga, sekolah ini berbeda dengan sekolah formal, dimana siswanya dinilai atau diuji oleh seorang guru, sedangkan di sekolahan Ramadhan siswanya menilai diri sendiri. Tidak ada ebtanas. Ujiannya adalah antara kita dan Allah swt, Ijazahnya TAQWA
Relakah Ketaqwaan kita rusak? Al qur’an menjelaskan.
Hal-hal yang merusak ketaqwaan orang, antara lain syirik. Syirik itu terbagi menjadi 3 macam: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi. Dosa syirik akbar itu tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan jalan bertaubat. Pelakunya jika meninggal dunia dalam keadaan syirik, maka ia akan kekal di dalam NERAKA selama-lamanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar (An-Nisa' 48).
اَلشِّرْكُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلَةِ السَّوْدَاءِ عَلَى صَفَاةِ سَوْدَاءَ فِى ظُلُمَةِ اللَّيْلِ
Yang artinya; Kesyirikan yang terjadi pada umatku ini lebih samar dari pada rayapan semut hitam di atas batu hitam dalam keadaan kegelapan malam (HR. Ahmad).
Syirik akbar itu sendiri bentuknya bermacam-macam, namun sebenarnya sumbernya kembali pada empat macam syirik yaitu : (1) syirik doa/da’wah (syirkud-da'wah) (2) syirik niat, kehendak, dan tujuan (syirkun-Niyyat wal-iradah wal-qashd) (3) syirik ketaatan (syirkut-tha'ah) (4) syirik cinta (syirkul-mahabah).
a. Syirkud-Dahwa (syirik Doa/da’wah). Firman Allah dalam S. Al-Ankabut: 65
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Yang artinya: maka apabila mereka naik kapal mendoa kepada Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (Al-Ankabut: 65).
b. Syirkun-Niat wa-Iradah wal-qashd (Syirik Niat, Kehendak, dan Tujuan) Firman Allah dalam S. Hud:15-16
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ
فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Yang artinya : Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan leyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.
Syirik niat ini dikategorikan sebagai syirik besar manakala amalan seseorang itu seluruhnya diniatkan untuk selain Allah.
c. Syirkut-Tha'ah (Syirik Ketaatan) Yaitu mentaati para pendeta dan rahib dalam bermaksiat (durhaka) kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Yang artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (At-Taubah : 31).
d. Syirkul-Mahabah (Syirik Cinta). Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala (Q.S. Al Baqarah; 165)
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ
إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Yang artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah……. (Al-Baqarah : 165)
Al-Allamah Ibnul-Qoyyim; membagi 4 (empat) bentuk mahabbah yang harus dibedakan karena jika seseorang tidak mampu membedakannya pasti tersesat; (1) Mahabbatullah (Mencintai Allah) (2) Mahabbatu ma yuhibbullah (mencintai apa saja yang dicintai Allah) (3) Al-Hubb Lillah dan Al-Hubb Fillah (Cinta untuk Allah, Cinta karena Allah) (4) Al-Mahabbah Ma'allah (mencintai sesuatu mensejajarkannya dg kecintaannya kepada Allah), ini merupakan al-mahabbah as-syirkiyah (kecintaan yang bersifat syirik). Barang siapa yang ber mahabbah ma'allah terhadap sesuatu (tidaklah lillah dan fillah), maka ia berarti telah menjadikan sesuatu yang ia cinta selain Allah itu sebagai "tandingan" terhadap Allah. INI ADALAH MAHABBAHNYA KAUM MUSYRIKIN.
Anda seorang mukmin? Allah menjelaskan
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula patut bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata (Q.S. Al Ahzab : 36)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُون وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
......Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq (Q.S. Al Maidah: 44,45 dan 47
Anda ingin kembali kepada Al quran dan Sunah? Itu suatu keharusan dan hukumnya wajib.
Al Quran Surat An Nisa’ 59
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ الله َ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً(النساء:٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisa’:59)
Misalnya perbedaan berdo’a dengan suara keras dan diaminkan jamaah. Maka untuk menyelesaikan perbedaan tersebut, dianjurkan untuk kembali pada Al Quran dan Hadits, syariat tentang berdoa
اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الاعراف:٥٥)
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS Al A’roof’:55)
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف:٢٠٥)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’roof’:205)
Sebab jika tidak kembali pada Al Quran dan Sunnah, jika itu ibadah dikhawatirkan bid’ah, Nabi bersabda
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang melakukan ibadah yang tidak ada dasar dari ajaran kami, maka amalannya tertolak
فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْ عَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاََ لََةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
Setiap ibadah yang di buat-buat adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنْ َخَيْرَ الْحَدِِيثٍ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ (رواه مسلم)
“Amma ba’du! Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad!”.
Anda seorang suami? Rasulullulah mengajarkan
1. “Sesungguhnya, apabila seorang suami memandang isterinya (dengan kasih & sayang) dan isterinya juga memandang suaminya (dengan kasih & sayang), maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih & sayang. Dan apabila seorang suami memegangi jemari ... Lihat Selengkapnya isterinya (dengan kasih & sayang) maka berjatuhanlah dosa-dosa dari segala jemari keduanya” (HR. Abu Sa’id)
2. “Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, dari pada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).
Anda seorang istri? Rasulullah mengajarkan
1. “Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
2. “Barang siapa yang diberi istri yang sholihah oleh Allah, berarti telah ditolong oleh-Nya pada separuh agamanya. Oleh karena itu, hendaknya ia bertaqwa pada separuh yang lain” (Al Hadits)
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Sabtu, 25 September 2010
Jumat, 10 September 2010
SELAMAT JALAN RAMADHAN
Assamu'alaikum wr. wb.
Pada hari Kamis 9 September 2010 SAYA melihat Ramadhan berkemas, SAYA bertanya ... akan kemana engkau ya Ramadhan? Dengan lembut mereka menjawab...Aku akan pergi jauh selama 11 bulan.....tolong sampaikan kepada MUKMININ terimakasih-ku, karena Mukminin telah menyambut-ku dengan ikhlas BERPUASA dan menahan semua nafsu, MENGHIASI malam-ku dengan SHALAT TARWIH, TADARUS, DAN I'TIKAF, serta MEMPERBANYAK SEDEKAH dan ...... Sampaikan kepada MUKMININ kalau merindukan-ku... INSYA ALLAH aku akan datang lagi tahun yang akan datang, tapi....jika mereka (MUKMININ)sudah berpulang ke hadirat Allah......mereka (MUKMININ) akan aku tunggu di SURGA lewat pintu AR-RAYYAN, SELAMAT TINGGAL MUKMININ.
Terimakasih Ramadhan, SAYA tunggu lagi kehadiran-mu tahun depan....KATAKU.
Kepada semua sahabat handai-tolan... saya sampaikan SELAMAT IDUL FITRI 1431 H ...taqabbalallahu minna wa minkum... mohon maaf lahir dan batin.
Salam dari Dr. H.Tjipto Subadi, M.Si
dan Keluarga
Pada hari Kamis 9 September 2010 SAYA melihat Ramadhan berkemas, SAYA bertanya ... akan kemana engkau ya Ramadhan? Dengan lembut mereka menjawab...Aku akan pergi jauh selama 11 bulan.....tolong sampaikan kepada MUKMININ terimakasih-ku, karena Mukminin telah menyambut-ku dengan ikhlas BERPUASA dan menahan semua nafsu, MENGHIASI malam-ku dengan SHALAT TARWIH, TADARUS, DAN I'TIKAF, serta MEMPERBANYAK SEDEKAH dan ...... Sampaikan kepada MUKMININ kalau merindukan-ku... INSYA ALLAH aku akan datang lagi tahun yang akan datang, tapi....jika mereka (MUKMININ)sudah berpulang ke hadirat Allah......mereka (MUKMININ) akan aku tunggu di SURGA lewat pintu AR-RAYYAN, SELAMAT TINGGAL MUKMININ.
Terimakasih Ramadhan, SAYA tunggu lagi kehadiran-mu tahun depan....KATAKU.
Kepada semua sahabat handai-tolan... saya sampaikan SELAMAT IDUL FITRI 1431 H ...taqabbalallahu minna wa minkum... mohon maaf lahir dan batin.
Salam dari Dr. H.Tjipto Subadi, M.Si
dan Keluarga
Rabu, 08 September 2010
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI, DAN AKSIOLOGI PANCASILA
Landasan Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pancasila
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan; Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.
1. Landasan Ontologis Pancasila.
Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk pyramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.
Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran yang tinggi.
Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
3. Landasan Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h. Nilai-nilai keagamaan
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia
Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi manusia pada umumnya. Wawasan filsafat meliputi bidang atau aspek penyelidikan (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup kesemestaan. Oleh karena itu, berikut ini akan dibahas landasan; Ontologis Pancasila, Epistemologis Pancasila dan Aksiologis Pancasila.
1. Landasan Ontologis Pancasila.
Ontologi, menurut Aristoteles adalah ilmu yang meyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi dan disamakan artinya dengan metafisika.
Masalah ontologis antara lain: Apakah hakikat sesuatu itu? Apakah realitas yang ada tampak ini suatu realitas sebagai wujudnya, yaitu benda? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup? Dan seterusnya.
Bidang ontologi menyelidiki tentang makna yang ada (eksistensi dan keberadaan) manusia, benda, alam semesta (kosmologi), metafisika. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, malainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologism. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah manusia.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Sedangkan manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani. Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat.
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science. Menurut Titus (1984:20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi, yaitu:
a. Tentang sumber pengetahuan manusia;
b. Tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
c. Tentang watak pengetahuan manusia.
Secara epistemologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan berbentuk pyramidal.
Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya.
Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal, yaitu:
1) Isi arti Pancasila yang umum universal, yaitu hakikat sila-sila Pancasila yang merupakan inti sari Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak dalam pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan konkrit.
2) Isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia.
3) Isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan konkrit, yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khhusus konkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975: 36-40)
Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa. Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar, berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham.
Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.
Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran yang tinggi.
Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat, dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
3. Landasan Aksiologis Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Bidang yang diselidiki adalah hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisika suatu nilai.
Nilai (value dalam Inggris) berasal dari kata Latin valere yang artinya kuat, baik, berharga. Dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang berguna. Nilai juga mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan.
Nilai adalah suatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia (dictionary of sosiology an related science). Nilai itu suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu obyek. Ada berbagai macam teori tentang nilai.
1. Max Scheler mengemukakan bahwa nilai ada tingkatannya, dan dapat dikelompokkan menjadi empat tingkatan, yaitu:
a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat nilai yang mengenakkan dan nilai yang tidak mengenakkan, yang menyebabkan orang senang atau menderita.
b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini misalnya, keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
d. Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat moralitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. (Driyarkara, 1978)
2. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai manusia ke dalam delapan kelompok:
a. Nilai-nilai ekonomis: ditunjukkan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
b. Nilai-nilai kejasmanian: membantu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan dari kehidupan badan.
c. Nilai-nilai hiburan: nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan.
d. Nilai-nilai sosial: berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia.
e. Nilai-nilai watak: keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
f. Nilai-nilai estetis: nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni.
g. Nilai-nilai intelektual: nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran.
h. Nilai-nilai keagamaan
3. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga macam,, yaitu:
a. Nilai material, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia.
b. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakana kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani yang dapat dibedakan menjadi empat macam:
1) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
2) Nilai keindahan, atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (aesthetis, rasa) manusia.
3) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, karsa) manusia.
4) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
4. Dalam filsafat Pancasila, disebutkan ada tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
a. Nilai dasar, adalah asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang bersifat mutlak, sebagai sesuatu yang benar atau tidak perlu dipertanyakan lagi. Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
b. Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
c. Nilai praksis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
5. Nila-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan bernegara.
6. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
7. Pengakuan, penerimaan dan pernghargaan atas nilai-nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai Manusia Indonesia
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
by. Tjipto Subadi
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian merupakan sistem filsafat.Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti aterialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan
kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya
terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
(2) Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4
dan 5;
(3) Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila
4, dan 5;
(4) Sila 4, diliputi, didasari,dijiwai sila 1,2,3,dan mendasari dan menjiwai sila 5;
(5) Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi: (1) Tuhan, yaitu sebagai kausa prima (2) Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk social (3) Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri (4) Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong (5) Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Sebagai dijelaskan pula bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifaf hierarkhis dan mempunyai bentuk pyramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila.
Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan system filsafat memiliki, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis sendiri yang berbeda dengan system filsafat yang lainnya, misalnya; materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia. Telah dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat hierarki dan mempunyai bentuk piramida.
Pancasila yang memiliki susunan yang hierarkis piramida berarti juga Pancasila yang memiliki susunan bersatu membentuk satu kesatuan dan urutannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga Pancasila saling menjiwai dan dijiwai diantara sila-silanya.
Sila ketuhanan merupakan tingkatan yang tertinggi diantara sila dibawahnya. Karena sila pertama ini merupakan nilai yang bersifat mutlak, kemudian diikuti dengan sila kedua. Sedangkan untuk sila persatuan, sila kerakyatan, dan sila keadilan berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Nilai persatuan dipandang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada nilai kerakyatan dan keadilan. Kemudian sila kerakyatan merupakan syarat terwujudnya keadilan, sedangkan keadilan merupakan tujuan dari keempat sila lainnya.
by. Tjipto Subadi
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem filsafat. Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian merupakan sistem filsafat.Yang dimaksud sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lainnya, seperti aterialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan sebagainya.
Ciri sistem Filsafat Pancasila itu antara lain:
1. Sila-sila Pancasila merupakan satu-kesatuan sistem yang bulat dan utuh. Dengan
kata lain, apabila tidak bulat dan utuh atau satu sila dengan sila lainnya
terpisah-pisah maka itu bukan Pancasila.
2. Susunan Pancasila dengan suatu sistem yang bulat dan utuh itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) Sila 1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4 dan 5;
(2) Sila 2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3, 4
dan 5;
(3) Sila 3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, 2, dan mendasari dan menjiwai sila
4, dan 5;
(4) Sila 4, diliputi, didasari,dijiwai sila 1,2,3,dan mendasari dan menjiwai sila 5;
(5) Sila 5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4.
Inti sila-sila Pancasila meliputi: (1) Tuhan, yaitu sebagai kausa prima (2) Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk social (3) Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri (4) Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan gotong royong (5) Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain yang menjadi haknya.
Kesatuan sila-sila pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Sebagai dijelaskan pula bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifaf hierarkhis dan mempunyai bentuk pyramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila.
Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan system filsafat memiliki, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis sendiri yang berbeda dengan system filsafat yang lainnya, misalnya; materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia. Telah dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila itu bersifat hierarki dan mempunyai bentuk piramida.
Pancasila yang memiliki susunan yang hierarkis piramida berarti juga Pancasila yang memiliki susunan bersatu membentuk satu kesatuan dan urutannya sudah diatur sedemikian rupa sehingga Pancasila saling menjiwai dan dijiwai diantara sila-silanya.
Sila ketuhanan merupakan tingkatan yang tertinggi diantara sila dibawahnya. Karena sila pertama ini merupakan nilai yang bersifat mutlak, kemudian diikuti dengan sila kedua. Sedangkan untuk sila persatuan, sila kerakyatan, dan sila keadilan berkaitan dengan kehidupan kenegaraan. Nilai persatuan dipandang memiliki nilai yang lebih tinggi daripada nilai kerakyatan dan keadilan. Kemudian sila kerakyatan merupakan syarat terwujudnya keadilan, sedangkan keadilan merupakan tujuan dari keempat sila lainnya.
VISI, MISI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
(SK Dirjen No.43/Dikti/Kep/2006)
Tjipto Subadi
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 43 / Dikti / Kep / 2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa mementapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religiuus, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya.
2. Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air da;lam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Selain visi dan misi tersebut di atas pendidikan kewarganegaran mempunyai tujuan umum dan khusus:
a. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
b. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan akan hak dan kewajiban secara santun, jujur, demokratis serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
(SK Dirjen No.43/Dikti/Kep/2006)
Tjipto Subadi
Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 43 / Dikti / Kep / 2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
1. Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa mementapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religiuus, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya.
2. Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air da;lam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Selain visi dan misi tersebut di atas pendidikan kewarganegaran mempunyai tujuan umum dan khusus:
a. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
b. Tujuan Khusus
1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan akan hak dan kewajiban secara santun, jujur, demokratis serta ikhlas sebagai WNI terdidik dan bertanggung jawab.
2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
Minggu, 05 September 2010
KULIAH ILMU PENDIDIKAN PGSD HARI PERTAMA
SILABUS MATA KULIAH
Dosen : Dr. Tjipto Subadi M.Si
Telp/HP: (0271)780571/0816652241
E-mail : tjiptosubadi@yahoo.com
Blog : Tjipto Subadi Blogspot
----------------------------
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan
Program Studi : PGSD
Kode Mata Kuliah :
Jumlah SKS : 2
Semester : I
Mata Kuliah Pra Syarat : -
Diskripsi Mata Kuliah : Menjabarkan tentang; Tujuan, manfaat, dan Linkup mata kuliah; Sifat Hakikat manusia; Hakikat Peserta Didik; Hakikat Pendidikan; Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan; Unsr-Unsur Pendidikan; Sistem Pendidikan dan Sisstem Pendidikan Nasional; Kewibawaan; Permasalahan Pendidikan Nasional.
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu mendiskripsikan Tujuan, manfaat, dan
Linkup mata kuliah; Sifat Hakikat manusia; Hakikat Peserta Didik; Hakikat
Pendidikan; Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan; Unsr-Unsur Pendidikan; Sistem
Pendidikan dan Sisstem Pendidikan Nasional; Kewibawaan; Permasalahan Pendidikan
Nasional.
Kompetensi Dasar
1.Dapat mendiskripsikan arti pentingnya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi jurusan PGSD
2.Dapat mendis-kripsikan makna Hakikat Manusia
3.Dapat mendis-kripsikan Hakikat, karak-teristik Peserta Didik dan berbagai potensi
yang harus dikembangkan
4.Dapat menjelaskan Konsep Hakikat Pendidikan dari berbagai Pendekatan
5.Mendiskripsikan makna visi,misi, tujuan dn azsas-azas pendidikan
6.Dapat mengidentifikasi Unsur-Unsur Pendidikan
7.Mendiskripsikan Makna Sistem Pendidikan SISDIK
8.Mendiskripsikan Makna Sistem Pendidikan Nasional SISDIKNAS
9.Mendiskripsikan Makna Kewibawaan Dalam Pendidikan
10.Mengidentifikasi berbagai permasalahan pendidikan nasional
Indikator
1.Mendiskripsikan arti pentingnya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi jurusan PGSD
2.Merumuskan Konsep tentang Sifat Hakikat Manusia (SHM)
3.Identifikasi Hakikat, karakteristik Peserta Didik (HPD)dan berbagai potensi yang
harus dikembangkan
4.Merumskan Konsep Hakikat Pendidikan dari berbagai Pendekatan
5.Secara berkelompok mahasiswa membuat rumusan tentang makna visi, misi, tujuan,
dan azas-azas pendidikan
6.Mendiskripsikan Unsur-Unsur Pendidikan
7.Secara individual dapat merumuskankan makna SISDIK
8.Secara individual dapat merumuskankan makna Sistem Pendidikan Nasional SISDIKNAS
9.Secara individual dapat merumuskankan makna Kewibawaan Dalam Pendidikan
10.Mendiskripsikan berbagai permasalahan pendidikan nasional
Pengalaman Pembelajaran
1.Berdiskusi untuk merumuskan arti penting-nya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi
jurusan PGSD
2.Mencari informasi tenang SHM dari berbagai sumber belajar
3.Berdiskusi kelas untuk merumuskan Konsep HPD
4.Berdiskusi dengan dengan sesma teman untuk merumuskan Konsep Hakikat Pendidikan
dari berbagai Pendekatan
5.Mencermati uraian materi tentang makna visi,misi, tujuan dan azsas-azas
pendidikan dari sumber belajar
6.Mahasiswa mencermati Bahan belajar darai berbagai sumber
7.Secara berkelompok mahasiswa berdiskusi tentang SISDIK
8.Mahasiswa Mencermati UU SISDIKNAS
9.Secara berkelompok berdiskusi bahan belajar
10.Secar berkelompok mahasiswa melakukan pencermatan pendidikan di Indonesia
POKO-POKOK MATERI
A.PENDAHULUAN
1.Tujuan Mata Kuliah
2.Manfaat Mata Kuliah
3.Lingkup Mata Kuliah
B. SIFAT HAKIKAT MANUSIA
1. Pengertian
2.Sifat Hakikat Manusia
3.Wujud Sifat hakikat Manusia
4. Pengembangan wujud sifat hakikat manusia
C. HAKIKAT PESERTA DIDIK
1.Makna Hakikat Peserta Didik
2.Karakteristik Peserta Didik
3. Potensi Peserta Didik
D. HAKIKAT PENDIDIKAN
1.Pendekatan Reduksionisme
a. Pedekatan Pedagogis
b. Pendekat-an Filo-sofis
c. Pendekatan Religius
d. Pendekat-an Psiko-logis
e. Pendekat-an Negativis
f. Pendekat-an Sosio-logis
2.Pendekatan Holistik Integratif
E. VISI DAN MISI PENDIDIKAN
1.Visi Pendidikan
2.Misi Pendidikan
3.Dasar Pendidikan
4.Tujuan Pendidikan
5.Azas-Azas Penddikan
F. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
1.Peserta Didik
2.Pendidik
a. Hakikat Pendidik
b. Tugas dan tanggungjawab pendidik
c. Persyaratan Pendidik
3.Interaksi Edukatip
4.Alat Pendidikan
5.Aspek Tujuan
6.Aspek Lingkungan
7.Waktu Pelaksanaan
G. SISTEM PENDIDIKAN
1.Pengertian Sistem
2.Sistem Pendidikan
3.Komponen Sistem
H.SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
1.Pengertian
2.UU SISDIKNAS
3.PERMEN
I.KEWIBAWAAN DALAM PENDIDIKAN
1.Pengertian Kewibawaan
2.Macam- macam Kewibawaan
3.Alat Kewibawaan
4.Kewibawaan Dan Anak
J. PERMASALAH-AN PENDIDIK-AN
1.Maslah Kualitas
2.Masalah Relevansi
3.Masalah Efektifitas
DAFTAR PUSTAKA
1.Muchtar Buchori.2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
2.Dirto Hadisusanto.dkk.1995. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta:FIP-IKIP
3.Langgulung Hasan (th). Asas-Asas Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al-Husna
4.Team Pend. 2003. Landasan Pendidikan. Surakarta: UMS
5.H.A.R. Tilaa. 2000. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
6.Umar Tirahardja. 1994. Pengentar Pendidikan. Jakarta: P3TK DEPDIKBUD
7.UU SUSDIKNAS
8.Uyoh Sadulloh. Dkk 2006. Pedagogik. Bahan Belajar Mandiri. Bandung: UPPI PRESS
9.Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing
10.Akses Internet.
TUGAS INDIVIDUAL
1.Kembangkan dalam bentuk Makalah untuk pokok bahasan A dan B
2.Kuliah yang akan datang dikumpulkan.
Dosen : Dr. Tjipto Subadi M.Si
Telp/HP: (0271)780571/0816652241
E-mail : tjiptosubadi@yahoo.com
Blog : Tjipto Subadi Blogspot
----------------------------
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan
Program Studi : PGSD
Kode Mata Kuliah :
Jumlah SKS : 2
Semester : I
Mata Kuliah Pra Syarat : -
Diskripsi Mata Kuliah : Menjabarkan tentang; Tujuan, manfaat, dan Linkup mata kuliah; Sifat Hakikat manusia; Hakikat Peserta Didik; Hakikat Pendidikan; Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan; Unsr-Unsur Pendidikan; Sistem Pendidikan dan Sisstem Pendidikan Nasional; Kewibawaan; Permasalahan Pendidikan Nasional.
Standar Kompetensi : Mahasiswa mampu mendiskripsikan Tujuan, manfaat, dan
Linkup mata kuliah; Sifat Hakikat manusia; Hakikat Peserta Didik; Hakikat
Pendidikan; Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan; Unsr-Unsur Pendidikan; Sistem
Pendidikan dan Sisstem Pendidikan Nasional; Kewibawaan; Permasalahan Pendidikan
Nasional.
Kompetensi Dasar
1.Dapat mendiskripsikan arti pentingnya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi jurusan PGSD
2.Dapat mendis-kripsikan makna Hakikat Manusia
3.Dapat mendis-kripsikan Hakikat, karak-teristik Peserta Didik dan berbagai potensi
yang harus dikembangkan
4.Dapat menjelaskan Konsep Hakikat Pendidikan dari berbagai Pendekatan
5.Mendiskripsikan makna visi,misi, tujuan dn azsas-azas pendidikan
6.Dapat mengidentifikasi Unsur-Unsur Pendidikan
7.Mendiskripsikan Makna Sistem Pendidikan SISDIK
8.Mendiskripsikan Makna Sistem Pendidikan Nasional SISDIKNAS
9.Mendiskripsikan Makna Kewibawaan Dalam Pendidikan
10.Mengidentifikasi berbagai permasalahan pendidikan nasional
Indikator
1.Mendiskripsikan arti pentingnya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi jurusan PGSD
2.Merumuskan Konsep tentang Sifat Hakikat Manusia (SHM)
3.Identifikasi Hakikat, karakteristik Peserta Didik (HPD)dan berbagai potensi yang
harus dikembangkan
4.Merumskan Konsep Hakikat Pendidikan dari berbagai Pendekatan
5.Secara berkelompok mahasiswa membuat rumusan tentang makna visi, misi, tujuan,
dan azas-azas pendidikan
6.Mendiskripsikan Unsur-Unsur Pendidikan
7.Secara individual dapat merumuskankan makna SISDIK
8.Secara individual dapat merumuskankan makna Sistem Pendidikan Nasional SISDIKNAS
9.Secara individual dapat merumuskankan makna Kewibawaan Dalam Pendidikan
10.Mendiskripsikan berbagai permasalahan pendidikan nasional
Pengalaman Pembelajaran
1.Berdiskusi untuk merumuskan arti penting-nya mata kuliah Ilmu Pendidikan bagi
jurusan PGSD
2.Mencari informasi tenang SHM dari berbagai sumber belajar
3.Berdiskusi kelas untuk merumuskan Konsep HPD
4.Berdiskusi dengan dengan sesma teman untuk merumuskan Konsep Hakikat Pendidikan
dari berbagai Pendekatan
5.Mencermati uraian materi tentang makna visi,misi, tujuan dan azsas-azas
pendidikan dari sumber belajar
6.Mahasiswa mencermati Bahan belajar darai berbagai sumber
7.Secara berkelompok mahasiswa berdiskusi tentang SISDIK
8.Mahasiswa Mencermati UU SISDIKNAS
9.Secara berkelompok berdiskusi bahan belajar
10.Secar berkelompok mahasiswa melakukan pencermatan pendidikan di Indonesia
POKO-POKOK MATERI
A.PENDAHULUAN
1.Tujuan Mata Kuliah
2.Manfaat Mata Kuliah
3.Lingkup Mata Kuliah
B. SIFAT HAKIKAT MANUSIA
1. Pengertian
2.Sifat Hakikat Manusia
3.Wujud Sifat hakikat Manusia
4. Pengembangan wujud sifat hakikat manusia
C. HAKIKAT PESERTA DIDIK
1.Makna Hakikat Peserta Didik
2.Karakteristik Peserta Didik
3. Potensi Peserta Didik
D. HAKIKAT PENDIDIKAN
1.Pendekatan Reduksionisme
a. Pedekatan Pedagogis
b. Pendekat-an Filo-sofis
c. Pendekatan Religius
d. Pendekat-an Psiko-logis
e. Pendekat-an Negativis
f. Pendekat-an Sosio-logis
2.Pendekatan Holistik Integratif
E. VISI DAN MISI PENDIDIKAN
1.Visi Pendidikan
2.Misi Pendidikan
3.Dasar Pendidikan
4.Tujuan Pendidikan
5.Azas-Azas Penddikan
F. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
1.Peserta Didik
2.Pendidik
a. Hakikat Pendidik
b. Tugas dan tanggungjawab pendidik
c. Persyaratan Pendidik
3.Interaksi Edukatip
4.Alat Pendidikan
5.Aspek Tujuan
6.Aspek Lingkungan
7.Waktu Pelaksanaan
G. SISTEM PENDIDIKAN
1.Pengertian Sistem
2.Sistem Pendidikan
3.Komponen Sistem
H.SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
1.Pengertian
2.UU SISDIKNAS
3.PERMEN
I.KEWIBAWAAN DALAM PENDIDIKAN
1.Pengertian Kewibawaan
2.Macam- macam Kewibawaan
3.Alat Kewibawaan
4.Kewibawaan Dan Anak
J. PERMASALAH-AN PENDIDIK-AN
1.Maslah Kualitas
2.Masalah Relevansi
3.Masalah Efektifitas
DAFTAR PUSTAKA
1.Muchtar Buchori.2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
2.Dirto Hadisusanto.dkk.1995. Pengantar Pendidikan. Yogyakarta:FIP-IKIP
3.Langgulung Hasan (th). Asas-Asas Pendidikan Islam.Jakarta: Pustaka Al-Husna
4.Team Pend. 2003. Landasan Pendidikan. Surakarta: UMS
5.H.A.R. Tilaa. 2000. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat madani Indonesia.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
6.Umar Tirahardja. 1994. Pengentar Pendidikan. Jakarta: P3TK DEPDIKBUD
7.UU SUSDIKNAS
8.Uyoh Sadulloh. Dkk 2006. Pedagogik. Bahan Belajar Mandiri. Bandung: UPPI PRESS
9.Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing
10.Akses Internet.
TUGAS INDIVIDUAL
1.Kembangkan dalam bentuk Makalah untuk pokok bahasan A dan B
2.Kuliah yang akan datang dikumpulkan.
Selasa, 18 Mei 2010
Muatan Lokal
PROGRAM PENGEMBANGAN MUATAN LOKAL
Bahan Kuliah ini diakses dari internet dari berbagai sumber mei 2010
A. Latar Belakang
Latar belakang adanya pengembangan muatan lokal antara lain: (1) otonomi daerah, (2) desentralisasi, (3) multikultural, (4) pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya, dan (5) Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestariaanya.
Pengembangan muatan lokal mengacu pada kondisi daerah dan kebutuhan daerah. Kondisi daerah berkaitan dengan lingkungan alam,lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya yang selalu berkembang. Kebutuhan daerah yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang disesuaikan dengan arah perkembangan dan potensi yang ada di daerah.
B. Tujuan Mulok
Memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Secara terperinci tujuan mulok agar perta didik dapat:(a)Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya (b)Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya (c)Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
C. Dasar Hukum Mulok
(1) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (2)Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2), (3) Permen RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (4) Perda Kabupaten atau Kota Madya.
D. Penyusunan Muatan Lokal
Dalam penyusunan muatan lokal, sebagaimana dijelaskan oleh Dit. Pembinaan SMA (2009) :
1.Materi pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, cara berpikir, emosional, dan sosial
2.Pelaksanaan Mulok tidak mengganggu pelaksanaan komponen mata pelajaran (komponen A dalam struktur kurikulum)
3.Kegiatan pembelajaran diatur agar tidak memberatkan peserta didik, oleh karena itu dalam pelaksanaan Mulok diharapkan tidak ada pekerjaan rumah (PR)
4.Program pembelajaran dikembangkan dengan melihat kedekatan secara fisik dan secara psikis
5.Bahan pembelajaran disusun berdasarkan prinsip (a) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (b) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (c) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (d) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit.
6.Bahan pembelajaran bermakna bagi peserta didik dan dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
7.Kompetensi dan materi pembelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi pendidik dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar;
8.Pendidik hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental, fisik, maupun sosial.
9.Materi pembelajaran muatan lokal harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pembelajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik;
10.Muatan Lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas X s.d. XII. Muatan Lokal dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester atau dua semester/satu tahun pembelajaran
11.Alokasi waktu pembelajaran Muatan Lokal minimal 2 jam perminggu.
E.Pelaksanaan Mulok
Tahap I Analisis
Tahap II Pemilihan Muatan Lokal
Tahap III Pelaksanaan, meliputi;
1.Menentukan nama mata pelajaran Mulok
2.Membuat Silabus yang meliputi; Latar Belakang, SK,KD,indikator, Tujuan, Ruang Lingkup, Arah Pengembangan
3.Kelas Sasaran
4.Waktu pelaksanaan
5.System penilaian
6.Evaluasi pelaksanaan
F.Pihak-Pihak Yang Terlibat dalam Pengembangan Muatan Lokal; (1) Tim Pengembang Kurikulum Sekolah, (2)Tim Pengembang Kurikulum Provinsi/Kabupaten/ Kota (3)LPMP
(4)LPTK dan atau Perguruan Tinggi (5)Instansi/lembaga di luar Dinas, misalnya: Pemerintah Daerah, dinas lain yang terkait, Dunia Usaha/Industri,(6)Tokoh Masyarakat.
G.Penilaian
Penilaian pencapaian SK maupun KD dilakukan berdasarkan indikator, menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya, projek, produk, portofolio, dan penilaian diri, sesuai dengan jenis mulok yang dilaksanakan.
Bahan Kuliah ini diakses dari internet dari berbagai sumber mei 2010
A. Latar Belakang
Latar belakang adanya pengembangan muatan lokal antara lain: (1) otonomi daerah, (2) desentralisasi, (3) multikultural, (4) pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya, dan (5) Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestariaanya.
Pengembangan muatan lokal mengacu pada kondisi daerah dan kebutuhan daerah. Kondisi daerah berkaitan dengan lingkungan alam,lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya yang selalu berkembang. Kebutuhan daerah yaitu segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang disesuaikan dengan arah perkembangan dan potensi yang ada di daerah.
B. Tujuan Mulok
Memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Secara terperinci tujuan mulok agar perta didik dapat:(a)Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya (b)Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya (c)Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
C. Dasar Hukum Mulok
(1) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (2)Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 37 ayat (1) dan pasal 38 ayat (2), (3) Permen RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (4) Perda Kabupaten atau Kota Madya.
D. Penyusunan Muatan Lokal
Dalam penyusunan muatan lokal, sebagaimana dijelaskan oleh Dit. Pembinaan SMA (2009) :
1.Materi pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, cara berpikir, emosional, dan sosial
2.Pelaksanaan Mulok tidak mengganggu pelaksanaan komponen mata pelajaran (komponen A dalam struktur kurikulum)
3.Kegiatan pembelajaran diatur agar tidak memberatkan peserta didik, oleh karena itu dalam pelaksanaan Mulok diharapkan tidak ada pekerjaan rumah (PR)
4.Program pembelajaran dikembangkan dengan melihat kedekatan secara fisik dan secara psikis
5.Bahan pembelajaran disusun berdasarkan prinsip (a) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (b) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (c) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (d) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit.
6.Bahan pembelajaran bermakna bagi peserta didik dan dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
7.Kompetensi dan materi pembelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi pendidik dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar;
8.Pendidik hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses pembelajaran baik secara mental, fisik, maupun sosial.
9.Materi pembelajaran muatan lokal harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pembelajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik;
10.Muatan Lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas X s.d. XII. Muatan Lokal dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester atau dua semester/satu tahun pembelajaran
11.Alokasi waktu pembelajaran Muatan Lokal minimal 2 jam perminggu.
E.Pelaksanaan Mulok
Tahap I Analisis
Tahap II Pemilihan Muatan Lokal
Tahap III Pelaksanaan, meliputi;
1.Menentukan nama mata pelajaran Mulok
2.Membuat Silabus yang meliputi; Latar Belakang, SK,KD,indikator, Tujuan, Ruang Lingkup, Arah Pengembangan
3.Kelas Sasaran
4.Waktu pelaksanaan
5.System penilaian
6.Evaluasi pelaksanaan
F.Pihak-Pihak Yang Terlibat dalam Pengembangan Muatan Lokal; (1) Tim Pengembang Kurikulum Sekolah, (2)Tim Pengembang Kurikulum Provinsi/Kabupaten/ Kota (3)LPMP
(4)LPTK dan atau Perguruan Tinggi (5)Instansi/lembaga di luar Dinas, misalnya: Pemerintah Daerah, dinas lain yang terkait, Dunia Usaha/Industri,(6)Tokoh Masyarakat.
G.Penilaian
Penilaian pencapaian SK maupun KD dilakukan berdasarkan indikator, menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya, projek, produk, portofolio, dan penilaian diri, sesuai dengan jenis mulok yang dilaksanakan.
Jumat, 14 Mei 2010
Jika Terjadi Perbedaan Pendapt
Muhammadiyah: Jika Terjadi Perbedaan Kembali pada Al Quran Dan Hadist
Oleh; Dr. H. Tjipto Subadi
A. Muhammadiyah Gerakan Tajdid
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan, yang memiliki identitas sebagai (1) Gerakan Islam (2) Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkaran, dan (3) Gerakan tajdid (gerakan pembaharuan). Ada tiga gerakan tajdid dalam dakwah Muhammadiyah yaitu (a) Tajdid di bidang aqidah Islamiyah, tajdid ini lebih mengutamakan upaya pemurnian aqidah Islam dari bahaya Kurafat, dan Syirik (b) Tajdid di bidang ibadah Islamiyah, tajdid ini lebih mengutamakan pemurnian ibadah Islamiyah dari bahaya bid’ah (c) Tajdid di bidang interpretasi Islamiyah, tajdid ini lebih menekankan pemurnian pemikiran dari bahaya tahayul.
Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah terkandung 7 pokok pikiran, yaitu: (1)Hidup manusia harus berdasar tauhid Allah, ber-Tuhan dan beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah (2) Hidup bermasyarakat merupakan sunnatullah (3) Hanya dengan hukum Allah tata kehidupan sosial dapat berjalan dan berkembang secara positif (4) Penempatan Islam sebagai sumber hukum tertinggi merupakan kewajiban manusia (5) Agama Islam adalah agama seluruh utusan Allah, yang mana pengamalannya dengan Ittiba’ Rasul (6) Organisasi merupakan alat realisasi ajaran Islam dalam hidup sosial (7) Tujuan dan cita-cita hidup Muhammadiyah adalah terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur, yang diridlai Allah swt.
Awal dakwah yang dilakukan pendiri Muhammadiyah (KH. A. Dahlan) adalah memulai membenarkan kehidupan masyarakat Islam di sekitar rumah beliau yakni memberantas penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Kurafatdan dan, Syirik). Ada 9 penyakit TBC menurut faham KH.A. Dahlan yang harus dijauhi dan ditinggalkan oleh umat Islam, yaitu: (1) Selamatan pada waktu ibu mengandung 7 bulan (2) Selamatan pada waktu kelahiran atau puputan (3) Selamatan kematian, baik selamatan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan hari ke 1000 (4) Ziarah kubur yang ditentukan setiap bulan Sya’ban, atau disebut bulan Ruwah yang berarti roh (5) Permintaan keselamatan dan kesuksesan pada kuburan-kuburan para wali atau orang yang dianggap suci (6) Bacaan-bacaan tahlil untuk dikirim kepada orang yang meninggal (7) Selawatan (membaca shalawat dengan memakai terbang) (8) Takhayul lailatul qadar yang dijalankan dengan mengelilingi benteng Kraton dan pohon beringin Yogyakarta (9) Kepercayaan pada jimat-jimat. Allah berfirman dalam Al Quran Surat An Nisa’:48
اِنَّ الله َ لاَيَغْفِرُ اَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُوْنَ ذَالِكَ لِمَنْ يَّشَآءُ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى اِثْمًا عَظِيْمًا (النساء:٤٨)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang lain selain dari dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. dan barang siapa yang mempersekutu kan Allah sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An Nisa’:48)
B. Jika Berbeda Pendapat Kembali Al Quran dan Hadist
Banyak kita jumpai cara beribadah umat Islam berbeda-beda, padahal Tuhannya satu (Allah SWT), Kitabnya satu (Al-Quran), Nabinya sama (Nabi Muhammad SAW). Tapi mengapa terjadi perbedaan dalam beribadah kepada Allah? Firman Allah Surat Al Ahzab 36,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula patut bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Surat Al Maidah: 44,45 dan 47
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُون وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
......Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq
Al Quran Surat An Nisa’ 59
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ الله َ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً(النساء:٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisa’:59)
Misalnya perbedaan berdo’a dengan suara keras dan diaminkan jamaah. Maka untuk menyelesaikan perbedaan tersebut, dianjurkan untuk kembali pada Al Quran dan Hadits
Syariat tentang berdoa
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف:٢٠٥)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’roof’:205)
اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الاعراف:٥٥)
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS Al A’roof’:55)
Sebab jika tdk kembali pada Al Quran dan Sunnah, maka jika itu ibadah dikhawatirkan bid’ah
Nabi bersabda
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang melakukan ibadah yang tidak ada dasar dari ajaran kami, maka amalannya tertolak
فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْ عَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاََ لََةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
Setiap ibadah yang di buat-buat adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنْ َخَيْرَ الْحَدِِيثٍ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ (رواه مسلم)
“Amma ba’du! Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad!”.
SEMOGA BERMANFAAT AMIN
Oleh; Dr. H. Tjipto Subadi
A. Muhammadiyah Gerakan Tajdid
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan, yang memiliki identitas sebagai (1) Gerakan Islam (2) Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkaran, dan (3) Gerakan tajdid (gerakan pembaharuan). Ada tiga gerakan tajdid dalam dakwah Muhammadiyah yaitu (a) Tajdid di bidang aqidah Islamiyah, tajdid ini lebih mengutamakan upaya pemurnian aqidah Islam dari bahaya Kurafat, dan Syirik (b) Tajdid di bidang ibadah Islamiyah, tajdid ini lebih mengutamakan pemurnian ibadah Islamiyah dari bahaya bid’ah (c) Tajdid di bidang interpretasi Islamiyah, tajdid ini lebih menekankan pemurnian pemikiran dari bahaya tahayul.
Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah terkandung 7 pokok pikiran, yaitu: (1)Hidup manusia harus berdasar tauhid Allah, ber-Tuhan dan beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah (2) Hidup bermasyarakat merupakan sunnatullah (3) Hanya dengan hukum Allah tata kehidupan sosial dapat berjalan dan berkembang secara positif (4) Penempatan Islam sebagai sumber hukum tertinggi merupakan kewajiban manusia (5) Agama Islam adalah agama seluruh utusan Allah, yang mana pengamalannya dengan Ittiba’ Rasul (6) Organisasi merupakan alat realisasi ajaran Islam dalam hidup sosial (7) Tujuan dan cita-cita hidup Muhammadiyah adalah terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur, yang diridlai Allah swt.
Awal dakwah yang dilakukan pendiri Muhammadiyah (KH. A. Dahlan) adalah memulai membenarkan kehidupan masyarakat Islam di sekitar rumah beliau yakni memberantas penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Kurafatdan dan, Syirik). Ada 9 penyakit TBC menurut faham KH.A. Dahlan yang harus dijauhi dan ditinggalkan oleh umat Islam, yaitu: (1) Selamatan pada waktu ibu mengandung 7 bulan (2) Selamatan pada waktu kelahiran atau puputan (3) Selamatan kematian, baik selamatan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan hari ke 1000 (4) Ziarah kubur yang ditentukan setiap bulan Sya’ban, atau disebut bulan Ruwah yang berarti roh (5) Permintaan keselamatan dan kesuksesan pada kuburan-kuburan para wali atau orang yang dianggap suci (6) Bacaan-bacaan tahlil untuk dikirim kepada orang yang meninggal (7) Selawatan (membaca shalawat dengan memakai terbang) (8) Takhayul lailatul qadar yang dijalankan dengan mengelilingi benteng Kraton dan pohon beringin Yogyakarta (9) Kepercayaan pada jimat-jimat. Allah berfirman dalam Al Quran Surat An Nisa’:48
اِنَّ الله َ لاَيَغْفِرُ اَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُوْنَ ذَالِكَ لِمَنْ يَّشَآءُ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى اِثْمًا عَظِيْمًا (النساء:٤٨)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang lain selain dari dosa syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. dan barang siapa yang mempersekutu kan Allah sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An Nisa’:48)
B. Jika Berbeda Pendapat Kembali Al Quran dan Hadist
Banyak kita jumpai cara beribadah umat Islam berbeda-beda, padahal Tuhannya satu (Allah SWT), Kitabnya satu (Al-Quran), Nabinya sama (Nabi Muhammad SAW). Tapi mengapa terjadi perbedaan dalam beribadah kepada Allah? Firman Allah Surat Al Ahzab 36,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula patut bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Surat Al Maidah: 44,45 dan 47
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُون وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
......Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim . Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (hukum Allah), maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq
Al Quran Surat An Nisa’ 59
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ الله َ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً(النساء:٥٩)
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisa’:59)
Misalnya perbedaan berdo’a dengan suara keras dan diaminkan jamaah. Maka untuk menyelesaikan perbedaan tersebut, dianjurkan untuk kembali pada Al Quran dan Hadits
Syariat tentang berdoa
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ (الاعراف:٢٠٥)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS Al A’roof’:205)
اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الاعراف:٥٥)
“Berdo’alah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS Al A’roof’:55)
Sebab jika tdk kembali pada Al Quran dan Sunnah, maka jika itu ibadah dikhawatirkan bid’ah
Nabi bersabda
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang melakukan ibadah yang tidak ada dasar dari ajaran kami, maka amalannya tertolak
فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْ عَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاََ لََةٌ وَكُلَّ ضَلاَ لَةٍ فِي النَّارِ
Setiap ibadah yang di buat-buat adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah neraka tempatnya.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنْ َخَيْرَ الْحَدِِيثٍ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ (رواه مسلم)
“Amma ba’du! Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad!”.
SEMOGA BERMANFAAT AMIN
Selasa, 11 Mei 2010
Fenomenologi, first order understanding dan second order understanding.
Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”.
Penyelidikan fenomenologis bermula dari diam. Keadaan “diam” merupakan upaya untuk menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku manusia. Fenomenologis berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek penyelidikannya agar dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subyek tersebut di sekitar kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-harinya.
Singkatnya, peneliti berusaha memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Hal ini berarti bahwa peneliti menekankan pada hal-hal subyektif, tetapi tidak menolak realitas “di sana” yang ada pada manusia dan yang mampu menahan tindakan terhadapnya
Para peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektik karena menurut pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang lebih bersifat simbolis dari pada konkret. Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian ini bergerak pada kajian mikro.
Perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian,dalam hal demikuan Berger menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding.
First order understanding dimaksudkan peneliti memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak yang diteliti/informan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan kemudian informan memberikan interpretasi (jawaban) atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guna memberikan penjelasan yang benar tentang permasalahan-permasalahan penelitian tersebut.
Second order understanding, dalam hal ini peneliti memberikan interpretasi terhadap interpretasi informan tersebut di atas sampai memperoleh suatu makna yang baru dan benar (ilmiah), tetapi tidak boleh bertentangan dengan interpretasi dari informan penelitian.
Penyelidikan fenomenologis bermula dari diam. Keadaan “diam” merupakan upaya untuk menangkap apa yang dipelajari dengan menekankan pada aspek-aspek subyektif dari perilaku manusia. Fenomenologis berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subyek penyelidikannya agar dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subyek tersebut di sekitar kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-harinya.
Singkatnya, peneliti berusaha memahami subyek dari sudut pandang subyek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Hal ini berarti bahwa peneliti menekankan pada hal-hal subyektif, tetapi tidak menolak realitas “di sana” yang ada pada manusia dan yang mampu menahan tindakan terhadapnya
Para peneliti kualitatif menekankan pemikiran subyektik karena menurut pandangannya dunia itu dikuasai oleh angan-angan yang mengandung hal-hal yang lebih bersifat simbolis dari pada konkret. Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya penelitian ini bergerak pada kajian mikro.
Perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian,dalam hal demikuan Berger menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding.
First order understanding dimaksudkan peneliti memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak yang diteliti/informan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan kemudian informan memberikan interpretasi (jawaban) atas pertanyaan-pertanyaan tersebut guna memberikan penjelasan yang benar tentang permasalahan-permasalahan penelitian tersebut.
Second order understanding, dalam hal ini peneliti memberikan interpretasi terhadap interpretasi informan tersebut di atas sampai memperoleh suatu makna yang baru dan benar (ilmiah), tetapi tidak boleh bertentangan dengan interpretasi dari informan penelitian.
Paradigma Penelitian Kualitatif
A. Paradigma Penelitian Kualitatif
Paradigma adalah pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolah. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu pengetahuan dan membantu membedakan antara instrumen-instrumen ilmuwan yang satu dengan komunitas ilmuwan yang lain. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara teori-teori, metode-metode serta instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya.
Dalam kajian-kajian sosial termasuk juga kajian pendidikan, menurut Ritzer terdapat tiga paradigma, yaitu; (1) paradigma fakta sosial, (2) paradigma definisi sosial, dan (3) paradigma perilaku sosial.
Peneliti yang bekerja dalam paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya kepada struktur makro (mocrokospik) masyarakat, teori yang digunakan dalam kajian paradigm fakta social adalah teori-teori makro misalnya; teori fungsionalisme struktural dan teori konflik, kecenderungannya menggunakan metode interview/kuesioner dalam pengumpulan data. Sedangkan peneliti yang menerima paradigma definisi sosial memusatkan perhatiannya pada aksi dan interaksi sosial yang ditelorkan oleh proses berfikir, sebagai pokok persoalan kajian dan kecenderungannya bergerak dalam kajian mikro, teori yang digunakan antara lain; teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi, etnometodologi, metode pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara. Peneliti yang menerima paradigma perilaku sosial mencurahkan perhatiannya pada tingkah-laku dan perulangan tingkah laku sebagai pokok persoalan kajian mereka, teori yang digunakan cenderung menggunakan teori pertukaran dan eksperimen, bergerak dalam kajian mikro dengan metode pengumpulan data Observasi dan wawancara
B. Hakikat Penelitian Kualitatif
Membahas penelitian kualitatif berarti membahas sebuah metode penelitian kualitatif yang di dalamnya akan dibahas pula pandangan secara filsafati dari suatu penelitian mengenai disciplined inquary dan realitas dari subjek penelitian dalam kebiasaan peneltian ilmu-ilmu sosial termasuk penelitian pendidikan dan agama, termasuk di dalamnya akan dibahas pula metode yang digunakan dalam penelitian.
Metode penelitian kualitatif sudah menjadi tradisi ilmiah digunakan dalam penelitian bidang ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial, budaya, psikologi dan pendidikan. Bahkan dalam tradisi penelitian terapan, metode ini sudah banyak diminati karena manfaatnya lebih bisa difahami dan secara langsung bisa mengarah pada tindakan kebijakan bila dibanding dengan penelitian kuantitatif. Istilah lain penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistik, pasca-positivistik, fenomenologis, etnografik, studi kasus, humanistik.
Penelitian kualitatif lahir dan berkembang sebagai konsekuensi metodologis dari paradigma interpretevisme. Suatu paradigma yang lebih idealistik dan humanistik dalam memandang hakikat manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk berkesadaran, yang tindakan-tindakannya bersifat intensional, melibatkan interpretatif dan pemaknaan.
Berdasarkan pandangan tersebut, diyakini bahwa tindakan atau prilaku manusia bukanlah suatu reaksi yang bersifat otomatis dan mikanistik ala S-R sebagaimana aksioma aliran behaviorisme, melainkan suatu pilihan yang diminati berdasarkan kesadaran,interpretasi dan makna-makna tertentu. Karena itu studi terhadap dunia kehidupan manusia menurut Wayan Ardhana Dkk (dalam Metodologi Penelitian Pendidikan, 2001: 91-92) haruslah difokuskan dan bermuara pada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola berupa reasons dalam dunia makna para pelakuknya. Yang tergolong reasons dalam dunia makna para pelaku itu bisa berupa frame atau pola pikir tertentu, rasionalitas tertentu, etika tertentu, tema atau nilai budaya tertentu. Itulah sasaran tembak yang diburu dalam tradisi penelitian kualitatif. Yang secara singakt bisa disebut sebagai upaya understanding of understanding. Yang diburu adalah pemahaman terhadap fenomena sosial (siapa melakukan apa) berdasarkan apa yang terkonstruksi dalam dunia makna atau pemahaman manusia pelakuknya itu sendiri. Disitulah letak hakekat (esensi) dari apa yang disebut penelitian kualitatif. Upaya understanding of understanding yang menjadi kiblat tersebut merupakan tawaran metodologi alternatif terhadap tradisi penelitian kuantitatif (paradigma positivisme).
D. Karakteristik Penelitian Kualitatif
1. Berpegang pada pandangan bahwa realitas sosial itu bersifat maknawi, yaitu tak terlepas dari sudut pandang, frame, definisi dan atau makna yang terdapat pada diri manusia yang memandangnya.
2. Mengacu pada pemikiran teoretis yang menempatkan manusia sebagai aktor, setidak-tidaknya sebagai agen (bukan sekedar role player) sebagaimana yang ditawarkan oleh sejumlah aliran teori seperti fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, serta teori budaya ideasionalisme.
3. Tertuju untuk memahami makna yang tersembunyi di balik suatu tindakan, “perilaku”, atau hasil karya yang dijadikan fokus penelitian.
4. Penelitian dilakukan pada latar yang sifatnya alamiah (natural setting), bukan pada situasi buatan.
5. Dalam pelaksanaan penelitian, instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri karena dialah yang harus secara jeli dan cerdas menentukan arah “penyelidikan dan penyidikan” (sesuai dengan perkembangan data yang diperoleh) di dalam proses pengumpulan dan analisa data.
6. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data berlangsung serempak (simultan), serta prosesnya tidak berlangsung linear sebagaimana studi verikatif konvensional, melainkan lebih berbentuk siklus dan interaktif antara kegiatan koleksi data, reduksi data, pemaparan data dan penarikan kesimpulan.
7. Teknik observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam proses pengumpulan data di lapangan. Observasi diperlukan untuk memahami pattern of life yang dijadikan fokus penelitian, sedangkan wawancara mendalam diperlukan untuk menyingkap dunia makna yang tersembunyi sebagai pattern for life.
8. Data hasil observasi dan wawancara (termasuk data yang diperoleh dengan teknik-teknik lain) dijadikan dasar dari konseptualisasi dan kategorisasi, baik dalam rangka penyusunan deskripsi maupun pengembangan teori (theory building) sehingga setiap konsep, kategori, deskripsi dan teori yang dihasilkan benar-benar berdasarkan data.
9. Untuk mencapai tujuan understanding of understanding, sangat mempedulikan dan bahkan mengutamakan perspektif emik ketimbang perspektif etik.
10. Lebih mempedulikan segi kedalaman ketimbang segi keluasan cakupan dari suatu penelitian.
11. Generalisasinya lebih bersifat tranferabilitas ketimbang statiskal ala penelitian kuantitatif konvensional.
12. Mengacu pada konsep dan teknik theoretical sampling ketimbang pada konsep dan teknik statistical sampling ala penelitian kuantitatif konvensional.
13. Berpegang pada patokan kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas guna menghasilkan temuan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Paradigma adalah pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab, bagaimana semestinya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolah. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam suatu bidang ilmu pengetahuan dan membantu membedakan antara instrumen-instrumen ilmuwan yang satu dengan komunitas ilmuwan yang lain. Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara teori-teori, metode-metode serta instrumen-instrumen yang terdapat di dalamnya.
Dalam kajian-kajian sosial termasuk juga kajian pendidikan, menurut Ritzer terdapat tiga paradigma, yaitu; (1) paradigma fakta sosial, (2) paradigma definisi sosial, dan (3) paradigma perilaku sosial.
Peneliti yang bekerja dalam paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya kepada struktur makro (mocrokospik) masyarakat, teori yang digunakan dalam kajian paradigm fakta social adalah teori-teori makro misalnya; teori fungsionalisme struktural dan teori konflik, kecenderungannya menggunakan metode interview/kuesioner dalam pengumpulan data. Sedangkan peneliti yang menerima paradigma definisi sosial memusatkan perhatiannya pada aksi dan interaksi sosial yang ditelorkan oleh proses berfikir, sebagai pokok persoalan kajian dan kecenderungannya bergerak dalam kajian mikro, teori yang digunakan antara lain; teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi, etnometodologi, metode pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara. Peneliti yang menerima paradigma perilaku sosial mencurahkan perhatiannya pada tingkah-laku dan perulangan tingkah laku sebagai pokok persoalan kajian mereka, teori yang digunakan cenderung menggunakan teori pertukaran dan eksperimen, bergerak dalam kajian mikro dengan metode pengumpulan data Observasi dan wawancara
B. Hakikat Penelitian Kualitatif
Membahas penelitian kualitatif berarti membahas sebuah metode penelitian kualitatif yang di dalamnya akan dibahas pula pandangan secara filsafati dari suatu penelitian mengenai disciplined inquary dan realitas dari subjek penelitian dalam kebiasaan peneltian ilmu-ilmu sosial termasuk penelitian pendidikan dan agama, termasuk di dalamnya akan dibahas pula metode yang digunakan dalam penelitian.
Metode penelitian kualitatif sudah menjadi tradisi ilmiah digunakan dalam penelitian bidang ilmu khususnya ilmu-ilmu sosial, budaya, psikologi dan pendidikan. Bahkan dalam tradisi penelitian terapan, metode ini sudah banyak diminati karena manfaatnya lebih bisa difahami dan secara langsung bisa mengarah pada tindakan kebijakan bila dibanding dengan penelitian kuantitatif. Istilah lain penelitian kualitatif adalah penelitian naturalistik, pasca-positivistik, fenomenologis, etnografik, studi kasus, humanistik.
Penelitian kualitatif lahir dan berkembang sebagai konsekuensi metodologis dari paradigma interpretevisme. Suatu paradigma yang lebih idealistik dan humanistik dalam memandang hakikat manusia. Manusia dipandang sebagai makhluk berkesadaran, yang tindakan-tindakannya bersifat intensional, melibatkan interpretatif dan pemaknaan.
Berdasarkan pandangan tersebut, diyakini bahwa tindakan atau prilaku manusia bukanlah suatu reaksi yang bersifat otomatis dan mikanistik ala S-R sebagaimana aksioma aliran behaviorisme, melainkan suatu pilihan yang diminati berdasarkan kesadaran,interpretasi dan makna-makna tertentu. Karena itu studi terhadap dunia kehidupan manusia menurut Wayan Ardhana Dkk (dalam Metodologi Penelitian Pendidikan, 2001: 91-92) haruslah difokuskan dan bermuara pada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola berupa reasons dalam dunia makna para pelakuknya. Yang tergolong reasons dalam dunia makna para pelaku itu bisa berupa frame atau pola pikir tertentu, rasionalitas tertentu, etika tertentu, tema atau nilai budaya tertentu. Itulah sasaran tembak yang diburu dalam tradisi penelitian kualitatif. Yang secara singakt bisa disebut sebagai upaya understanding of understanding. Yang diburu adalah pemahaman terhadap fenomena sosial (siapa melakukan apa) berdasarkan apa yang terkonstruksi dalam dunia makna atau pemahaman manusia pelakuknya itu sendiri. Disitulah letak hakekat (esensi) dari apa yang disebut penelitian kualitatif. Upaya understanding of understanding yang menjadi kiblat tersebut merupakan tawaran metodologi alternatif terhadap tradisi penelitian kuantitatif (paradigma positivisme).
D. Karakteristik Penelitian Kualitatif
1. Berpegang pada pandangan bahwa realitas sosial itu bersifat maknawi, yaitu tak terlepas dari sudut pandang, frame, definisi dan atau makna yang terdapat pada diri manusia yang memandangnya.
2. Mengacu pada pemikiran teoretis yang menempatkan manusia sebagai aktor, setidak-tidaknya sebagai agen (bukan sekedar role player) sebagaimana yang ditawarkan oleh sejumlah aliran teori seperti fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, serta teori budaya ideasionalisme.
3. Tertuju untuk memahami makna yang tersembunyi di balik suatu tindakan, “perilaku”, atau hasil karya yang dijadikan fokus penelitian.
4. Penelitian dilakukan pada latar yang sifatnya alamiah (natural setting), bukan pada situasi buatan.
5. Dalam pelaksanaan penelitian, instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri karena dialah yang harus secara jeli dan cerdas menentukan arah “penyelidikan dan penyidikan” (sesuai dengan perkembangan data yang diperoleh) di dalam proses pengumpulan dan analisa data.
6. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data berlangsung serempak (simultan), serta prosesnya tidak berlangsung linear sebagaimana studi verikatif konvensional, melainkan lebih berbentuk siklus dan interaktif antara kegiatan koleksi data, reduksi data, pemaparan data dan penarikan kesimpulan.
7. Teknik observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam proses pengumpulan data di lapangan. Observasi diperlukan untuk memahami pattern of life yang dijadikan fokus penelitian, sedangkan wawancara mendalam diperlukan untuk menyingkap dunia makna yang tersembunyi sebagai pattern for life.
8. Data hasil observasi dan wawancara (termasuk data yang diperoleh dengan teknik-teknik lain) dijadikan dasar dari konseptualisasi dan kategorisasi, baik dalam rangka penyusunan deskripsi maupun pengembangan teori (theory building) sehingga setiap konsep, kategori, deskripsi dan teori yang dihasilkan benar-benar berdasarkan data.
9. Untuk mencapai tujuan understanding of understanding, sangat mempedulikan dan bahkan mengutamakan perspektif emik ketimbang perspektif etik.
10. Lebih mempedulikan segi kedalaman ketimbang segi keluasan cakupan dari suatu penelitian.
11. Generalisasinya lebih bersifat tranferabilitas ketimbang statiskal ala penelitian kuantitatif konvensional.
12. Mengacu pada konsep dan teknik theoretical sampling ketimbang pada konsep dan teknik statistical sampling ala penelitian kuantitatif konvensional.
13. Berpegang pada patokan kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan konfirmabilitas guna menghasilkan temuan penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Rabu, 05 Mei 2010
Prinsip Islam dan Kesehatan
Al Quran dan Kesehatan
Oleh: Tjipto Subadi
Gratis, dipersilahkan meng-copy
Tulisan ini diunduh dari Makalah Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Yang berjudul Wawasan Al-Qur'an
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah.
Al-Biqa'i dalam tafsirnya mengenai surah Al-Fatihah
mengemukakan sabda Nabi Saw.,
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan
di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan
bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang
makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan,
sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya,
selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud
dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang
keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat
dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup
maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam
dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain
adalah:
1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
kesehatan, dan harta benda umat manusia.
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah
yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk
disalahgunakan atau diperjualbelikan.
3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
membedakan ras atau agama.
4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang
hidup, maupun yang telah wafat.
5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang
hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan
bahwa transplantasi dapat dibenarkan selama tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia --yang hidup
maupun yang mati-- terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan
tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia
mungkin dapat menyalahqunakan kesehatannya, dan ini dapat
mengakibatkan dosa, terutama bagi "pemilik" organ (jenazah),
atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungl.awaban dari
seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu,
tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh
Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan" kekhawatiran
di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama
manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak
akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru,
maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu
saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang
siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan
menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-Maidah [5): 32).
"Menghidupkan" di sini bukan saja yang berarti "memelihara
kehidupan", tetapi juga dapat mencakup upaya "memperpanjang
harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang
kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya
hanyalah "sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi
Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara'
(26): 80'
Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
aku.
KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan
penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat
berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi
Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit
jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai
orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian
kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di
perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan
sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam
buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada
saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan
kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka
secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang
digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya
merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya
dengan bersabda,
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian
kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui
penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum
dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi
tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi
qulubihim maradh,
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan
hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata
tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada
terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang."
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak
ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan
adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda.
Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal
berganda.
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan.
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan
bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme,
loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk
keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas,
pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah
mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
(tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
kepada Allah dengan hati yang sehat.
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari
segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, karena:
Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang
kesehatan.[]
Oleh: Tjipto Subadi
Gratis, dipersilahkan meng-copy
Tulisan ini diunduh dari Makalah Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Yang berjudul Wawasan Al-Qur'an
Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah.
Al-Biqa'i dalam tafsirnya mengenai surah Al-Fatihah
mengemukakan sabda Nabi Saw.,
Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
mendidik hamba-hamba-Nya.
Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang
pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan
di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran
terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikan
bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang
makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan,
sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harus
dihindari oleh orang yang bertakwa.
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar
berobat pada saat ditimpa penyakit.
Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan
Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya,
selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud
dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang
keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat
dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam
upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup
maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan
kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan
topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam
dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain
adalah:
1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal,
kesehatan, dan harta benda umat manusia.
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah
yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk
disalahgunakan atau diperjualbelikan.
3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang
dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa
membedakan ras atau agama.
4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang
hidup, maupun yang telah wafat.
5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang
hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
kepentingan orang yang hidup.
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan
bahwa transplantasi dapat dibenarkan selama tidak
diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia --yang hidup
maupun yang mati-- terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan
tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang
kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia
mungkin dapat menyalahqunakan kesehatannya, dan ini dapat
mengakibatkan dosa, terutama bagi "pemilik" organ (jenazah),
atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak
sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungl.awaban dari
seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara
sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:
Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu,
tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh
Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan" kekhawatiran
di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama
manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak
akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru,
maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin
sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu
saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin.
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang
siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan
menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-Maidah [5): 32).
"Menghidupkan" di sini bukan saja yang berarti "memelihara
kehidupan", tetapi juga dapat mencakup upaya "memperpanjang
harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami
dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang
kesehatan.
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya
hanyalah "sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik
sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi
Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara'
(26): 80'
Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
aku.
KESEHATAN MENTAL
Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang
terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan
penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat
berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi
Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).
Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit
jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai
orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.
Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian
kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di
perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan
sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam
buaian.
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada
saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan
kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka
secara wajar.
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang
digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya
merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya
dengan bersabda,
Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan
kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau
renggut dengan kasar)?
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian
kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui
penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum
dewasa.
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang
penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi
tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.
Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi
qulubihim maradh,
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan
hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit.
Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata
tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia
melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada
terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya
amal seseorang."
Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak
ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan
adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena
kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda.
Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal
berganda.
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya
pada keraguan dan kebimbangan.
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan
bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme,
loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk
keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas,
pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah
mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti
bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
(tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
kepada Allah dengan hati yang sehat.
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari
segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan
diri kepada Tuhan, karena:
Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang
kesehatan.[]
Minggu, 02 Mei 2010
KTSP 1
KTSP (Kuri¬kulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Diakses dari presiriau.com/...pendidikan/ktsp-kuri¬kulum-tingkat-satuan-pendidikan/
3 Mei 2010 jam 06.15
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat telah terjadi perubahan, penyempurnaan kurikulum. Yang di mulai tahun 1960, 1968, 1975, 1964, 1994, 2004 dan sekarang 2006. Untuk kurikulum tahun 2006 lebih populer dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kalau kita baca pada Harian Kompas tanggal 23 September 2006, di tulis oleh M Basuki Sugita. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kuri¬kulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Ketua BSNP pada waktu itu Bambang Suhendro , menegaskan, tahun 2006 Kurikulum 2006 merupakan hasil kreasi dari guru-guru di sekolah berdasarkan standar isi dan standar kompetensi.
Hal sama juga dikemukakan Djaali, Sekretaris BSNP. “Terbitnya peraturan menteri tentang standar isi dan standar kompetensi itu kelak menandai diserahkannya kewenangan kepada guru untuk menyusun kurikulum bartt,” Bambang menjelaskan, kurikulum 2006 lebih memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang membumi sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah. Dalam standar isi tercakup struktur, beban, dan jam pelajaran.
Demikian pula apa yang dikatakan dalam Surat Kabar Harian Kompas tanggal 29 September 2006, E Baskoro Poedjinoegroho menyatakan Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), merupakan hasil penegasan dari atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang indah karena memberikan peluang yang sebesar-besamya kepada daerah untuk berkembang.
Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan pendidikan menjadi mandiri (?) dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan.
Sudaryanto pada Harian Kompas, tanggal 18 September 2006, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan bahwa tidak ada perubahan drastis dalam kurikulum baru. Kurikulum baru yang dimaksud ialah kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai akrab disebut Kurikulum 2006, yang diolah berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan produk Badan Standar Nasional Pendidikan alias BSNP.
Dalam kurikulum baru ini guru diberi otonomi dalam menjabarkan kurikulum, dan murid sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Dari situlah diharapkan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan dapat memenuhi standarisasi evaluasi belajar siswa.
Kecenderungan selama ini, terutama ketika muncul tanda-tanda pergantian kurikulum, selalu tidak diperhitungkan matang. Buktinya, saat ini di berbagai jenjang sekolah di Indonesia menggunakan tiga jenis kurikulum secara bersamaan (Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan Kurikulum 2006 berlabel KTSP. Di sejumlah sekolah saat ini berlangsung uji coba Kurikulum 2004. Dengan adanya dua-tiga kurikulum berbeda untuk generasi yang hampir seangkatan, bisa dibayangkan bagaimana gamangnya arah dan visi pendidikan nasional kita.
Di sinilah aspek kesinambungan, khususnya terkait dengan aspek urgensi, substansi, dan implementasi suatu kurikulum di sekolah jadi terabaikan. Implikasinya, para siswa dan guru menjadi korban dari perubahan kurikulum, dan hal ini patut mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Masuk akal jika muncul pendapat bahwa rencana pergantian kurikulum itu lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangkan aspek urgensi, substansi, dan implementasinya. Hal ini bisa kita analogikan mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit. Mestinya kaki yang gatal kok temyata yang diobati kepala. Untuk itu, kita amat menekankan bahwa mengganti kurikulum tidaklah sesederhana mengubah metodologi pembelajaran di kelas).
Prasetyo Utomo, 2006, Keuntungan yang bisa diraih guru dengan Kurikulum 2006 ini adalah keleluasaan memilih bahan ajar dan peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusat¬kan perhatian pada pengembangan kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka ragam kegiatan belajar-mengajar dan sumber belajar.
Diharapkan guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. Sekolah dipacu untuk dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 dideskripsikan kompetensi dasar, dijabarkan indikator, dan bahkan dipetakan pula materi pokok pelajaran. Dalam Kurikulum 2006 hanya dideskripsikan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru sendiri yang mesti menentukan indikator dan materi pokok pelajaran, disesuaikan dengan situasi daerah dan minat anak didik. Semoga.
Diakses dari presiriau.com/...pendidikan/ktsp-kuri¬kulum-tingkat-satuan-pendidikan/
3 Mei 2010 jam 06.15
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat telah terjadi perubahan, penyempurnaan kurikulum. Yang di mulai tahun 1960, 1968, 1975, 1964, 1994, 2004 dan sekarang 2006. Untuk kurikulum tahun 2006 lebih populer dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kalau kita baca pada Harian Kompas tanggal 23 September 2006, di tulis oleh M Basuki Sugita. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kuri¬kulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Ketua BSNP pada waktu itu Bambang Suhendro , menegaskan, tahun 2006 Kurikulum 2006 merupakan hasil kreasi dari guru-guru di sekolah berdasarkan standar isi dan standar kompetensi.
Hal sama juga dikemukakan Djaali, Sekretaris BSNP. “Terbitnya peraturan menteri tentang standar isi dan standar kompetensi itu kelak menandai diserahkannya kewenangan kepada guru untuk menyusun kurikulum bartt,” Bambang menjelaskan, kurikulum 2006 lebih memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang membumi sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah. Dalam standar isi tercakup struktur, beban, dan jam pelajaran.
Demikian pula apa yang dikatakan dalam Surat Kabar Harian Kompas tanggal 29 September 2006, E Baskoro Poedjinoegroho menyatakan Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), merupakan hasil penegasan dari atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang indah karena memberikan peluang yang sebesar-besamya kepada daerah untuk berkembang.
Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat. Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni Satuan pendidikan menjadi mandiri (?) dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan.
Sudaryanto pada Harian Kompas, tanggal 18 September 2006, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan bahwa tidak ada perubahan drastis dalam kurikulum baru. Kurikulum baru yang dimaksud ialah kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai akrab disebut Kurikulum 2006, yang diolah berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan produk Badan Standar Nasional Pendidikan alias BSNP.
Dalam kurikulum baru ini guru diberi otonomi dalam menjabarkan kurikulum, dan murid sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Dari situlah diharapkan implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan dapat memenuhi standarisasi evaluasi belajar siswa.
Kecenderungan selama ini, terutama ketika muncul tanda-tanda pergantian kurikulum, selalu tidak diperhitungkan matang. Buktinya, saat ini di berbagai jenjang sekolah di Indonesia menggunakan tiga jenis kurikulum secara bersamaan (Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan Kurikulum 2006 berlabel KTSP. Di sejumlah sekolah saat ini berlangsung uji coba Kurikulum 2004. Dengan adanya dua-tiga kurikulum berbeda untuk generasi yang hampir seangkatan, bisa dibayangkan bagaimana gamangnya arah dan visi pendidikan nasional kita.
Di sinilah aspek kesinambungan, khususnya terkait dengan aspek urgensi, substansi, dan implementasi suatu kurikulum di sekolah jadi terabaikan. Implikasinya, para siswa dan guru menjadi korban dari perubahan kurikulum, dan hal ini patut mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Masuk akal jika muncul pendapat bahwa rencana pergantian kurikulum itu lebih bersifat proyek ketimbang mempertimbangkan aspek urgensi, substansi, dan implementasinya. Hal ini bisa kita analogikan mirip dengan terapi yang salah dalam mengobati penyakit. Mestinya kaki yang gatal kok temyata yang diobati kepala. Untuk itu, kita amat menekankan bahwa mengganti kurikulum tidaklah sesederhana mengubah metodologi pembelajaran di kelas).
Prasetyo Utomo, 2006, Keuntungan yang bisa diraih guru dengan Kurikulum 2006 ini adalah keleluasaan memilih bahan ajar dan peserta didik diharapkan dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Guru dapat memusat¬kan perhatian pada pengembangan kompetensi peserta didik dengan menyediakan aneka ragam kegiatan belajar-mengajar dan sumber belajar.
Diharapkan guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. Sekolah dipacu untuk dapat menyusun program pendidikan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 dideskripsikan kompetensi dasar, dijabarkan indikator, dan bahkan dipetakan pula materi pokok pelajaran. Dalam Kurikulum 2006 hanya dideskripsikan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru sendiri yang mesti menentukan indikator dan materi pokok pelajaran, disesuaikan dengan situasi daerah dan minat anak didik. Semoga.
Jumat, 30 April 2010
Contoh Proposal Penelitian Kualitatif
PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN
MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM DENGAN MODEL LESSON STUDY
PADA PROGRAM STUDI PGSD FKIP-UMS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di Perguruan Tinggi khususnya Mata Kuliah Psikologi Umum banyak faktor yang harus diperhatikan, misalnya; dosen, mahasiswa, sarana dan prasarana, laboratorium dan kelengkapannya, lingkungan dan manajemennya, serta model pembelajarannya. Peningkatan kualitas pembelajaran dosen dengan model pembelajaran inovatif (inovative teaching modelling) pada program studi PGSD-FKIP-UMS akan berpengaruh pada prestasi akademik mahasiswa (calon guru) dan selanjutnya akan berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sekarang ini kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara lain.
Balitbang (2003) mencatat bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Khusus kualitas guru (2002-2003) data guru yang layak mengajar, untuk SD hanya 21,07 % (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 % (negeri) dan 60,09 % (swasta), untu SMA 65,29 % (negeri) dan 64,73 % (swasta), serta untuk SMK 55,49% (negeri) dan 58,26 % (swasta). Sedangkan data siswa menurut Trends in Mathematic and Science Study 2003/2004 mencatat bahwa siswa Indonesia (SD) hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking 37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam skala Internasional menurut Bank Dunia, Study IFA di Asia Timur menunjukkan ketrampilan membaca siswa kelas IV SD Indonesia berada pada tingkat rendah apabila dibandingkan dengan Negara lain yaitu Hongkong 75,5%, Singapura 74 %, Thailand 65,1 %, sedangkan Indonesia berada pada posisi 51,7 %. (dalam Laporan Penelitian Tjipto Subadi, 2009: 50-51)
Data-data tersebut di atas maknanya terdapat masalah-masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pertama; masalah mendasar yakni kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua; masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatan dan metode pembelajaran. Ketiga; masalah lain yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis penyelenggaraan pendidikan misalnya; biaya pendidikan, sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru dan rendahnya prestasi siswa, dan sebagainya.
Upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2005 pemerintah dan DPR RI telah mensyahkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru/dosen agar guru/dosen menjadi profesional. Di satu pihak, pekerjaan sebagai guru/dosen akan memperoleh penghargaan yang lebih tinggi, tetapi di pihak lain pengakuan tersebut mengharuskan guru/dosen memenuhi sejumlah persyaratan agar mencapai standar minimal seorang profesional. Pengakuan terhadap guru/dosen sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru/dosen telah memiliki antara lain kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang dipersyaratkan (Pasal 8). Kualifikasi akademik tersebut harus “diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat” (Pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikuti pendidikan profesi (Pasal 10 ayat (1)). Adapun jenis-jenis kompetensi yang dimaksud pada Undang-undang tersebut meliputi, Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Profesi (Pasal 10 ayat (1)).
Lesson study yang dimaksud dalam kajian ini merupakan proses pelatihan dosen yang bersiklus, diawali dengan seorang dosen:
1. Merencanakan perkuliahan melalui eksplorasi akademik terhadap materi ajar dan alat-alat pelajaran;
2. Melakukan perkuliahan berdasarkan rencana dan alat-alat pelajaran yang dibuat, mengundang sejawat untuk mengobservasi;
3. Melakukan refleksi terhadap perkuliahan tadi melalui tukar pandangan, ulasan, dan diskusi dengan para observer.
4. Oleh karena itu, implementasi program lesson study perlu dimonitor dan dievaluasi sehingga akan diketahui bagaimana keefektifan, keefisienan dan perolehan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Rood map penelitian dengan menggunakan lesson study sebagai model pembelajaran terdapat berbagai variasi pelaksanaan lesson study. Lewis (2002) menyarankan ada enam tahapan dalam awal mengimplementasikan lesson study di sekolah, yakni (1) membentuk kelompok lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) menyusun rencana pembelajaran (4) melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengamatinya (observasi) (5) refleksi dan menganalisis pembelajaran yang telah dilaksanakan (6) merencanakan pembelajaran tahap selanjutnya. Sementara itu, Richardson (2006) menyarankan 7 tahap lesson study untuk meningkatkan kualitas guru (yang masih mirip dengan Lewis) yakni (1) membentuk tim lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) merencanakan pembelajaran (4) persiapan untuk observasi (5) melaksanakan pembelajaran dan observasinya (6) melaksanakan diskusi pembelajaran yang telah dilaksanakan (refleksi) (7) merencanakan pembelajaran untuk tahap selanjutnya. (Sukirman: 2006: 7)
Penelitian Sagor (1992) dalam Bambang Subali (2006: 29-30) menghasilkan temuan bahwa lesson study sebagai suatu riset meliputi tiga tahapan utama yakni tahap perencanaan (planning), tahap implementasi (implementing/do), tahap refleksi (reflecting/see). Dari tahapan tersebut, jika mengacu pada PTK menurut Sagor, maka pelaku lesson study bekerja pada tiga tahapan tindakan, yakni: (1) memprakarsai tindakan (initiating action), misalnya ingin mengadopsi suatu gagasan atau ingin menerapkan suatu strategi baru (2) monitoring dan membenahi tindakan (monitoring and adjusting action) dan (3) mengevaluasi tindakan (evaluation action) untuk menyiapkan laporan final dari program secara lengkap.
Sagor menyarankan, dari sudut inquiry maka kegiatan untuk memprakarsai tindakan biasanya berupa kegiatan mencari informasi yang akan membantu dalam memahami dan memecahkan masalah sehingga merupakan research for action. Selama pelaksanaan dilakukan monitoring dan pembenahan tindakan yang lebih berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan sehingga merupakan research in action. Pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi akhir untuk mengevaluasi tindakan yang lebih berfokus untuk mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan sehingga merupakan research of action.
Penelitian Sa’dun dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD” berkesimpulan bahwa Model-model pembelajaran tematis untuk kelas 1 dan 2 SD yang berhasil disusun secara kolaboratif adalah model-model dan modul (worksheet) untuk tema-tema: Diri Sendiri, Keluarga, Lingkungan, Pengalaman, Kegemaran, dan Kesehatan-kebersihan dan keamanan. Dari sejumlah model dan modul (worksheet) yang telah disusun tersebut kualitasnya masih bervariasi, dan masih dalam bentuk matrik, yang selanjutnya perlu dinarasikan secara mengalir, disederhanakan, difinishing, sehingga lebih mudah dipahami dan dapat diterapkan. Penelitian lain yang dilakukan Agus Marsidi dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan” berkesimpulan antara lain “pada waktu mengajar mata pelajaran IPA, Matematika, IPS, dan Bahasa, Guru menekankan pada berbagai aspek seperti pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pemecahan masalah, pengetahuan prosedural, dan proses berpikir logis.” Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi persoalan kelangkaan model-model peningkatan kualitas guru yang berbasis riset. (dalam Tjipto Subadi, 2009:5).
Penelitian dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Umum dengan Model Lesson Study Pada Program Studi PGSD FKIP-UMS” dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah produk yang berupa model-model perkuliahan di PGSD-FKIP-UMS yang bisa meningkatkan kualitas dosen melalui pelatihan lesson study. Dengan demikian diharapkan dapat membantu mengatasi sebagian masalah pendidikan sebagaimana diuraikan di atas.
B. Permasalahan Penelitian.
Permasalahan penalitian ini adalah (1) bagaimana permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (2) bagaimana langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (3) bagaimana model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS?
C. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini menghasilkan produk berupa (1) identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
D. Manfaat Penelitian.
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial tentang; (1) permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi guru/dosen, LPTK dan birokrasi pendidikan (pemerintah) dalam menyusun strategi kebijakan peningkatan kualitas pembelajaran bagi guru/dosen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kompetensi Guru
Menurut Charles (1994 dalam Mulyasa, 2007: 25) kompetensi adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sarimaya (2008: 17) memaknai kompetensi guru sebagai kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sedangkan menurut Broke and Stone dalam Mulyasa (2007: 25) kompetensi guru sebagai; descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful (kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti).
Dari pendapat tersebut di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu. Sehingga kompetensi guru dapat dianggap kompeten jika memiliki kemampuan, pengetahuan dan sikap yang mampu mendatangkan apresiasi bagi guru.
Menurut Undang Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjelaskan bahwa standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu: 1) Kompetensi Pedagogik. 2) Kompetensi Kepribadian. 3) Kompetensi Sosial. 4) Kompetensi Profesional.
1) Kompetensi Pedagogik. Yang termasuk kompetensi pedagogik antara lain (1) memahami peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3) melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran dan (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2) Kompetensi Kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil, bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik.
3) Kompetensi Profesional. Kompetensi profesional adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam hal menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi antara lain; (1) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan, (2) memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4) Kompetensi Sosial. Kompetensi ini antara lain; (1) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; (2) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (3) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Sebagai perbandingan, di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski (2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3) kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keanekaragaman, (6) etika, (7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi. (http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).
B. Model Pembelajaran Inovatif
Guru adalah jabatan dan pekerja profesioal, indikator untuk mengukur keprofesionalan adalah jika kelas yang diasuh menjadi “surganya siswa untuk belajar”, atau “kehadiran seorang sebagai guru di kelas selalu dinantikan siswa”. (Sugiyanto, 2008: 5). Sudahkah pembelajaran kita mencapai kondisi yang demikian? Selain tugas profesional tersebut guru juga harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator. Jika peran ini dijalankan dengan baik dan benar maka usaha memberikan pelayanan pembelajaran yang optimal kearah pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) Insya Allah dapat dicapai. Perlu diingat bahwa kemampuan menerapkan pendekatan PAIKEM tersebut diperlukan model pembelajaran yang inovatif. Joyce dan Weil (1986) menjelaskan bahwa hakikat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar.
Banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha meningkatkan kualitas guru, antara lain; Model Pembelajaran Konstektual, Model Pembelajaran Quantum, Model Pembelajaran Terpadu, Model Pembelajaran Kooperatif, dan Model Pembelajaran Berbasis Masalah.
1. Model Pembelajaran Kontektual.
Model Pembelajaran Konstektual (Constextual Teaching and Learning) adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, model ini juga mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar. Menurut Nurhadi (2002) pendekatan pembelajaran kontektual memiliki tujuh komponen, yaitu: (1) Constructivism (Konstruktivisme), (2) Inquiry (Menemukan), (3) Questioning (Bertanya), (4) Learning Community (Masyarakat Belajar), (5) Modelling (Pemodelan) (6) Reflection (Refleksi), (7) Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya).
Penjelasan dari ketujuh komponen ini menurut Harta (2009: 41) adalah sebagai berikut; konsrtuktivisme adalah suatu pembelajaran yang menekankan terbentuknya pemahaman siswa secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Sedangkan inquiry (menemukan) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontektual yang diawali dengan pengamatan terhadap fenomena, yang dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Langkah-langkah inkuiri dimulai dari observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpanan.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari questioning (bertanya). Bertanya merupakan strategi pokok dalam pembelajaran yang berbasis kontektual. Strategi ini dipandang sebagai upaya guru yang dapat membantu siswa untuk mengetahui sesuatu, memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Sehingga penggalian informasi menjadi lebih efektif, terjadinya pemantapan pemahaman lewat diskusi., bagi guru bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Learning Community (Masyarakat belajar) yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Maksud dari Modelling (pemodelan) dalam pembelajaran kontektual bahwa pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya cara menggunakan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan, Cara semacam ini akan lebih cepat dipahami oleh siswa. Adapun prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru, contoh yang dapat diperoleh langsung dari ahli yang berkompeten.
Reflection (Refleksi) juga bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan kontektual. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa-apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya adalah pengayaan dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun prinsip dalam penerapannya adalah perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh respon atas kejadian atau penyampaian penilaian atas pengetahuan yang baru diterima.
Sedangkan yang dimaksud Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Sehingga penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran berlangsung. Adapun penerapannya adalah untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, penilaian dilakukan secara komprehensif antara penilaian proses dan hasil, guru menjadi penilai yang konstruktif, memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan penilaian diri.
2. Model Pembelajaran Kuantum
Model ini disajikan sebagai salah satu strategi yang dapat dipilih guru agar pembelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (enjoyful learning). Model ini merupakan ramuan dari berbagai teori psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Penggagas model ini De Porter dalam Quantum Learning (1999: 16) ia menjelaskan bahwa Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori, seperti; Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik, Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Belajar dengan simulsi/permainan.
Ada beberapa karakteristik umum, menurut De Porter dalam Sugiyanto (2008: 11) yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum; 1) Berpangkal pada psikologi kognitif. 2) Lebih bersifat humanistis, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. (3) Lebih bersifat kontruktivistis, bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau naturasionistis. 4) Memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. 5) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna. 6) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. 7) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifialan atau keadaan yang dibuat-buat. 8) Menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. 9) Memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10) Memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal atau material. 11) Menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. 12) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. 13) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Sebagai kerangka operasional pembelajarannya, model kuantum memperkenalkan konsep TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Ulangi, dan Rayakan).
3. Model Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu penting disajikan, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Strandar Isi, IPS dan IPA merupakan mata pelajaran di SMP yang harus disajikan secara terpadu, namun penerapan model pembalajaran terpadu tersebut menemui banyak hambatan di lapangan karena memberikan beban berat bagi guru IPS dan IPA. Hal ini disebabkan: (1) Semua guru IPS dan IPA di SMP tidak ada yang berlatar belakang Pendidikan IPS/IPA tetapi hanya berlatar belakang salah satu pendidikan IPS/IPA yaitu; (sarjana pendidikan sejarah, sarjana pendidikan ekonomi, dan sarjana pendidikan geografi, sarjana pendidikan fisika, sarjana pendidikan biologi, sarjana pendidikan kimia), sehingga materi ajar yang dikuasai guru hanyalah materi salah satu dari rumpun IPS/IPA tersebut. (2) Selama kuliah para guru belum diajarkan mengemas bahan ajar dengan model terpadu.
Model pembelajaran terpadu menurut Ujang Sukamdi dkk (2001: 3) pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Menurut Anitah (2003: 16-17) pembelajaran terpadu mempunyai banyak keuntungan dan kelebihan: (1) Dapat meningkatkan kedalaman dan keluasan dalam belajar. (2) Memberikan kesadaran metakognitif kepada pebelajar. (3) Memudahkan pembelajar untuk memahami alasan mengerjakan sesuatu yang dikerjakan. (4) Hubungan antara isi dan proses pembelajaran menjadi lebih jelas. (5) Transfer konsep antar isi bidang studi lebih baik.
Menurut Forgaty (1991: 5) membagi 10 model yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran terpadu, yaitu ; (1) Fragmented model, (2) Connected model, (3) Nested model, (4) Sequencedmodel, (5) Share model (6) Webbed model, (7) Threathed model, (8) Networked model , (9) Immersed model, (10) Integrated model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut merupakan suatu kontinum dari model yang terpisah sampai model dengan keterpaduan yang komplek. Dari sepuluh model tersebut menurut Hamid (1997: 112) dapat direduksi menjadi lima langkah untuk perencanaan pembelajaran terpadu, yaitu; (a) pemetaan kompetensi dasar, (b) penentuan tema, (c) penjabaran KD ke dalam indikator, (d) pengembangan silabi, (e) penyusunan skenario pembelajaran.
4. Model PBL (Problem Based Learning)
Model PBL mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Menurut Sugiyanto (2008: 14-15) PBL fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan, mempresentasikan, dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi guru lebih harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Membuat siswa berpikir, menyelesaikan masalah, dan menjadi pelajar yang otonom bukan tujuan baru bagi pendidik. Berbagai strategi mengajar, seperti discovery learning, inquiry learning, dan inductive teaching memiliki sejarah panjang.
John Dewey (1993) mendiskripsikan secara cukup terperinci tentang nilai penting dari reflectivethinking (berpikir reflektif) dan proses-proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa memperoleh ketrampilan dan proses berpikir produktif. Jerome Bruner (1962) menekankan nilai penting dari discovery learning dan bagaimana guru mestinya membantu pelajar untuk menjadi “konstruksionos” terhadap pengetahuannya sendiri. Richard Suchman mengembangkan pendekatan yang disebut inquiry training yang gurunya menyodorkan berbagai situasi yang membingungkan kepada siswa dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.
Ada lima tahapan dalam pembelajaran model PBL yang utama, yaitu: 1) Orientasi tentang permasalahan. 2) Mengorganisasikan diri untuk meneliti. 3) Investigasi mandiri dan kelompok 4) Pengembangan ide dan mempresentasikan laporan hasil penyelidikan. 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Banyaknya model pembelajaran tersebut tidaklah berarti semau guru menerapkan semua model untuk setiap bidang studi, karena tidak semua model pembelajaran itu cocok untuk setiap pokok bahasan dalam setiap bidang studi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (1) Tujuan yang akan dicapai. (2) Sifat bahan/materi ajar. (3) Kondisi siswa. (4) Ketersediaan sarana prasarana belajar. Depdiknas (2005) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (a) Berorientasi pada tujuan. (b) Mendorong aktivitas siswa. (c) Memperhatikan aspek individu siswa. (d) Mendorong proses interaksi. (e) Menantang siswa untuk berpikir. (f) Menimbulkan inspirasi siswa untuk berbuat dan menguji. (g) Menimbulkan proses belajar yang menyenangkan. (h) Mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Harta (2009: 45) prinsip dasar pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif, hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu teknik yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Lie (2004: 27) dalam Sugiyanto (2008: 10) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu, adalah: (1) Saling ketergantungan positif. (2) Interaksi tatap muka. (3) Akuntabilitas individu. (4) Keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Ada lima tahapan dalam Model Pembelajaran Kooperatif, yaitu; (1) Mengklarifikasi tujuan dan estlablishing set. (2) Mempresentasikan informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. (3) Membentuk kerja kelompok belajar. (4) Mengujikan berbagai materi. (5) Memberikan pengakuan.
Model Pembelajaran Kooperatif ini dikembangkan menjadi enam model, yaitu: (a) Student Teams Achievement Division (STAD) (b) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (c) Jigsaw (d) Learning Together (e) Group Investigation, dan (f) Cooperative Scripting.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
Suatu model kooperatif yang mengelompokkan berbagai tingkat kemampuan yang melibatkan pengakuan tim dan tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran individual. Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin (1994) metode ini dilaksanakan dengan mengelompokkan siswa yang beranggotakan 4 siswa perkelompok yang berbeda dalam tingkat kemampuannya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) Guru membagi kelas (siswa) menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang heterogen kemampuannya. (2) Guru membagikan topik/bahasan/lembar kerja akademik kepada tiap-tiap kelompok (3) Kerja kelompok untuk membahas topik tersebut, anggota kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok. (4) Guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah mereka pelajari. (5) Guru memberi skor atas pekerjaan dari siswa. (6) Dan kemudian guru memberi hadiah kepada setiap siswa yang berhasil, sebaliknya guru memberi hukuman yang mendidik kepada yang kurang berhasil, misalnya menyanyi, menghafal surat-surat Al Quran yang pendek.
b. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Suatu model pembelajaran yang komprehenship untuk mengajarkan membaca dan menulis di kelas-kelas atas, para siswa bekerja dalam bebarapa tim yang beranggotakan empat siswa. Stevens & Slavin (1995) dalam Harta (2009: 54) menjelaskan bahwa CIRC adalah suatu program konprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar, terutama untuk kelas 4, 5 dan 6. Adapun gambaran pelaksanaan pembelajaran CIRC antara laian; Para siswa bekerja dalam beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan empat orang. Mereka melakukan serangkaian kegiatan satu sama lainnya, termasuk membacakan, memperkirakan kelanjutan cerita naratif, menyimpulkan cerita yang dibaca siswa lain, merespos suatu cerita, berlatih mengeja, menafsirkan, dan kosa kata.
c. Jigsaw
Jigsaw adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap timnya beranggotakan 4-6 siswa yang akan mempelajari bahan pembelajaran yang telah dibagi atas enam bagian, satu bagian untuk satu anggota. Dalam Jigsaw setiap kelompok akan mempelajari materi yang telah dibagi atas enam bagian. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok (beberapa tim), tiap kelompok/tim anggotanya terdiri dari 4 -6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. (2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut. (3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam ini disebut “kelompok pakar”. (expert group) (4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar. (5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “home teams”, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw versi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Individu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru.
d. Learning Together
Learning Together adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap kelompok heterogen beranggotakan empat-lima siswa untuk membahas materi secara bersama-sama. Pendekatan kooperatif heterogen yang dikembangkan oleh David Johnson and Roger Johnson (1999) ini menugaskan setiap kelompok bekerja sama untuk membahas suatu materi. Setiap kelompok mengumpulkan hasil pembahasan dan menerima penghargaan berdasarkan apa yang dihasilkan oleh kelompok tersebut. Model ini menekankan pada kegiatan-kegiatan untuk pembentukan kebersamaan kelompok sebelum bekerja dan diskusi dalam kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama.
e. Group Investigation
Menurut Harta (2009: 54) Group Investigation adalah suatu pendekatan kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan teknik inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Hasil penyelidikan kemudian disajikan kepada seluruh kelas.
Menurut pendapat (Sharan & Sharan, 1992) Group Investigation merupakan rencana organisasi kelas biasa di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan model inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Dalam model ini, para siswa membentuk sendiri kelompoknya (2 – 6 orang peserta didik). Setelah memilih subtopik dari topik yang sedang dipelajari oleh seluruh kelas, setiap kelompok memecah subtopik tersebut menjadi tugas-tugas individu untuk dilaksanakan dan dilaporkan sebagai bagian dari tugas kelompok. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan temuannya kepada seluruh kelas. Adapun langkah-langkah pembelajarannya Group Investigation menurut Sugiyanto (2008: 45-46) adalah : (1) Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik. (2) Merencanakan kerja sama. Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (3) Implementasi. Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (4) Analisis dan sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. (5) Penyajian hasil akhir. Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (6) Evaluasi selanjutnya. Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya.
f. Cooperative Scripting
Suatu pengkajian yang menuntut siswa bekerja berpasangan dan secara bergiliran secara lisan menyimpulkan bagian-bagian yang akan dipelajari. Banyak siswa yang menyukai bersama dengan teman sekelas mendiskusikan materi yang mereka dengar atau pelajari di kelas. Formalisasi latihan dengan teman sebaya ini telah diteliti oleh Dansereau (1985) dan rekan-rekannya. Dalam penelitian ini, para siswa belajar berpasangan dan secara bergilir membuat kesimpulan untuk materi yang dipelajarinya. Sementara seorang siswa menyimpulkan untuk rekannya, siswa lainnya mendengarkan dan mengkoreksi setiap kesalahan atau kekurangannya, jika ada. Kemudian kedua siswa bertukar peran, dengan kegiatan yang sama sehingga semua materi telah dipelajari. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan model ini secara konsisten menemukan bahwa para siswa yang mengikuti model ini jauh melebihi siswa yang menyimpulkan atau membaca sendiri (Newbern, Dansereau, Patterson & Wallace, 1994). Penelitian lain menemukan bahwa siswa yang mengajar lebih tinggi dibandingkan dengan rekannya yang berperan sebagai pendengar (Spurlin, Dansereau, Larson & Brooks, 1984; Fuchs & Fuchs, 1997; King, 1997, 1998).
C. Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Peningkatan kualitas pembelajaran adalah usaha untuk menjadikan pembelajaran lebih baik sesuai dengan kondisi-kondisi yang dapat diciptakan atau diusahakan. Kriterianya bersifat normatif yaitu hasil tindakan dianalisis dengan metode alur kemudian dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan kualitas pembelajaran/perkuliahan mata kuliah psikiologi umum, di mana peningkatan pembelajaran ini diharapkan berpengaruh kepada prestasi mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum tersebut lebih baik.
Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi merupakan bagian dari kegiatan pendidikan pada umumnya, yang secara otomatis meningkatkan kualitas mahasiswa ke arah yang lebih baik. Bila diamati keberhasilan dalam pendidikan tidaklah lepas dari kegiatan pembelajaran. Keberhasilan dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi biasanya diukur dengan keberhasilan mahasiswanya dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan. Semakin banyak mahasiswa yang dapat mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi, maka semakin tinggi keberhasilan dari pembelajaran tersebut.
Pembelajaran sebagai pembinaan ke arah perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup harus direncanakan dan dilaksanakan secara kondusif dan menyenangkan, sehingga mahasiswa memiliki motivasi dan perhatian untuk belajar lebih jauh. Karena itu maka pembelajaran yang efektif seyogyanya menggunakan berbagai macam pendekatan, metode dan media pembelajaran (pendidikan) yang dapat menyenangkan dan menarik perhatian.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa / mahasiswa yang harus memainkan peranan, serta ada hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia (Hasibuan, 2006: 3). “Pembelajaran merupakan kegiatan mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melalukan kegiatan belajar”. (Sudjana, 2005: 7).
Dari uraian pembelajaran tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari pengajar/guru/dosen untuk membuat proses belajar-mengajar terjadinya perubahan tingkah laku pada diri pelajar/siswa/mahasiswa yang berlaku dalam waktu relatif lama. Karena itu dalam guru mengajar/dosen memberi kuliah, bagaimana siswa/mahasiswa dapat mempelajari bahan sesuai tujuan. Usaha yang dilakukan guru/dosen merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa/mahasiswa. Peran guru/dosen bukan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai motivator, organisator, fasilitator, dalam pembelajaran.
D. Lesson Study
1. Tinjauan Sejarah
Lesson Study di Jepang. Lesson Study dikembangkan di Jepang sejak tahun 1900-an. Guru-guru di Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi siswa-siswanya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyokenkyu, yang berasal dari dua kata yogyo yang berati lesson atau pembelajaran, dan kentyu yang berarti study atau research atau pengkajian. Dengan demikian lesson study merupakan study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. (Tim UPI, 2007: 20).
Lesson Study bisa dilaksanakan oleh kelompk guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok guru sebidang, semacam MGMP di Indonesia. Kelompok guru dari beberapa sekolah berkumul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di Jepang adalah yang diselenggarakan oleh suatu sekolah dan dikenal sebagai konaikenshu yang berkembang sejak tahun 1960-an. Konaikenshu juga dibentuk oleh dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah dan kata kenshu yang berarti tanning. Jadi istilah konaikenshu berarti school-based in-service training atau in service education within the school atau in house workshop. Pada tahun 1970-an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari konaikenshu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu dengan menyediakan dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan konaikenshu. Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang melaksanakan konaikenshu. Walaupun pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan biaya bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu tetapi kebanyakan sekolah melaksanakan secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya (Tim Lesson Study UPI, 2007: 20-21)
Lesson Study Telah Menjadi Milik Dunia. The Third Intenational Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi untuk membandingkan pencapaian hasil belajar matematika dan IPA kelas 8 (kelas 2 SMP). Penyebaran lesson study di dunia pada tahun 1995 di latar belakangi oleh TIMSS. Empat puluh satu negara terlibat dalam TIMSS, dua puluh dari empat puluh satu Negara memperoleh skor rata-rata matematika yang signifikan lebih tinggi dari Amerika Serikat. Negara-Negara yang memperoleh skor matematika yang lebih tinggi dari Amerika Serikat antara lain Singapura, Korea, Jepang, Kanada, Prancis, Australia, Ireland. Sementara hanya 7 negara yang memperoleh skor matematika secara signifikan lebih rendah dari Amerika Serikat, yaitu Lithuania, Cyprus, Portugal, Iran, Kuwait, Colombia, dan Afrika Selatan.
Posisi pencapaian belajar matematika siswa-siswa SMP Kelas 2 (dua) di Amerika Serikat membuat negara itu melakukan studi banding pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman. Tim Amerika Serikat melakukan perekaman video pembelajaran matematika di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat untuk dilakukan analisis terhadap pembelajaran tersebut. Pada waktu itu, Tim Amerika Serikat menyadari bahwa Amerika Serikat tidak memiliki sistem untuk melakukan peningkatan mutu pembelajaran, sementara Jepang dan Jerman melakukan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Amerika Serikat selalu melakukan reformasi tapi tidak selalu melakukan peningkatan mutu. Selanjutnya ahli-ahli pendidikan Amerika Serikat belajar dari Jepang tentang lesson study. Sekarang lesson study telah berkembang di sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan diyakini lesson study sangat potensial untuk pengembangan keprofesionalan pendidik yang akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Selain itu lesson study juga telah berkembang di Australia.
Lesson Study di Indonesia. Lesson Study berkembang di Indonesia melalui IMSTEP (Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project) yang diimplemantasikan sejak Oktober tahun 1998 di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP Yogjakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta/UNY) dan IKIP Malang (sekarang bernama Universitas Negeri Malang /UNM) bekerja-sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuan Umum dari IMSTEP adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di Indonesia, sementara tujuan khususnya dalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang. Pada permulaan implementasi IMSTEP, UPI, UNY, dan UM berturut-turut bernama IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang.
2. Konsep Dasar Lesson Study
Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan lesson study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi pendidik.
Lesson study dapat merupakan suatu kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru/dosen dan pakar pembelajaran yang mencakup; (1) tahap perencanaan (planning), (2) tahap implementasi (action) pembelajaran dan observasi, dan (3) tahap refleksi (reflection) terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
a. Tahap perencanaan
Pada tahap ini hal-hal yang akan dilakukan adalah: Pertama, Identifikasi masalah pembelajaran yang ada di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan lesson study, dan perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan (materi pelajaran) yang relevan, karakteristik mahasiswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media/ alat peraga, dan proses evaluasi dan hasil belajar yang akan dicapai.
Kedua, Dari hasil identifikasi tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang; (a) pemilihan materi pembelajaran, (b) pemilihan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa, serta (c) jenis evaluasi yang akan digunakan. Pada saat diskusi, akan muncul pendapat dan sumbang saran dari para mahasiswa, dosen dan pakar dalam kelompok tersebut untuk menetapkan pilihan yang akan diterapkan. Pada tahap ini, pakar dapat mengemukakan hal-hal penting/baru yang perlu diketahui dan diterapkan oleh dosen, seperti pendekatan pembelajaran konstruktif, pendekatan pembelajaran yang memandirikan belajar mahasiswa, pembelajaran kontekstual, pengembangan life skill, pemutakhiran materi ajar, atau lainnya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan tersebut.
Ketiga, Hal yang penting pula untuk didiskusikan adalah penyusunan lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan indikator-indikatornya, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikator itu disusun berdasarkan perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan untuk dimiliki mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran. (4) Dari hasil identifikasi masalah dan diskusi perencanaan pemecahannya, selanjutnya disusun dan dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri atas : (a) Rencana Pembelajaran (RP) (b) Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide) (c) Lembar Kerja mahasiswa (LKM) (d) Media atau alat peraga pembelajaran (e) Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran. (f) Lembar observasi pembelajaran.
b. Tahap Implementasi dan Observasi
Pada tahap ini seorang dosen, melakukan implementasi rencana pembelajaran (RP) yang telah disusun tersebut di kelas. Pakar dan dosen lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan. Para observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Selain itu (jika memungkinkan), dilakukan rekaman video (audio visual) yang meng close-up kejadian-kejadian khusus (pada dosen dan mahasiswa) selama pelaksanaan pembelajaran. Hasil rekaman ini berguna nantinya sebagai bukti autentik kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.
c. Tahap Refleksi
Selesai praktik pembelajaran, segera dilakukan refleksi. Pada tahap refleksi ini, dosen yang tampil dan para observer serta pakar mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang baru saja dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh pakar/dosen lain yang ditunjuk. Pertama, dosen yang melakukan implementasi rencana pembelajaran tersebut di atas diberi kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi. Kedua, observer (dosen lain/pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Ketiga, dosen yang melakukan implementasi tersebut akan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer.
3. Pengembangan Lesson Study
a. Pengembangan Lesson Study Sebagai PTK
Lesson Study sebagai penelitian tindakan kelas dapat dilaksanakan dalam beberapa macam. Mengacu pendapat Kemmis dan McTaggart (1997) ada tiga macam PTK, yakni PTK yang dilakukan secara individual, PTK yang dilakukan secara kolaboratif, dan PTK yang dilakukan secara kelembagaan.
1) Lesson Study dalam Bentuk PTK yang Dilakukan Secara Individual
Lesson study dalam PTK yang dilakukan secara individual, seorang guru/dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, guru/dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti guru/dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktek pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadopsi bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
2) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kolaboratif
PTK dalam bentuk kolaboratif/kelompok melibatkan sekelompok guru/dosen, sehingga ada guru/dosen sebagai peneliti dan guru/dosen sebagai praktisi. Dapat pula kolaborasi dilakukan antara guru dengan dosen. Dalam kolaborasi antara guru dan dosen, permasalahan digali bersama di lapangan, dan dosen dapat sebagai inisiator untuk menawarkan pemecahan atas dasar topik area yang dipilih. Dalam hal ini validitas penelitian lebih terjamin karena ada posisi sebagai peneliti dan posisi sebagai praktisi.
3) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kelembagaan
Lesson study yang dilakukan dalam bentuk PTK individual/perorangan ataupun dalam bentuk PTK yang dilakukan secara kolaboratif/kelompok memiliki skop terbatas atau berfokus pada topik area yag sempit. Misalnya, penelitian hanya berfokus pada hubungan antara proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai. PTK yang dilakukan secara kelembagaan memiliki skop penelitian yang lebih luas dan ditujukan untuk perbaikan lembaga. Dengan demikian, dalam satu penelitian dapat ditetapkan beberapa topik area. Dalam PTK yang dilakukan secara kelembagaanpun melibatkan kolaborasi dapat dibangun secara luas dengan melibatkan banyak pihak yang terkait. Untuk sekolah, dapat melibatkan siswa, guru, karyawan, orang tua, kepala sekolah, dinas, dan dosen perguruan tinggi. Untuk perguruan tinggi, dapat melibatkan mahasiswa, dosen, karyawan, pihak pengguna, dan stakeholder ataupun yang lainnya.
Tujuan utama PTK yang dilakukan secara kelembagaan adalah untuk memajukan lembaga. Oleh karena itu, dapat dibuat kelompok-kelompok peneliti menurut topik-topik area yang relevan dengan kelompok yang bersangkutan. Menurut Kemmis dan McTaggart (1997) dalam PTK bentuk ini kelompok-kelompok kecil yang ada di dalamnya dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk menguji beberapa inovasi untuk permasalahan yang ada.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan pengetahuan tentang; (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Jenis penelitiannya menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan secara individual, yakni seorang dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktik pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadop bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
B. Latar Penelitian, Informan Penelitian
Yang menjadi latar penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah psikologi umum dan mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum semester I PGSD-FKIP-UMS tahun ajaran 2009/2010, Informan penelitian ini adalah; Pimpinan Struktural, Dosen, Mahasiswa PGSD.
Melalui Pimpinan Strukturan, Dosen dan Mahasiswa PGSD akan diperoleh informasi/interpretasi tenang; Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
C. Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.
Data tentang Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam.
Observasi dilakukan untuk mengamati perkuliahan psikologi umum, sedangkan wawancara dilakukan baik kepada pimpinan, dosen dan mahasiswa, untuk memperoleh data tentang masalah-masalah perkuliahan. Untuk itu, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, dan angket-semi terbuka. Proses wawancara sampai memperoleh interpretasi dari informan, dan kemudian peneliti menginterpretasikan interpretasi informasi tersebut sampai memperoleh bahasa ilmiah yang tidak merubah makna dari interpretasi pertama. Dalam hal ini Berger (dalam Santoso, 2004) menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding. Sehubungan dengan hal tersebut di atas peneliti perlu mempersiapkan antara lain; (1) instrumen penelitian, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, angket semi terbuka, (2) model pembelajaran
D. Analisis Data.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data ini menggunakan pendekatan proses alur; data dianalisis sejak tindakan pembelajaran/ perkuliahan dilaksanakan, dikembangkan selama proses perkuliahan berlangsung sampai diperoleh perkuliahan yang berkualitas / profesional. Teknis analisis data tersebut di atas mengacu pendapat Miles (1992), Pertama, analisis data yang muncul berwujud kata-kata, data ini dikumpulkan dari survey/observasi, wawancara mendalam dan model perkuliahan. Kedua, analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, dalam hal ini peneliti mencatat hasil observasi dan wawancara dengan informan berkaitan dengan permasalahan penelitian yang telah di rumuskan pada bagian latar belakang tersebut di atas.
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Penyajian data di sini sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis (peneliti) mulai mencari makna peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. Dengan demikian, aktifitas analisis merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.
E. Keabsahan Data
Data merupakan fakta atau bahan-bahan keterangan yang penting dalam penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (aktivitas), dan selebihnya, seperti dokumen (yang merupakan data tambahan). Kesalahan data berarti dapat dipastikan menghasilkan kesalahan hasil penelitian. Karena begitu pentingnya data dalam penelitian kualitatif, maka keabsahan data dalam penelitian ini melalui teknik pemeriksaan keabsahan yang disarankan oleh Lincoln dan Guba, yang meliputi: kredibilitas (credibility), transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), konfirmabilitas (confirmability) (Lincoln, dan Guba, 1985: 298-331).
F. Indikator Kinerja
Indikator kinerja ini diarahkan pada pencapaian produk yakni (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Indikator peningkatan kualitas pembelajaran tersebut di atas tercapai apabila dosen sudah mampu mempraktekkan dengan benar 9 ketrampilan mengajar sebagai berikut: (1) Ketrampilan mengelola kelas (2) ketrampilan membuka pelajaran (3) ketrampilan bertanya (pre test, saat menerangkan, dan pos test) (4) ketrampilan menerangkan (5) ketrampilan menggunakan multi media (6) ketrampilan menggunakan multi metode (7) ketrampilan memberikan motivasi (8) ketrampilan memberikan ganjaran (9) ketrampilan menutup pelajaran
G. Perancangan Produk
Perancangan produk yang berupa model peningkatan kualitas dosen dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan dosen lain (dosen tim pengampu mata kuliah psikologi umum). Di samping itu dibantu oleh 3 orang berstatus sebagai anggota peneliti dari mahasiswa S1 yang dilibatkan dalam diskusi-diskusi dalam pengembangan instrument penelitian, pengumpulan data, pelatihan penyusunan model pembelajaran, lokakarya penyusunan model, dan penyuntingan.
Kegiatan kolaboratif ini dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan berupa; pengumpulan data tentang (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkan lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
H. Spesifikasi Produk.
Produk yang berupa identifikasi masalah-masalah pengembangan model peningkatan kualitas dosen yang dihasilkan dengan spesifikasi sbb:
Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kulian Psi. Umum
Masalah-Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kuliah Psikologi Umum
a. Kemampuan dosen dalam pengembangan kurikulum menjadi perkuliahan berkualitas.
b. Ketersediaan sumber belajar yang dimiliki dan pemanfaatannya.
c. Pola interaksi perkuliahan.
d. Pola pemanfaatan potensi alam dan manusia sekitar kampus dalam mendukung kegiatan perkuliahan.
e. Kesulitas mahasiswa dalam penguasaan kompetensi.
f. Kesulitas dosen dalam mengembangkan perkuliahan berkualitas.
g. Kemampuan dosen mengembangkan instrumen penilaian.
h. Peran pimpinan dalam pengembangan perkuliahan berkualitas.
i. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan.
j. Kreatifitas mahasiswa dalam perkuliahan.
k. Rasa senang mahasiswa dalam perkuliahan.
l. Faktor-faktor pendukung (potensial) untuk pengembangan perkuliahan berkualitas.
m. Faktor-faktor penghambat pengembangan perkuliahan berkualitas bagi dosesn PGSDS.
n. Lesson study baru dikembangkan di SD, SLP, SLA dan belum dikembangkan di Perguruan Tinggi.
Sedangkan spesifikasi produk yang berupa langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS berupa model perkuliahan yang berkaulitas dan seperangkat program semester perkuliahan, silabus, jaringan tema, dan (MRP) Model Rencana Perkuliahan.
I. Produk Yang Akan Dihasilkan
Produk yang akan dihasilkan dari penelitian ini, untuk tahun pertama; model peningkatan kualitas kooperatif (improvement model of quality of co-operative). Produk untuk tahun kedua; model peningkatan kualitas berdasar masalah (improvement model of quality of based on problem. Dan untuk tahun ketiga; model peningkatan kualitas langsung (improvement model of quality of direct)
Tahun Pertama: Model Peningkatan Kualitas Kooperatif (Improvement Model of Quality of Co-Operative)
Model kooperatif ini memiliki beberapa unsur yaitu; (1) Mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4 sampai 5 orang untuk efektifitas kelompok dalam belajar. (2) Setiap anggota kelompok memiliki rasa ketergantungan dalam kelompok, keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota dalam kelompok tersebut (3) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar sangat mendukung keberhasilan kelompok (4) Terdapat kegiatan komunikasi tatap muka baik antar anggota kelompok dalam kelompok maupun antar kelompok. Adanya komunikasi ini dapat mendorong terjadinya interaksi positif, sesama mahasiswa dapat lebih saling mengenal, masing-masing mahasiswa saling menghargai pendapat teman, menerima kelebihan dan kekurangan teman apa adanya, menghargai perbedaan pendapat yang selalu terjadi dalam kehidupan. Mahasiswa saling asah, saling asih dan saling asuh (5) Anggota-anggota kelompok berlatih untuk mengevalusi pendapat teman, melalui adu argumentasi, belajar menerima hasil evaluasi dari teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa toleransi pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Dari ke 5 unsur tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lewat perkuliahan kooperatif, di samping diperoleh pencapaian aspek akademik yang tinggi di kalangan mahasiswa, juga bermakna dalam membantu dosen dalam mencapai tujuan perkuliahan yang berdimensi sosial dalam hubungannya dengan sesama.
Tahun Kedua: Model Peningkatan Kualitas Berdasar Masalah (Improvement Model of Quality of Based on Problem)
Model peningkatan kualitas dosen ini bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa lewat latihan penyelesaian masalah, oleh sebab itu mahasiswa dilibatkan dalam proses maupun perolehan produk penyelesaiannya. Dengan demikian model ini juga akan mengembangkan mahasiswa keterampilan berpikir lewat fakta empiris maupun kemampuan berpikir rasional, sehingga latihan yang berulang-ulang ini dapat membina mahasiswa keterampilan intelektual dan sekaligus dapat mendewasakan mahasiswa. Mahasiswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat perkuliahan model ini mahasiswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi sehingga dapat bertindak sebagai seorang ilmuwan atau orang dewasa.
Model ini tentu tidak dirancang agar dosen memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa, tetapi dosen perlu berperan sebagai fasilitator perkuliahan dengan upaya memberikan dorongan agar mahasiswa bersedia melakukan sesuatu dan mengungkapkannya secara verbal.
Tahun Ketiga: Model Peningkatan Kualitas Langsung (Improvement Model of Quality of Direct)
Perkuliahan seringkali dianggap lebih sesuai dengan sifat ilmu yang dipelajari, seperti halnya kelompok mata pelajaran Basic Science. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan ilmiah tersusun secara terstruktur yang memuat materi prasyarat dalam setiap langkah penyajiannya. Perkuliahan langsung pada umumnya dirancang secara khusus untuk mengembangkan aktivitas belajar di pihak mahasiswa berkaitan dengan aspek pengetahuan prosedural serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik yang dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Fokus utama dari perkuliahan ini adalah adanya pelatihan-pelatihan yang dapat diterapkan dari keadaan nyata yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
J. Pelaporan dan Seminar Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini sebelum dijilid (dilaporkan) akan diseminarkan terlebih dahulu, hal ini penting untuk menambah keabsahan hasil penelitian.
Daftar Pustaka
Bambang Subali dkk. 2006. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi Program Lesson Study, Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Berger, P. and T. Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. London. Allen Lane.
---------------. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta. LP3ES.
DGSE. 2002. Report on Validation and Socialization of the Guideline of Syllabi and Evaluation System of Competent-Based Curriculum for Mathematics in Manado. North Sulawesi. Jakarta: Depdiknas.
Denzin K. N. Lincoln S. Y. 1994. Hand Book of Qualitative Research. London- New Delhi: Sage Publications.
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana 1996. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi.
Fernandez, C and Yoshida M. 2004. Lesson Study : A Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Publishers.
Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum. (Online): diambil tanggal 19-6-2006 dari: www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publication/-11/Garfield.doc.
Harta, I dan Djumadi, 2009, Pendalaman Materi Metode Pembelajaran, Modul PLPG, Departeman Pendidikan Nasional, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 41, Surakarta.
Lewis, Catherine C. 2002. Lesson study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.
Lincoln, Y. S., Guba, E.G., 1984, Naturalistic Inquiry, California: Sage Publication.
Marsidi, A., dkk (2006), Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan (Laporan Penelitian tidak Terbit)
Miles, B. M., Michael, H., 1984, Qualitative Data Analisys, dalam H.B. Sutopo, Taman Budaya Surakarta dan Aktivitas Seni di Surakarta, Laporan Penelitian, FISIPOL UNS.
Morgan, S. 2001. Teaching Math the Japanese Way (Online). Diambil tanggal 16 Mei 2005 dari: http://www.as1.org/alted/lessonstudy.htm,.
Mulyasa, 2004, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Nung M. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, (edisi III), Yogyakarta: Penerbit Rakesarasin.
Paidi. 2005. Implementasi Lesson Study Untuk Peningkatan Kompetensi Guru dan Kualitas Pembelajaran yang Diampunya. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Guru-guru MAN 1 Yogyakarta tanggal 10 Desember 2005.
Robinson N. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle school teachers. (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/ Robinson proposal.doc
Roger A. Stewart, Jonathan L. Brenderfur, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.681, 7 pgs.
Richardson J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional Staff Development Council. (Online): www.nsdc.org. 03/05/06.
Sagor, R. (1992), How to Conduct Collaborative Action Research, Association for
Supervision and Curriculum Development, Alexandria.
Saito. E. Imansyah. H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP. Jurnal Pendidikan “Mimbar Pendidikan. No.3. Th. XXIV: 24-32.
Saito. E. 2006. Development of school based in-service teacher training under the Indonesian Mathematics and Science Teacher Education Project. Improving Schools. Vol.9 (1): 47-59
Sa’dun dkk, 2006, Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD. (Laporan Penelitian tidak Terbit)
Sonal Chokshi, Clear Fermandez, 2004, Phi Delta Kappan, Bloomington: Mar 2004. Vol. 85. Iss. 7, pg.520, 6 pgs.
________________, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.674, 7 pgs.
Stephen L. Thompson, 2007, Science Activities, Washington: Winter 2007. Vol. 43. Iss. 4, pg.27, 7 pgs.
Subadi T, (2009), Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta, (Laporan Penelitian, DP3M Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.
Sukirman. 2006. Peningkatan Profesional Guru Melalui Lesson Study.Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Suparwoto dkk 2006. Inovasi Pembelajaran MIPA di Sekolah dan Alternatif Implementasinya. Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Tim Piloting. 2002. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
___________. 2003. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
___________. 2004. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
Tim Pengembang Sertifikasi Kependidikan. 2003. Pedoman Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kependidikan (draft). Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Ditjen Dikti Depdiknas.
MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM DENGAN MODEL LESSON STUDY
PADA PROGRAM STUDI PGSD FKIP-UMS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di Perguruan Tinggi khususnya Mata Kuliah Psikologi Umum banyak faktor yang harus diperhatikan, misalnya; dosen, mahasiswa, sarana dan prasarana, laboratorium dan kelengkapannya, lingkungan dan manajemennya, serta model pembelajarannya. Peningkatan kualitas pembelajaran dosen dengan model pembelajaran inovatif (inovative teaching modelling) pada program studi PGSD-FKIP-UMS akan berpengaruh pada prestasi akademik mahasiswa (calon guru) dan selanjutnya akan berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sekarang ini kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara lain.
Balitbang (2003) mencatat bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Khusus kualitas guru (2002-2003) data guru yang layak mengajar, untuk SD hanya 21,07 % (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 % (negeri) dan 60,09 % (swasta), untu SMA 65,29 % (negeri) dan 64,73 % (swasta), serta untuk SMK 55,49% (negeri) dan 58,26 % (swasta). Sedangkan data siswa menurut Trends in Mathematic and Science Study 2003/2004 mencatat bahwa siswa Indonesia (SD) hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking 37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam skala Internasional menurut Bank Dunia, Study IFA di Asia Timur menunjukkan ketrampilan membaca siswa kelas IV SD Indonesia berada pada tingkat rendah apabila dibandingkan dengan Negara lain yaitu Hongkong 75,5%, Singapura 74 %, Thailand 65,1 %, sedangkan Indonesia berada pada posisi 51,7 %. (dalam Laporan Penelitian Tjipto Subadi, 2009: 50-51)
Data-data tersebut di atas maknanya terdapat masalah-masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pertama; masalah mendasar yakni kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua; masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatan dan metode pembelajaran. Ketiga; masalah lain yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis penyelenggaraan pendidikan misalnya; biaya pendidikan, sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru dan rendahnya prestasi siswa, dan sebagainya.
Upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2005 pemerintah dan DPR RI telah mensyahkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru/dosen agar guru/dosen menjadi profesional. Di satu pihak, pekerjaan sebagai guru/dosen akan memperoleh penghargaan yang lebih tinggi, tetapi di pihak lain pengakuan tersebut mengharuskan guru/dosen memenuhi sejumlah persyaratan agar mencapai standar minimal seorang profesional. Pengakuan terhadap guru/dosen sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru/dosen telah memiliki antara lain kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang dipersyaratkan (Pasal 8). Kualifikasi akademik tersebut harus “diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat” (Pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikuti pendidikan profesi (Pasal 10 ayat (1)). Adapun jenis-jenis kompetensi yang dimaksud pada Undang-undang tersebut meliputi, Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Profesi (Pasal 10 ayat (1)).
Lesson study yang dimaksud dalam kajian ini merupakan proses pelatihan dosen yang bersiklus, diawali dengan seorang dosen:
1. Merencanakan perkuliahan melalui eksplorasi akademik terhadap materi ajar dan alat-alat pelajaran;
2. Melakukan perkuliahan berdasarkan rencana dan alat-alat pelajaran yang dibuat, mengundang sejawat untuk mengobservasi;
3. Melakukan refleksi terhadap perkuliahan tadi melalui tukar pandangan, ulasan, dan diskusi dengan para observer.
4. Oleh karena itu, implementasi program lesson study perlu dimonitor dan dievaluasi sehingga akan diketahui bagaimana keefektifan, keefisienan dan perolehan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Rood map penelitian dengan menggunakan lesson study sebagai model pembelajaran terdapat berbagai variasi pelaksanaan lesson study. Lewis (2002) menyarankan ada enam tahapan dalam awal mengimplementasikan lesson study di sekolah, yakni (1) membentuk kelompok lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) menyusun rencana pembelajaran (4) melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengamatinya (observasi) (5) refleksi dan menganalisis pembelajaran yang telah dilaksanakan (6) merencanakan pembelajaran tahap selanjutnya. Sementara itu, Richardson (2006) menyarankan 7 tahap lesson study untuk meningkatkan kualitas guru (yang masih mirip dengan Lewis) yakni (1) membentuk tim lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) merencanakan pembelajaran (4) persiapan untuk observasi (5) melaksanakan pembelajaran dan observasinya (6) melaksanakan diskusi pembelajaran yang telah dilaksanakan (refleksi) (7) merencanakan pembelajaran untuk tahap selanjutnya. (Sukirman: 2006: 7)
Penelitian Sagor (1992) dalam Bambang Subali (2006: 29-30) menghasilkan temuan bahwa lesson study sebagai suatu riset meliputi tiga tahapan utama yakni tahap perencanaan (planning), tahap implementasi (implementing/do), tahap refleksi (reflecting/see). Dari tahapan tersebut, jika mengacu pada PTK menurut Sagor, maka pelaku lesson study bekerja pada tiga tahapan tindakan, yakni: (1) memprakarsai tindakan (initiating action), misalnya ingin mengadopsi suatu gagasan atau ingin menerapkan suatu strategi baru (2) monitoring dan membenahi tindakan (monitoring and adjusting action) dan (3) mengevaluasi tindakan (evaluation action) untuk menyiapkan laporan final dari program secara lengkap.
Sagor menyarankan, dari sudut inquiry maka kegiatan untuk memprakarsai tindakan biasanya berupa kegiatan mencari informasi yang akan membantu dalam memahami dan memecahkan masalah sehingga merupakan research for action. Selama pelaksanaan dilakukan monitoring dan pembenahan tindakan yang lebih berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan sehingga merupakan research in action. Pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi akhir untuk mengevaluasi tindakan yang lebih berfokus untuk mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan sehingga merupakan research of action.
Penelitian Sa’dun dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD” berkesimpulan bahwa Model-model pembelajaran tematis untuk kelas 1 dan 2 SD yang berhasil disusun secara kolaboratif adalah model-model dan modul (worksheet) untuk tema-tema: Diri Sendiri, Keluarga, Lingkungan, Pengalaman, Kegemaran, dan Kesehatan-kebersihan dan keamanan. Dari sejumlah model dan modul (worksheet) yang telah disusun tersebut kualitasnya masih bervariasi, dan masih dalam bentuk matrik, yang selanjutnya perlu dinarasikan secara mengalir, disederhanakan, difinishing, sehingga lebih mudah dipahami dan dapat diterapkan. Penelitian lain yang dilakukan Agus Marsidi dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan” berkesimpulan antara lain “pada waktu mengajar mata pelajaran IPA, Matematika, IPS, dan Bahasa, Guru menekankan pada berbagai aspek seperti pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pemecahan masalah, pengetahuan prosedural, dan proses berpikir logis.” Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi persoalan kelangkaan model-model peningkatan kualitas guru yang berbasis riset. (dalam Tjipto Subadi, 2009:5).
Penelitian dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Umum dengan Model Lesson Study Pada Program Studi PGSD FKIP-UMS” dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah produk yang berupa model-model perkuliahan di PGSD-FKIP-UMS yang bisa meningkatkan kualitas dosen melalui pelatihan lesson study. Dengan demikian diharapkan dapat membantu mengatasi sebagian masalah pendidikan sebagaimana diuraikan di atas.
B. Permasalahan Penelitian.
Permasalahan penalitian ini adalah (1) bagaimana permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (2) bagaimana langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (3) bagaimana model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS?
C. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini menghasilkan produk berupa (1) identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
D. Manfaat Penelitian.
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial tentang; (1) permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi guru/dosen, LPTK dan birokrasi pendidikan (pemerintah) dalam menyusun strategi kebijakan peningkatan kualitas pembelajaran bagi guru/dosen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kompetensi Guru
Menurut Charles (1994 dalam Mulyasa, 2007: 25) kompetensi adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sarimaya (2008: 17) memaknai kompetensi guru sebagai kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sedangkan menurut Broke and Stone dalam Mulyasa (2007: 25) kompetensi guru sebagai; descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful (kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti).
Dari pendapat tersebut di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu. Sehingga kompetensi guru dapat dianggap kompeten jika memiliki kemampuan, pengetahuan dan sikap yang mampu mendatangkan apresiasi bagi guru.
Menurut Undang Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjelaskan bahwa standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu: 1) Kompetensi Pedagogik. 2) Kompetensi Kepribadian. 3) Kompetensi Sosial. 4) Kompetensi Profesional.
1) Kompetensi Pedagogik. Yang termasuk kompetensi pedagogik antara lain (1) memahami peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3) melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran dan (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2) Kompetensi Kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil, bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik.
3) Kompetensi Profesional. Kompetensi profesional adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam hal menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi antara lain; (1) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan, (2) memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4) Kompetensi Sosial. Kompetensi ini antara lain; (1) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; (2) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (3) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Sebagai perbandingan, di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski (2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3) kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keanekaragaman, (6) etika, (7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi. (http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).
B. Model Pembelajaran Inovatif
Guru adalah jabatan dan pekerja profesioal, indikator untuk mengukur keprofesionalan adalah jika kelas yang diasuh menjadi “surganya siswa untuk belajar”, atau “kehadiran seorang sebagai guru di kelas selalu dinantikan siswa”. (Sugiyanto, 2008: 5). Sudahkah pembelajaran kita mencapai kondisi yang demikian? Selain tugas profesional tersebut guru juga harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator. Jika peran ini dijalankan dengan baik dan benar maka usaha memberikan pelayanan pembelajaran yang optimal kearah pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) Insya Allah dapat dicapai. Perlu diingat bahwa kemampuan menerapkan pendekatan PAIKEM tersebut diperlukan model pembelajaran yang inovatif. Joyce dan Weil (1986) menjelaskan bahwa hakikat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar.
Banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha meningkatkan kualitas guru, antara lain; Model Pembelajaran Konstektual, Model Pembelajaran Quantum, Model Pembelajaran Terpadu, Model Pembelajaran Kooperatif, dan Model Pembelajaran Berbasis Masalah.
1. Model Pembelajaran Kontektual.
Model Pembelajaran Konstektual (Constextual Teaching and Learning) adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, model ini juga mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar. Menurut Nurhadi (2002) pendekatan pembelajaran kontektual memiliki tujuh komponen, yaitu: (1) Constructivism (Konstruktivisme), (2) Inquiry (Menemukan), (3) Questioning (Bertanya), (4) Learning Community (Masyarakat Belajar), (5) Modelling (Pemodelan) (6) Reflection (Refleksi), (7) Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya).
Penjelasan dari ketujuh komponen ini menurut Harta (2009: 41) adalah sebagai berikut; konsrtuktivisme adalah suatu pembelajaran yang menekankan terbentuknya pemahaman siswa secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Sedangkan inquiry (menemukan) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontektual yang diawali dengan pengamatan terhadap fenomena, yang dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Langkah-langkah inkuiri dimulai dari observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpanan.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari questioning (bertanya). Bertanya merupakan strategi pokok dalam pembelajaran yang berbasis kontektual. Strategi ini dipandang sebagai upaya guru yang dapat membantu siswa untuk mengetahui sesuatu, memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Sehingga penggalian informasi menjadi lebih efektif, terjadinya pemantapan pemahaman lewat diskusi., bagi guru bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Learning Community (Masyarakat belajar) yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Maksud dari Modelling (pemodelan) dalam pembelajaran kontektual bahwa pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya cara menggunakan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan, Cara semacam ini akan lebih cepat dipahami oleh siswa. Adapun prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru, contoh yang dapat diperoleh langsung dari ahli yang berkompeten.
Reflection (Refleksi) juga bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan kontektual. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa-apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya adalah pengayaan dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun prinsip dalam penerapannya adalah perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh respon atas kejadian atau penyampaian penilaian atas pengetahuan yang baru diterima.
Sedangkan yang dimaksud Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Sehingga penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran berlangsung. Adapun penerapannya adalah untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, penilaian dilakukan secara komprehensif antara penilaian proses dan hasil, guru menjadi penilai yang konstruktif, memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan penilaian diri.
2. Model Pembelajaran Kuantum
Model ini disajikan sebagai salah satu strategi yang dapat dipilih guru agar pembelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (enjoyful learning). Model ini merupakan ramuan dari berbagai teori psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Penggagas model ini De Porter dalam Quantum Learning (1999: 16) ia menjelaskan bahwa Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori, seperti; Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik, Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Belajar dengan simulsi/permainan.
Ada beberapa karakteristik umum, menurut De Porter dalam Sugiyanto (2008: 11) yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum; 1) Berpangkal pada psikologi kognitif. 2) Lebih bersifat humanistis, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. (3) Lebih bersifat kontruktivistis, bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau naturasionistis. 4) Memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. 5) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna. 6) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. 7) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifialan atau keadaan yang dibuat-buat. 8) Menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. 9) Memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10) Memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal atau material. 11) Menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. 12) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. 13) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Sebagai kerangka operasional pembelajarannya, model kuantum memperkenalkan konsep TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Ulangi, dan Rayakan).
3. Model Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu penting disajikan, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Strandar Isi, IPS dan IPA merupakan mata pelajaran di SMP yang harus disajikan secara terpadu, namun penerapan model pembalajaran terpadu tersebut menemui banyak hambatan di lapangan karena memberikan beban berat bagi guru IPS dan IPA. Hal ini disebabkan: (1) Semua guru IPS dan IPA di SMP tidak ada yang berlatar belakang Pendidikan IPS/IPA tetapi hanya berlatar belakang salah satu pendidikan IPS/IPA yaitu; (sarjana pendidikan sejarah, sarjana pendidikan ekonomi, dan sarjana pendidikan geografi, sarjana pendidikan fisika, sarjana pendidikan biologi, sarjana pendidikan kimia), sehingga materi ajar yang dikuasai guru hanyalah materi salah satu dari rumpun IPS/IPA tersebut. (2) Selama kuliah para guru belum diajarkan mengemas bahan ajar dengan model terpadu.
Model pembelajaran terpadu menurut Ujang Sukamdi dkk (2001: 3) pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Menurut Anitah (2003: 16-17) pembelajaran terpadu mempunyai banyak keuntungan dan kelebihan: (1) Dapat meningkatkan kedalaman dan keluasan dalam belajar. (2) Memberikan kesadaran metakognitif kepada pebelajar. (3) Memudahkan pembelajar untuk memahami alasan mengerjakan sesuatu yang dikerjakan. (4) Hubungan antara isi dan proses pembelajaran menjadi lebih jelas. (5) Transfer konsep antar isi bidang studi lebih baik.
Menurut Forgaty (1991: 5) membagi 10 model yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran terpadu, yaitu ; (1) Fragmented model, (2) Connected model, (3) Nested model, (4) Sequencedmodel, (5) Share model (6) Webbed model, (7) Threathed model, (8) Networked model , (9) Immersed model, (10) Integrated model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut merupakan suatu kontinum dari model yang terpisah sampai model dengan keterpaduan yang komplek. Dari sepuluh model tersebut menurut Hamid (1997: 112) dapat direduksi menjadi lima langkah untuk perencanaan pembelajaran terpadu, yaitu; (a) pemetaan kompetensi dasar, (b) penentuan tema, (c) penjabaran KD ke dalam indikator, (d) pengembangan silabi, (e) penyusunan skenario pembelajaran.
4. Model PBL (Problem Based Learning)
Model PBL mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Menurut Sugiyanto (2008: 14-15) PBL fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan, mempresentasikan, dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi guru lebih harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Membuat siswa berpikir, menyelesaikan masalah, dan menjadi pelajar yang otonom bukan tujuan baru bagi pendidik. Berbagai strategi mengajar, seperti discovery learning, inquiry learning, dan inductive teaching memiliki sejarah panjang.
John Dewey (1993) mendiskripsikan secara cukup terperinci tentang nilai penting dari reflectivethinking (berpikir reflektif) dan proses-proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa memperoleh ketrampilan dan proses berpikir produktif. Jerome Bruner (1962) menekankan nilai penting dari discovery learning dan bagaimana guru mestinya membantu pelajar untuk menjadi “konstruksionos” terhadap pengetahuannya sendiri. Richard Suchman mengembangkan pendekatan yang disebut inquiry training yang gurunya menyodorkan berbagai situasi yang membingungkan kepada siswa dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.
Ada lima tahapan dalam pembelajaran model PBL yang utama, yaitu: 1) Orientasi tentang permasalahan. 2) Mengorganisasikan diri untuk meneliti. 3) Investigasi mandiri dan kelompok 4) Pengembangan ide dan mempresentasikan laporan hasil penyelidikan. 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Banyaknya model pembelajaran tersebut tidaklah berarti semau guru menerapkan semua model untuk setiap bidang studi, karena tidak semua model pembelajaran itu cocok untuk setiap pokok bahasan dalam setiap bidang studi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (1) Tujuan yang akan dicapai. (2) Sifat bahan/materi ajar. (3) Kondisi siswa. (4) Ketersediaan sarana prasarana belajar. Depdiknas (2005) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (a) Berorientasi pada tujuan. (b) Mendorong aktivitas siswa. (c) Memperhatikan aspek individu siswa. (d) Mendorong proses interaksi. (e) Menantang siswa untuk berpikir. (f) Menimbulkan inspirasi siswa untuk berbuat dan menguji. (g) Menimbulkan proses belajar yang menyenangkan. (h) Mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Harta (2009: 45) prinsip dasar pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif, hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu teknik yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Lie (2004: 27) dalam Sugiyanto (2008: 10) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu, adalah: (1) Saling ketergantungan positif. (2) Interaksi tatap muka. (3) Akuntabilitas individu. (4) Keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Ada lima tahapan dalam Model Pembelajaran Kooperatif, yaitu; (1) Mengklarifikasi tujuan dan estlablishing set. (2) Mempresentasikan informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. (3) Membentuk kerja kelompok belajar. (4) Mengujikan berbagai materi. (5) Memberikan pengakuan.
Model Pembelajaran Kooperatif ini dikembangkan menjadi enam model, yaitu: (a) Student Teams Achievement Division (STAD) (b) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (c) Jigsaw (d) Learning Together (e) Group Investigation, dan (f) Cooperative Scripting.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
Suatu model kooperatif yang mengelompokkan berbagai tingkat kemampuan yang melibatkan pengakuan tim dan tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran individual. Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin (1994) metode ini dilaksanakan dengan mengelompokkan siswa yang beranggotakan 4 siswa perkelompok yang berbeda dalam tingkat kemampuannya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) Guru membagi kelas (siswa) menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang heterogen kemampuannya. (2) Guru membagikan topik/bahasan/lembar kerja akademik kepada tiap-tiap kelompok (3) Kerja kelompok untuk membahas topik tersebut, anggota kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok. (4) Guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah mereka pelajari. (5) Guru memberi skor atas pekerjaan dari siswa. (6) Dan kemudian guru memberi hadiah kepada setiap siswa yang berhasil, sebaliknya guru memberi hukuman yang mendidik kepada yang kurang berhasil, misalnya menyanyi, menghafal surat-surat Al Quran yang pendek.
b. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Suatu model pembelajaran yang komprehenship untuk mengajarkan membaca dan menulis di kelas-kelas atas, para siswa bekerja dalam bebarapa tim yang beranggotakan empat siswa. Stevens & Slavin (1995) dalam Harta (2009: 54) menjelaskan bahwa CIRC adalah suatu program konprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar, terutama untuk kelas 4, 5 dan 6. Adapun gambaran pelaksanaan pembelajaran CIRC antara laian; Para siswa bekerja dalam beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan empat orang. Mereka melakukan serangkaian kegiatan satu sama lainnya, termasuk membacakan, memperkirakan kelanjutan cerita naratif, menyimpulkan cerita yang dibaca siswa lain, merespos suatu cerita, berlatih mengeja, menafsirkan, dan kosa kata.
c. Jigsaw
Jigsaw adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap timnya beranggotakan 4-6 siswa yang akan mempelajari bahan pembelajaran yang telah dibagi atas enam bagian, satu bagian untuk satu anggota. Dalam Jigsaw setiap kelompok akan mempelajari materi yang telah dibagi atas enam bagian. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok (beberapa tim), tiap kelompok/tim anggotanya terdiri dari 4 -6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. (2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut. (3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam ini disebut “kelompok pakar”. (expert group) (4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar. (5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “home teams”, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw versi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Individu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru.
d. Learning Together
Learning Together adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap kelompok heterogen beranggotakan empat-lima siswa untuk membahas materi secara bersama-sama. Pendekatan kooperatif heterogen yang dikembangkan oleh David Johnson and Roger Johnson (1999) ini menugaskan setiap kelompok bekerja sama untuk membahas suatu materi. Setiap kelompok mengumpulkan hasil pembahasan dan menerima penghargaan berdasarkan apa yang dihasilkan oleh kelompok tersebut. Model ini menekankan pada kegiatan-kegiatan untuk pembentukan kebersamaan kelompok sebelum bekerja dan diskusi dalam kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama.
e. Group Investigation
Menurut Harta (2009: 54) Group Investigation adalah suatu pendekatan kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan teknik inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Hasil penyelidikan kemudian disajikan kepada seluruh kelas.
Menurut pendapat (Sharan & Sharan, 1992) Group Investigation merupakan rencana organisasi kelas biasa di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan model inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Dalam model ini, para siswa membentuk sendiri kelompoknya (2 – 6 orang peserta didik). Setelah memilih subtopik dari topik yang sedang dipelajari oleh seluruh kelas, setiap kelompok memecah subtopik tersebut menjadi tugas-tugas individu untuk dilaksanakan dan dilaporkan sebagai bagian dari tugas kelompok. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan temuannya kepada seluruh kelas. Adapun langkah-langkah pembelajarannya Group Investigation menurut Sugiyanto (2008: 45-46) adalah : (1) Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik. (2) Merencanakan kerja sama. Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (3) Implementasi. Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (4) Analisis dan sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. (5) Penyajian hasil akhir. Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (6) Evaluasi selanjutnya. Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya.
f. Cooperative Scripting
Suatu pengkajian yang menuntut siswa bekerja berpasangan dan secara bergiliran secara lisan menyimpulkan bagian-bagian yang akan dipelajari. Banyak siswa yang menyukai bersama dengan teman sekelas mendiskusikan materi yang mereka dengar atau pelajari di kelas. Formalisasi latihan dengan teman sebaya ini telah diteliti oleh Dansereau (1985) dan rekan-rekannya. Dalam penelitian ini, para siswa belajar berpasangan dan secara bergilir membuat kesimpulan untuk materi yang dipelajarinya. Sementara seorang siswa menyimpulkan untuk rekannya, siswa lainnya mendengarkan dan mengkoreksi setiap kesalahan atau kekurangannya, jika ada. Kemudian kedua siswa bertukar peran, dengan kegiatan yang sama sehingga semua materi telah dipelajari. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan model ini secara konsisten menemukan bahwa para siswa yang mengikuti model ini jauh melebihi siswa yang menyimpulkan atau membaca sendiri (Newbern, Dansereau, Patterson & Wallace, 1994). Penelitian lain menemukan bahwa siswa yang mengajar lebih tinggi dibandingkan dengan rekannya yang berperan sebagai pendengar (Spurlin, Dansereau, Larson & Brooks, 1984; Fuchs & Fuchs, 1997; King, 1997, 1998).
C. Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Peningkatan kualitas pembelajaran adalah usaha untuk menjadikan pembelajaran lebih baik sesuai dengan kondisi-kondisi yang dapat diciptakan atau diusahakan. Kriterianya bersifat normatif yaitu hasil tindakan dianalisis dengan metode alur kemudian dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan kualitas pembelajaran/perkuliahan mata kuliah psikiologi umum, di mana peningkatan pembelajaran ini diharapkan berpengaruh kepada prestasi mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum tersebut lebih baik.
Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi merupakan bagian dari kegiatan pendidikan pada umumnya, yang secara otomatis meningkatkan kualitas mahasiswa ke arah yang lebih baik. Bila diamati keberhasilan dalam pendidikan tidaklah lepas dari kegiatan pembelajaran. Keberhasilan dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi biasanya diukur dengan keberhasilan mahasiswanya dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan. Semakin banyak mahasiswa yang dapat mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi, maka semakin tinggi keberhasilan dari pembelajaran tersebut.
Pembelajaran sebagai pembinaan ke arah perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup harus direncanakan dan dilaksanakan secara kondusif dan menyenangkan, sehingga mahasiswa memiliki motivasi dan perhatian untuk belajar lebih jauh. Karena itu maka pembelajaran yang efektif seyogyanya menggunakan berbagai macam pendekatan, metode dan media pembelajaran (pendidikan) yang dapat menyenangkan dan menarik perhatian.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa / mahasiswa yang harus memainkan peranan, serta ada hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia (Hasibuan, 2006: 3). “Pembelajaran merupakan kegiatan mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melalukan kegiatan belajar”. (Sudjana, 2005: 7).
Dari uraian pembelajaran tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari pengajar/guru/dosen untuk membuat proses belajar-mengajar terjadinya perubahan tingkah laku pada diri pelajar/siswa/mahasiswa yang berlaku dalam waktu relatif lama. Karena itu dalam guru mengajar/dosen memberi kuliah, bagaimana siswa/mahasiswa dapat mempelajari bahan sesuai tujuan. Usaha yang dilakukan guru/dosen merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa/mahasiswa. Peran guru/dosen bukan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai motivator, organisator, fasilitator, dalam pembelajaran.
D. Lesson Study
1. Tinjauan Sejarah
Lesson Study di Jepang. Lesson Study dikembangkan di Jepang sejak tahun 1900-an. Guru-guru di Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi siswa-siswanya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyokenkyu, yang berasal dari dua kata yogyo yang berati lesson atau pembelajaran, dan kentyu yang berarti study atau research atau pengkajian. Dengan demikian lesson study merupakan study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. (Tim UPI, 2007: 20).
Lesson Study bisa dilaksanakan oleh kelompk guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok guru sebidang, semacam MGMP di Indonesia. Kelompok guru dari beberapa sekolah berkumul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di Jepang adalah yang diselenggarakan oleh suatu sekolah dan dikenal sebagai konaikenshu yang berkembang sejak tahun 1960-an. Konaikenshu juga dibentuk oleh dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah dan kata kenshu yang berarti tanning. Jadi istilah konaikenshu berarti school-based in-service training atau in service education within the school atau in house workshop. Pada tahun 1970-an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari konaikenshu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu dengan menyediakan dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan konaikenshu. Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang melaksanakan konaikenshu. Walaupun pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan biaya bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu tetapi kebanyakan sekolah melaksanakan secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya (Tim Lesson Study UPI, 2007: 20-21)
Lesson Study Telah Menjadi Milik Dunia. The Third Intenational Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi untuk membandingkan pencapaian hasil belajar matematika dan IPA kelas 8 (kelas 2 SMP). Penyebaran lesson study di dunia pada tahun 1995 di latar belakangi oleh TIMSS. Empat puluh satu negara terlibat dalam TIMSS, dua puluh dari empat puluh satu Negara memperoleh skor rata-rata matematika yang signifikan lebih tinggi dari Amerika Serikat. Negara-Negara yang memperoleh skor matematika yang lebih tinggi dari Amerika Serikat antara lain Singapura, Korea, Jepang, Kanada, Prancis, Australia, Ireland. Sementara hanya 7 negara yang memperoleh skor matematika secara signifikan lebih rendah dari Amerika Serikat, yaitu Lithuania, Cyprus, Portugal, Iran, Kuwait, Colombia, dan Afrika Selatan.
Posisi pencapaian belajar matematika siswa-siswa SMP Kelas 2 (dua) di Amerika Serikat membuat negara itu melakukan studi banding pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman. Tim Amerika Serikat melakukan perekaman video pembelajaran matematika di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat untuk dilakukan analisis terhadap pembelajaran tersebut. Pada waktu itu, Tim Amerika Serikat menyadari bahwa Amerika Serikat tidak memiliki sistem untuk melakukan peningkatan mutu pembelajaran, sementara Jepang dan Jerman melakukan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Amerika Serikat selalu melakukan reformasi tapi tidak selalu melakukan peningkatan mutu. Selanjutnya ahli-ahli pendidikan Amerika Serikat belajar dari Jepang tentang lesson study. Sekarang lesson study telah berkembang di sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan diyakini lesson study sangat potensial untuk pengembangan keprofesionalan pendidik yang akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Selain itu lesson study juga telah berkembang di Australia.
Lesson Study di Indonesia. Lesson Study berkembang di Indonesia melalui IMSTEP (Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project) yang diimplemantasikan sejak Oktober tahun 1998 di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP Yogjakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta/UNY) dan IKIP Malang (sekarang bernama Universitas Negeri Malang /UNM) bekerja-sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuan Umum dari IMSTEP adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di Indonesia, sementara tujuan khususnya dalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang. Pada permulaan implementasi IMSTEP, UPI, UNY, dan UM berturut-turut bernama IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang.
2. Konsep Dasar Lesson Study
Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan lesson study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi pendidik.
Lesson study dapat merupakan suatu kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru/dosen dan pakar pembelajaran yang mencakup; (1) tahap perencanaan (planning), (2) tahap implementasi (action) pembelajaran dan observasi, dan (3) tahap refleksi (reflection) terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
a. Tahap perencanaan
Pada tahap ini hal-hal yang akan dilakukan adalah: Pertama, Identifikasi masalah pembelajaran yang ada di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan lesson study, dan perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan (materi pelajaran) yang relevan, karakteristik mahasiswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media/ alat peraga, dan proses evaluasi dan hasil belajar yang akan dicapai.
Kedua, Dari hasil identifikasi tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang; (a) pemilihan materi pembelajaran, (b) pemilihan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa, serta (c) jenis evaluasi yang akan digunakan. Pada saat diskusi, akan muncul pendapat dan sumbang saran dari para mahasiswa, dosen dan pakar dalam kelompok tersebut untuk menetapkan pilihan yang akan diterapkan. Pada tahap ini, pakar dapat mengemukakan hal-hal penting/baru yang perlu diketahui dan diterapkan oleh dosen, seperti pendekatan pembelajaran konstruktif, pendekatan pembelajaran yang memandirikan belajar mahasiswa, pembelajaran kontekstual, pengembangan life skill, pemutakhiran materi ajar, atau lainnya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan tersebut.
Ketiga, Hal yang penting pula untuk didiskusikan adalah penyusunan lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan indikator-indikatornya, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikator itu disusun berdasarkan perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan untuk dimiliki mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran. (4) Dari hasil identifikasi masalah dan diskusi perencanaan pemecahannya, selanjutnya disusun dan dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri atas : (a) Rencana Pembelajaran (RP) (b) Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide) (c) Lembar Kerja mahasiswa (LKM) (d) Media atau alat peraga pembelajaran (e) Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran. (f) Lembar observasi pembelajaran.
b. Tahap Implementasi dan Observasi
Pada tahap ini seorang dosen, melakukan implementasi rencana pembelajaran (RP) yang telah disusun tersebut di kelas. Pakar dan dosen lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan. Para observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Selain itu (jika memungkinkan), dilakukan rekaman video (audio visual) yang meng close-up kejadian-kejadian khusus (pada dosen dan mahasiswa) selama pelaksanaan pembelajaran. Hasil rekaman ini berguna nantinya sebagai bukti autentik kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.
c. Tahap Refleksi
Selesai praktik pembelajaran, segera dilakukan refleksi. Pada tahap refleksi ini, dosen yang tampil dan para observer serta pakar mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang baru saja dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh pakar/dosen lain yang ditunjuk. Pertama, dosen yang melakukan implementasi rencana pembelajaran tersebut di atas diberi kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi. Kedua, observer (dosen lain/pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Ketiga, dosen yang melakukan implementasi tersebut akan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer.
3. Pengembangan Lesson Study
a. Pengembangan Lesson Study Sebagai PTK
Lesson Study sebagai penelitian tindakan kelas dapat dilaksanakan dalam beberapa macam. Mengacu pendapat Kemmis dan McTaggart (1997) ada tiga macam PTK, yakni PTK yang dilakukan secara individual, PTK yang dilakukan secara kolaboratif, dan PTK yang dilakukan secara kelembagaan.
1) Lesson Study dalam Bentuk PTK yang Dilakukan Secara Individual
Lesson study dalam PTK yang dilakukan secara individual, seorang guru/dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, guru/dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti guru/dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktek pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadopsi bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
2) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kolaboratif
PTK dalam bentuk kolaboratif/kelompok melibatkan sekelompok guru/dosen, sehingga ada guru/dosen sebagai peneliti dan guru/dosen sebagai praktisi. Dapat pula kolaborasi dilakukan antara guru dengan dosen. Dalam kolaborasi antara guru dan dosen, permasalahan digali bersama di lapangan, dan dosen dapat sebagai inisiator untuk menawarkan pemecahan atas dasar topik area yang dipilih. Dalam hal ini validitas penelitian lebih terjamin karena ada posisi sebagai peneliti dan posisi sebagai praktisi.
3) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kelembagaan
Lesson study yang dilakukan dalam bentuk PTK individual/perorangan ataupun dalam bentuk PTK yang dilakukan secara kolaboratif/kelompok memiliki skop terbatas atau berfokus pada topik area yag sempit. Misalnya, penelitian hanya berfokus pada hubungan antara proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai. PTK yang dilakukan secara kelembagaan memiliki skop penelitian yang lebih luas dan ditujukan untuk perbaikan lembaga. Dengan demikian, dalam satu penelitian dapat ditetapkan beberapa topik area. Dalam PTK yang dilakukan secara kelembagaanpun melibatkan kolaborasi dapat dibangun secara luas dengan melibatkan banyak pihak yang terkait. Untuk sekolah, dapat melibatkan siswa, guru, karyawan, orang tua, kepala sekolah, dinas, dan dosen perguruan tinggi. Untuk perguruan tinggi, dapat melibatkan mahasiswa, dosen, karyawan, pihak pengguna, dan stakeholder ataupun yang lainnya.
Tujuan utama PTK yang dilakukan secara kelembagaan adalah untuk memajukan lembaga. Oleh karena itu, dapat dibuat kelompok-kelompok peneliti menurut topik-topik area yang relevan dengan kelompok yang bersangkutan. Menurut Kemmis dan McTaggart (1997) dalam PTK bentuk ini kelompok-kelompok kecil yang ada di dalamnya dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk menguji beberapa inovasi untuk permasalahan yang ada.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan pengetahuan tentang; (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Jenis penelitiannya menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan secara individual, yakni seorang dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktik pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadop bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
B. Latar Penelitian, Informan Penelitian
Yang menjadi latar penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah psikologi umum dan mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum semester I PGSD-FKIP-UMS tahun ajaran 2009/2010, Informan penelitian ini adalah; Pimpinan Struktural, Dosen, Mahasiswa PGSD.
Melalui Pimpinan Strukturan, Dosen dan Mahasiswa PGSD akan diperoleh informasi/interpretasi tenang; Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
C. Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.
Data tentang Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam.
Observasi dilakukan untuk mengamati perkuliahan psikologi umum, sedangkan wawancara dilakukan baik kepada pimpinan, dosen dan mahasiswa, untuk memperoleh data tentang masalah-masalah perkuliahan. Untuk itu, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, dan angket-semi terbuka. Proses wawancara sampai memperoleh interpretasi dari informan, dan kemudian peneliti menginterpretasikan interpretasi informasi tersebut sampai memperoleh bahasa ilmiah yang tidak merubah makna dari interpretasi pertama. Dalam hal ini Berger (dalam Santoso, 2004) menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding. Sehubungan dengan hal tersebut di atas peneliti perlu mempersiapkan antara lain; (1) instrumen penelitian, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, angket semi terbuka, (2) model pembelajaran
D. Analisis Data.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data ini menggunakan pendekatan proses alur; data dianalisis sejak tindakan pembelajaran/ perkuliahan dilaksanakan, dikembangkan selama proses perkuliahan berlangsung sampai diperoleh perkuliahan yang berkualitas / profesional. Teknis analisis data tersebut di atas mengacu pendapat Miles (1992), Pertama, analisis data yang muncul berwujud kata-kata, data ini dikumpulkan dari survey/observasi, wawancara mendalam dan model perkuliahan. Kedua, analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, dalam hal ini peneliti mencatat hasil observasi dan wawancara dengan informan berkaitan dengan permasalahan penelitian yang telah di rumuskan pada bagian latar belakang tersebut di atas.
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Penyajian data di sini sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis (peneliti) mulai mencari makna peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. Dengan demikian, aktifitas analisis merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.
E. Keabsahan Data
Data merupakan fakta atau bahan-bahan keterangan yang penting dalam penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (aktivitas), dan selebihnya, seperti dokumen (yang merupakan data tambahan). Kesalahan data berarti dapat dipastikan menghasilkan kesalahan hasil penelitian. Karena begitu pentingnya data dalam penelitian kualitatif, maka keabsahan data dalam penelitian ini melalui teknik pemeriksaan keabsahan yang disarankan oleh Lincoln dan Guba, yang meliputi: kredibilitas (credibility), transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), konfirmabilitas (confirmability) (Lincoln, dan Guba, 1985: 298-331).
F. Indikator Kinerja
Indikator kinerja ini diarahkan pada pencapaian produk yakni (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Indikator peningkatan kualitas pembelajaran tersebut di atas tercapai apabila dosen sudah mampu mempraktekkan dengan benar 9 ketrampilan mengajar sebagai berikut: (1) Ketrampilan mengelola kelas (2) ketrampilan membuka pelajaran (3) ketrampilan bertanya (pre test, saat menerangkan, dan pos test) (4) ketrampilan menerangkan (5) ketrampilan menggunakan multi media (6) ketrampilan menggunakan multi metode (7) ketrampilan memberikan motivasi (8) ketrampilan memberikan ganjaran (9) ketrampilan menutup pelajaran
G. Perancangan Produk
Perancangan produk yang berupa model peningkatan kualitas dosen dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan dosen lain (dosen tim pengampu mata kuliah psikologi umum). Di samping itu dibantu oleh 3 orang berstatus sebagai anggota peneliti dari mahasiswa S1 yang dilibatkan dalam diskusi-diskusi dalam pengembangan instrument penelitian, pengumpulan data, pelatihan penyusunan model pembelajaran, lokakarya penyusunan model, dan penyuntingan.
Kegiatan kolaboratif ini dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan berupa; pengumpulan data tentang (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkan lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
H. Spesifikasi Produk.
Produk yang berupa identifikasi masalah-masalah pengembangan model peningkatan kualitas dosen yang dihasilkan dengan spesifikasi sbb:
Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kulian Psi. Umum
Masalah-Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kuliah Psikologi Umum
a. Kemampuan dosen dalam pengembangan kurikulum menjadi perkuliahan berkualitas.
b. Ketersediaan sumber belajar yang dimiliki dan pemanfaatannya.
c. Pola interaksi perkuliahan.
d. Pola pemanfaatan potensi alam dan manusia sekitar kampus dalam mendukung kegiatan perkuliahan.
e. Kesulitas mahasiswa dalam penguasaan kompetensi.
f. Kesulitas dosen dalam mengembangkan perkuliahan berkualitas.
g. Kemampuan dosen mengembangkan instrumen penilaian.
h. Peran pimpinan dalam pengembangan perkuliahan berkualitas.
i. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan.
j. Kreatifitas mahasiswa dalam perkuliahan.
k. Rasa senang mahasiswa dalam perkuliahan.
l. Faktor-faktor pendukung (potensial) untuk pengembangan perkuliahan berkualitas.
m. Faktor-faktor penghambat pengembangan perkuliahan berkualitas bagi dosesn PGSDS.
n. Lesson study baru dikembangkan di SD, SLP, SLA dan belum dikembangkan di Perguruan Tinggi.
Sedangkan spesifikasi produk yang berupa langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS berupa model perkuliahan yang berkaulitas dan seperangkat program semester perkuliahan, silabus, jaringan tema, dan (MRP) Model Rencana Perkuliahan.
I. Produk Yang Akan Dihasilkan
Produk yang akan dihasilkan dari penelitian ini, untuk tahun pertama; model peningkatan kualitas kooperatif (improvement model of quality of co-operative). Produk untuk tahun kedua; model peningkatan kualitas berdasar masalah (improvement model of quality of based on problem. Dan untuk tahun ketiga; model peningkatan kualitas langsung (improvement model of quality of direct)
Tahun Pertama: Model Peningkatan Kualitas Kooperatif (Improvement Model of Quality of Co-Operative)
Model kooperatif ini memiliki beberapa unsur yaitu; (1) Mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4 sampai 5 orang untuk efektifitas kelompok dalam belajar. (2) Setiap anggota kelompok memiliki rasa ketergantungan dalam kelompok, keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota dalam kelompok tersebut (3) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar sangat mendukung keberhasilan kelompok (4) Terdapat kegiatan komunikasi tatap muka baik antar anggota kelompok dalam kelompok maupun antar kelompok. Adanya komunikasi ini dapat mendorong terjadinya interaksi positif, sesama mahasiswa dapat lebih saling mengenal, masing-masing mahasiswa saling menghargai pendapat teman, menerima kelebihan dan kekurangan teman apa adanya, menghargai perbedaan pendapat yang selalu terjadi dalam kehidupan. Mahasiswa saling asah, saling asih dan saling asuh (5) Anggota-anggota kelompok berlatih untuk mengevalusi pendapat teman, melalui adu argumentasi, belajar menerima hasil evaluasi dari teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa toleransi pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Dari ke 5 unsur tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lewat perkuliahan kooperatif, di samping diperoleh pencapaian aspek akademik yang tinggi di kalangan mahasiswa, juga bermakna dalam membantu dosen dalam mencapai tujuan perkuliahan yang berdimensi sosial dalam hubungannya dengan sesama.
Tahun Kedua: Model Peningkatan Kualitas Berdasar Masalah (Improvement Model of Quality of Based on Problem)
Model peningkatan kualitas dosen ini bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa lewat latihan penyelesaian masalah, oleh sebab itu mahasiswa dilibatkan dalam proses maupun perolehan produk penyelesaiannya. Dengan demikian model ini juga akan mengembangkan mahasiswa keterampilan berpikir lewat fakta empiris maupun kemampuan berpikir rasional, sehingga latihan yang berulang-ulang ini dapat membina mahasiswa keterampilan intelektual dan sekaligus dapat mendewasakan mahasiswa. Mahasiswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat perkuliahan model ini mahasiswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi sehingga dapat bertindak sebagai seorang ilmuwan atau orang dewasa.
Model ini tentu tidak dirancang agar dosen memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa, tetapi dosen perlu berperan sebagai fasilitator perkuliahan dengan upaya memberikan dorongan agar mahasiswa bersedia melakukan sesuatu dan mengungkapkannya secara verbal.
Tahun Ketiga: Model Peningkatan Kualitas Langsung (Improvement Model of Quality of Direct)
Perkuliahan seringkali dianggap lebih sesuai dengan sifat ilmu yang dipelajari, seperti halnya kelompok mata pelajaran Basic Science. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan ilmiah tersusun secara terstruktur yang memuat materi prasyarat dalam setiap langkah penyajiannya. Perkuliahan langsung pada umumnya dirancang secara khusus untuk mengembangkan aktivitas belajar di pihak mahasiswa berkaitan dengan aspek pengetahuan prosedural serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik yang dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Fokus utama dari perkuliahan ini adalah adanya pelatihan-pelatihan yang dapat diterapkan dari keadaan nyata yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
J. Pelaporan dan Seminar Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini sebelum dijilid (dilaporkan) akan diseminarkan terlebih dahulu, hal ini penting untuk menambah keabsahan hasil penelitian.
Daftar Pustaka
Bambang Subali dkk. 2006. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi Program Lesson Study, Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Berger, P. and T. Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. London. Allen Lane.
---------------. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta. LP3ES.
DGSE. 2002. Report on Validation and Socialization of the Guideline of Syllabi and Evaluation System of Competent-Based Curriculum for Mathematics in Manado. North Sulawesi. Jakarta: Depdiknas.
Denzin K. N. Lincoln S. Y. 1994. Hand Book of Qualitative Research. London- New Delhi: Sage Publications.
Fandy Tjiptono & Anastasia Diana 1996. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi.
Fernandez, C and Yoshida M. 2004. Lesson Study : A Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Publishers.
Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum. (Online): diambil tanggal 19-6-2006 dari: www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publication/-11/Garfield.doc.
Harta, I dan Djumadi, 2009, Pendalaman Materi Metode Pembelajaran, Modul PLPG, Departeman Pendidikan Nasional, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 41, Surakarta.
Lewis, Catherine C. 2002. Lesson study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.
Lincoln, Y. S., Guba, E.G., 1984, Naturalistic Inquiry, California: Sage Publication.
Marsidi, A., dkk (2006), Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan (Laporan Penelitian tidak Terbit)
Miles, B. M., Michael, H., 1984, Qualitative Data Analisys, dalam H.B. Sutopo, Taman Budaya Surakarta dan Aktivitas Seni di Surakarta, Laporan Penelitian, FISIPOL UNS.
Morgan, S. 2001. Teaching Math the Japanese Way (Online). Diambil tanggal 16 Mei 2005 dari: http://www.as1.org/alted/lessonstudy.htm,.
Mulyasa, 2004, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Remaja Rosda Karya, Bandung.
Nung M. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, (edisi III), Yogyakarta: Penerbit Rakesarasin.
Paidi. 2005. Implementasi Lesson Study Untuk Peningkatan Kompetensi Guru dan Kualitas Pembelajaran yang Diampunya. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Guru-guru MAN 1 Yogyakarta tanggal 10 Desember 2005.
Robinson N. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle school teachers. (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/ Robinson proposal.doc
Roger A. Stewart, Jonathan L. Brenderfur, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.681, 7 pgs.
Richardson J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional Staff Development Council. (Online): www.nsdc.org. 03/05/06.
Sagor, R. (1992), How to Conduct Collaborative Action Research, Association for
Supervision and Curriculum Development, Alexandria.
Saito. E. Imansyah. H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP. Jurnal Pendidikan “Mimbar Pendidikan. No.3. Th. XXIV: 24-32.
Saito. E. 2006. Development of school based in-service teacher training under the Indonesian Mathematics and Science Teacher Education Project. Improving Schools. Vol.9 (1): 47-59
Sa’dun dkk, 2006, Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD. (Laporan Penelitian tidak Terbit)
Sonal Chokshi, Clear Fermandez, 2004, Phi Delta Kappan, Bloomington: Mar 2004. Vol. 85. Iss. 7, pg.520, 6 pgs.
________________, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.674, 7 pgs.
Stephen L. Thompson, 2007, Science Activities, Washington: Winter 2007. Vol. 43. Iss. 4, pg.27, 7 pgs.
Subadi T, (2009), Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta, (Laporan Penelitian, DP3M Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.
Sukirman. 2006. Peningkatan Profesional Guru Melalui Lesson Study.Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Suparwoto dkk 2006. Inovasi Pembelajaran MIPA di Sekolah dan Alternatif Implementasinya. Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
Tim Piloting. 2002. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
___________. 2003. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
___________. 2004. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.
Tim Pengembang Sertifikasi Kependidikan. 2003. Pedoman Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kependidikan (draft). Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Ditjen Dikti Depdiknas.
Langganan:
Postingan (Atom)