Selamat Datang di Blog saya

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Rabu, 26 Januari 2011

CONTOH BAB III METODE PENELITIAN

CONTOH BAB III METODE PENELITIAN dengan Judul Penelitian BORO DAN PROSESNYA (Suatu Kajian Sosial Mobilitas Penduduk dengan Menggunakan Teori Fenomenologi)

BAB III
METODE PENELITAN
Uraian metode ini penulis kemukakan secara teknis tentang cara-cara yang digunakan dalam penelitian, yang dimulai dari pendekatan penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian, alasan pendekatan itu digunakan, dan bagaimana pendekatan itu akan digunakan)? Selanjutnya juga akan dijelaskan tentang: pemilihan lokasi penelitian, strategi dan teknik penelitian, metode pengumpulan data, teknik analisis data, dan keabsahan data.

1 Pendekatan Studi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan pada bab pendahuluan, pendekatan yang digunakan adalah perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek kajian melakukan interpretasi, dan kemudian pengkaji melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan pengetahuan ilmiah tentang proses dan makna boro, dalam hal ini Berger menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding.
Kajian ini juga menggunakan metode kualitatif, dengan alasan karena kajian ini berfokus pada analisis pemahaman dan pemaknaan. Melalui metode kualitatif ini, realitas sosial yang hendak dikaji adalah realitas subjektif berupa pemahaman dan pemaknaan, melalui metode ini pengkaji meminta interpretasi subjek pengkajian, kemudian pengkaji melakukan interpretasi terhadap interpretasi subjek tersebut sampai mendapatkan makna. Metode kualitatif ini berupaya menelaah esensi, memberi makna pada suatu fenomena.
Alasan lain digunakan pendekatan (metode) kualitatif karena metode ini untuk memahami realitas sosial sebagai realitas subjektif, memberikan tekanan terbuka tentang kehidupan sosial. Di samping itu metode penelitian kualitatif ini digunakan karena dalam melihat fenomena sosial itu bermuara pada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang terpola berupa reasons dalam dunia makna para pelaku. Reasons menurut Ardhana, bahwa; dalam dunia makna para pelaku itu bisa berupa frame atau pola pikir tertentu, rasionalitas tertentu, atau etika tertentu, tema atau budaya tertentu. Itulah sasaran tembak yang diburu dalam tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas bisa disebut sebagai upaya understanding of understanding. Yang diburu adalah pemahaman terhadap suatu fenomena sosial (siapa melakukan apa)? berdasarkan apa yang terkonstruksi dalam dunia makna? atau pemahaman manusia pelakunya itu sendiri (Ardhana, 2001: 90-91).
Perspektif fenomenologi dan metode penelitian kualitatif ini digunakan untuk mengkaji; struktur masyarakat desa dan mengkaji beberapa permasalahan penelitian; (1) siapakah pelaku boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial di desa Tegalombo? mengapa mereka melakukan boro, faktor apa saja yang menjadi konteks konstruksi sosial para pelaku boro, apakah faktor ekonomi (materi) yang menjadi faktor utama mereka melakukan boro seperi dinyatakan Lee bahwa motif ekonomi merupakan dorongan utama orang bermigrasi, apakah ada faktor lain (non ekonomi/non materi) yang cukup penting berpangaruh terhadap tindakan mereka melakukan boro? bagaimana pelaku boro masyarakat desa Tegalombo mengkonstruksi alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro, atau bagaimana alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro? (2) bagaimana konstruksi sosial proses boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial, bagaimana keterkaitan antara proses boro itu dengan kesadaran jaringan sosial, dan bagaimana pula keterkaitan antara proses boro dengan jaminan sosial seperti jaminan keamanan, kesehatan terhadap keluarga (istri dan anak-anak) yang ditinggalkan?(3) bagaimana makna boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri atau bagaimana konstruksi sosial makna boro oleh pelaku boro?
Perspektif fenomenologi untuk memperoleh fist order understanding adalah meminta penelitian aliran ini untuk menanyakan kepada pihak yang diteliti guna mendapatkan penjelasan yang benar, misalnya; boro demi anak-anak, boro ingin mencari ilmu, boro ingin merubah nasib. Informasi-informasi ini belum cukup bagi peneliti. Peneliti harus menanyakan kembali bagaimana ia melakukan boro? mengapa ia boro? apa yang mendorong boro? Beberapa pertanyaan itu perlu disampaikan untuk memperoleh informasi tentang fenomena boro yang dilihat dari realitas subjektif, informasi seperti inilah yang disebut eksternalisasi menurut bahasa Berger. Informasi-informasi ini belum cukup untuk menjawab permasalahan penelitian ini kemudian peneliti berkewajiban untuk melakukan interpretasi agar informasi yang satu dapat dijelaskan dalam pertaliannya dengan informasi yang lain sehingga diperoleh suatu makna baru. Makna baru ini disebut second order understanding dalam fenomenologi atau objektifasi menurut pemahaman Berger.
Penggunaan perspektif fenomenologi untuk mengkaji proses boro dan makna boro ini sekaligus menghasilkan modifikasi teori migrasi Lee, modifikasi yang diharapkan adalah migrasi (boro) dikaji secara kualitatif dan dilihat sebagai realitas subjektif, boro dilihat dari non ekonomi (non materi) yaitu proses dan maknanya. Penggunaan fenomenologi seperti ini diasumsikan bahwa pemahaman migran terhadap makna boro dan prosesnya tidak dapat lepas dari pandangan moral, baik taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis maupun dalam membuat kesimpulan, dengan kata lain fenomenologi bukan hendak menampilkan teori dan konseptualisasi yang sekedar benar atau salah (berisi anjuran atau imperatif), melainkan mengangkat makna dalam berteori dan berkonsep.

3.2 Pemilihan Lokasi Penelitian
Tegalombo dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan di desa ini ada fenomena boro, 3 orang ke Batam, 3 orang ke Kalimantan, 111 orang ke Sumatra, dan 5 orang Malaysia. Dengan pemilihan daerah penelitian ini peneiti dapat memahami proses boro dan maknanya sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial dari realitas subjektif.
Karena daerah penelitian yang dipilih terletak di daerah Kabupaten Sragen, maka dalam menganalisis daerah penelitian ini akan diobservasi kondisi geografis daerah Kabupaten Sragen, juga akan difahami karakteristik daerah dan pola-pola mobilitas penduduk dan mobilitas pekerjaan. Seperti dijelaskan oleh Bintoro (1979) bahwa; daerah asal/daerah tujuan dapat dipandang sebagai suatu unit observasi.
Untuk membatasi pelaku boro yang dijadikan subjek penelitian, maka semua pelaku boro di desa penelitian ini, sebagai populasi. Sedangkan sampel yang dipilih sebagai subjek penelitian (informan) atas dasar pertimbangan kualitas keterandalan sang informan ini sebagai sumber yang sungguh informatif. Informan dipilih secara purposif (bukan secara acak), yaitu atas dasar apa yang peneliti ketahui tentang variasi-variasi yang ada atau elemen-elemen yang ada. Dalam hubungan ini, maka dalam proses pengumpulan data tentang suatu topik, bila variasi informasi tidak muncul maka peneliti tidak perlu lagi melanjutkannya dan kemudian mencari informasi (informan) baru, artinya jumlah informan bisa sangat sedikit (beberapa orang saja), tetapi bisa juga sangat banyak. Hal itu sangat tergantung pada; (1) pemilihan informan itu sendiri, dan (2) kompleksitas/keragaman fenomena yang diteliti.
Bila pemilihan informan jatuh pada subjek yang benar-benar menguasai permasalahan barang kali akan sia-sia saja melacak informasi berikutnya ke sejumlah informan lain karena tidak ditemukan lagi informasi-informasi baru yang berbeda dengan yang telah dinyatakan oleh informan pertama, sebaliknya jika informan jatuh pada subjek yang tidak menguasai permasalahan maka harus dilacak informan lain yang menguasai permasalahan. Jadi yang menjadi kepedulian peneliti kualitatif adalah “tuntasnya” perolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada. Oleh karena itu terdapat tiga tahap yang bisa dilakukan pemilihan informan pada penelitian kualitatif, yaitu: (1) pemilihan informan awal (informan untuk diwawancarai atau situasi sosial untuk diobservasi) (2) pemilihan informan selanjutnya, guna memperluas informasi dan melacak segenap variasi informasi yang mungkin ada, dan (3) menghentikan pemilihan informan lanjutan sekiranya sudah tidak muncul lagi informasi-informasi baru yang bervariasi dengan informasi-informasi yang telah diperoleh sebelumnya (Faisal, 1990: 57).
Setelah ditentukan informan penelitian sebagai subjek penelitian, untuk memperlancar peneliti dalam pengambilan data, dibutuhkan informan lain yang dianggap memiliki/kaya informasi, dan dapat memberikan informasi yang benar, yaitu tetangga boro, pimpinan formal, seperti Kepala Desa, Ketua RT dan RW, pimpinan informal, seperti pemuka agama, tokoh masyarakat.

3.3 Strategi dan Taktik Penelitian
Strategi dan taktik penelitian yang digunakan adalah:
Pertama-tama peneliti berusaha mengenal kondisi desa penelitian yang telah ditetapkan baik secara geografis, keadaan ekonomi, sosial, budaya dan adat-istiadat masyarakat serta keadaan pelaku boro dan keluarganya di desa Tegalombo. Strategi dan taktik penelitian ini hanya dapat diperoleh jika peneliti sebelumnya telah menyatu dan mampu berinteraksi dengan masyarakat setempat (informan penelitian), maka langkah yang ditempuh berikutnya adalah: penciptaan “rapport”.
Menurut Faisal (1990) penciptaan rapport ini merupakan prasyarat yang amat penting. Peneliti tidak akan dapat berharap untuk memperoleh informasi secara produktif dari informan apabila tidak tercipta hubungan harmonis yang saling mempercayai antara pihak peneliti dengan pihak yang diteliti. Terciptanya hubungan harmonis satu dengan yang lain saling mempercayai, tanpa kecurigaan apapun untuk saling membuka diri, merupakan permasalahan yang berkaitan dengan penciptaan rapport (Faisal, 1990: 53-54).
Untuk mencapai tingkat rapport yang membuat informan bisa menjadi semacam co-reseacher (sejawat atau pasangan bagi seorang peneliti), menurut Faisal, lazimnya ia mengalami proses 4 (empat) tahap, yaitu (1) apprehension, (2) exploration, (3) cooperation, dan (4) participation (Faisal, 1990: 54-55).
Tahap pertama (apprehension) biasanya ditandai oleh rasa asing satu dengan yang lain (antara peneliti dengan yang diteliti); terdapat perasaan bimbang/ragu bahkan kecurigaan antara kedua belah pihak. Untuk melewati tahap ini peneliti dituntut untuk mempersering frekuensi kontak personal, menunjukkan rasa simpatik, minat, dan perhatian terhadap dunia sehari-hari informan/subjek penelitian. Ia perlu membatasi diri pada penggalian informasi yang bersifat deskriptif (terbatas mengajukan pertanyaan-pertanyaan deskriptif), dan perlu menghindari pemberian kesan/komentar yang bersifat menilai (lebih-lebih yang tidak sejalan dengan pandangan/pendirian informan/subjek penelitian).
Tahap kedua (exploration) biasanya ditandai oleh upaya saling uji coba untuk mengenal “siapa” dan “bagaimana” satu dengan yang lain. Masing-masing saling mendengar, memperhatikan, dan menguji guna mengenali “identitas/pribadi” masing-masing, dan untuk menjajaki fisibilitas untuk saling bekerja sama. Di tahap ini peneliti sudah dapat menjajaki bagaimana minat, perhatian, dan aspek-aspek permasalahan penelitian yang menjadi “dunia” informan. Ia perlu menghindari ketergesaan untuk memperoleh sebanyak dan secepat mungkin informasi- informasi yang diperlukan sehingga pada diri informan tidak muncul “rasa diburu-buru” oleh peneliti. Juga belum waktunya, bagi peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan “berat” yang bisa mengundang kecurigaan tertentu dari informan.
Tahap ketiga (cooperation) biasanya ditandai oleh munculnya saling mempercayai satu dengan yang lain, sirna kecurigaan di antara peneliti-informan, masing-masing telah saling memahami apa yang menjadi minat dan harapan timbal balik di antara kedua pihak; mereka sama-sama merasa senang/bergairah dengan kegiatan wawancara yang berlangsung, dan informan telah menunjukkan sikap kooperatif dalam membeberkan informasi-informasi yang diperlukan peneliti. Setelah memasuki tahap ini, peneliti sudah dapat secara lebih produktif dan terkendali/terarah menggali dan melacak informasi yang seluas dan sedalam mungkin dari informan.
Tahap keempat (partisipation) biasanya ditandai oleh kesadaran informan bahwa ia merupakan “guru” peneliti atau “nara sumber” bagi peneliti dalam menyelesaikan penelitiannya. Karenanya, informan tidak lagi hanya merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti, tetapi juga bersama-sama peneliti mengidentifikasi hal-hal yang diperlukan peneliti. Bahkan, ia sudah ikut serta pula meneliti dan menyarankan langkah-langkah/kegiatan penelitian di lapangan. Di tingkat seperti itu, informan telah menjadi “sejawat-meneliti” atau co-resarcher bagi seorang peneliti. Penelitian kualitatif perlu memperdulikan penciptaan rapport, setidak-tidaknya hingga ke tingkat cooperation, dan idealnya hingga ke tingkat partisipasi informan (Faisal, 1990: 55-56).
Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data penelitian kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, pada bulan Februari 2002 peneliti mengontrak sebuah rumah sederhana untuk ditempati peneliti. Dengan cara ini peneliti bisa berinteraksi dengan masyarakat dalam segala aktivitasnya, misalnya; mendatangi undangan manten, syukuran kelahiran anak, melayat, gotong royong kampung, ikut ronda, mendatangi orang sakit, membantu mencarikan obat dan lain sebagainya.
Dengan telah diterimanya peneliti di masyarakat, maka langkah selanjutnya peneliti mendatangi warga masyarakat yang ada, seperti; mbah Wiro, mbah Wongso, Tukimin (sesepuh/tokoh masyarakat), Sri Hartini (Sekretaris Desa), Padmo (Kaur Kesra), dan Sudarna, Jumari, Salimin, Sunarto, Priyo Hartono, Supardi, Supadi, Suyanto (pelaku boro), dan pelaku boro yang lain; Sarmidi dan Samijo. Demikian sebaliknya peneliti setiap saat dapat menerima kunjungan mereka.
Kondisi yang demikian akan terjalin hubungan akrab, tidak ada kecurigaan, sehingga memudahkan peneliti memperoleh informasi dan data-data yang berkaitan dengan penelitian. Memang keakraban antara peneliti dengan informan tidak selamanya menguntungkan, bahkan sebaliknya akan menjadi hambatan ketika terjadi bias-bias, oleh karena itu perlu hati-hati, jika telah terjadi bias-bias, maka penelitian harus dihentikan sementara, dan jika hubungan telah pulih (normal) penelitian bisa dilanjutkan kembali.
Kedua, langkah berikutnya, pada bulan Maret-April 2002 peneliti segera melanjutkan berkonsultasi kepada Kepala Desa menyampaikan keinginan akan mengadakan penelitian disertasi dan sekaligus memohon bantuannya agar penelitian berjalan dengan lancar. Selanjutnya, peneliti segera mengadakan pencatatan data-data keadaan geografis desa Tegalombo, dan lain-lain. Hasil pencatatan data pada langkah ke dua ini peneliti sajikan pada Bab 4 Aspek Wilayah.
Ketiga, langkah selanjutnya pada bulan Mei-Desember 2002, peneliti menemui beberapa informan dan ditambah informan yang lain, yang memiliki karakteristik sebagai informan yang bisa memberikan informasi berkaitan dengan struktur masyarakat desa Tegalombo, proses boro, dan efek boro. Maka hal yang harus dilakukan terlebih dulu adalah peneliti menemui perangkat desa lagi, guna menanyakan kembali; bagaimana struktur masyarakat desa Tegalombo? Pertanyaan berikutnya adalah siapa diantara penduduk desa Tegalombo ini yang pertama kali melakukan boro ke Sumatra (sebagai perintis boro)? dan siapa saja yang bisa di temui untuk mendapatkan data tentang proses boro?
Untuk mendapatkan informasi mengenai hal ini, peneliti berusaha menemui beberapa orang perangkat desa, Ketua RW dan RT, dan beberapa tokoh masyarakat serta beberapa keluarga boro. Hal ini peneliti lakukan guna cross check data untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya mengenai struktur masyarakat, perintis boro dan data boro yang lain.
Dari informasi yang peneliti dapatkan menyebutkan bahwa struktur masyarakat desa masih dipengaruhi oleh srtuktur pemilikan tanah yang terdiri dari kuli kenceng, setengah kuli kenceng, dan kuli ngindung. Diperoleh informasi pula bahwa Sudarna adalah orang pertama di desa Tegalombo yang melakukan boro. Di samping itu juga diperoleh data pelaku boro yang lain yang memungkinkan peneliti mengadakan wawancara mendalam untuk memperoleh data dan informasi mengenai boro. Wawancara itu ditujukan kepada informan yakni Sudarna, Jumari, Sunarto, Priyo Hartono, Supardi, Supadi, dan kepada pelaku boro yang lain; Sri Hartini, Sarmidi, dan Samijo, serta keluarga boro.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk bahan wawancara dalam rangkan mendapatkan informasi struktur masyarakat dan proses boro, antara lain sebagai berikut:
1) Bagaimana struktur masyarakat di desa Tegalombo ini?
2) Siapa warga desa Tegalombo yang melakukan boro?
3) Kemana saja mereka melakukan boro?
4) Siapa diantara bapak-bapak yang bisa disebut sebagai perintis boro
desa Tegalombo ini?
5) Apa aktivitas, dan pekerjaan bapak sebelum bapak melakukan boro?
6) Bagaimana prosesnya bapak melakukan boro?
7) Bagaimana peran istri dalam menentukan boro?
Beberapa pertanyaan tersebut di atas belum cukup untuk menjawab permasalahan penelitian, oleh karena itu diperlukan pertanyaan lain yang mampu menggali permasalahan lebih mendalam sebagai berikut: (1) siapakah pelaku boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial di desa Tegalombo, mengapa mereka boro, bagaimana pelaku boro mengkonstruksikan alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro? (2) bagaimana konstruksi sosial proses boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial, apakah ada keterkaitan antara proses boro itu dengan kesadaran akan jaringan sosial, apakah juga ada keterkaitan antara proses boro dengan jaminan sosial seperti jaminan keamanan, kesehatan terhadap keluarga (istri dan anak-anak) yang ditinggalkan?
Hasil dari wawancara kepada informan tersebut kemudian peneliti sajikan pada Bab 5 Analisis Proses Boro. Pada bab ini peneliti sajikan berturut-turut: (1) struktur masyarakat desa Tegalombo, (2) proses boro masyarakat desa Tegalombo, yang terdiri dari (a) pelaku boro yang berhasil, antara lain; (i) Sudarna, perintis boro (ii) Jumari, boro yang sukses menjadi sarjana dan Kepala Desa (iii) Sunarto, boro berdagang kain (iv) Priyo Hartono, boro dari suami Carik Desa (v) Supadi, boro berhasil menyekolahkan anak-anaknya (vi) Supardi, boro yang anaknya menjadi Sarjana (vii) Sarmidi dan Samijo, merintis mebeler setelah boro. Dan (b) boro yang tidak sukses, antara lain; (i) Dalimin, boro yang tidak berhasil (ii) Sungadi, boro yang gagal (3) efek boro, yakni (a) efek boro terhadap ketenagakerjaan (b) efek boro terhadap sikap makin rasional (c) efek boro terhadap pengambilan keputusan desa.
Keempat, pada bulan yang sama yakni Mei-Desember 2002, peneliti bertemu Sudarna (perintis boro) dan beberapa orang yang memiliki karakteristik sebagai pelaku boro itu yakni; Sudarna, Jumari, Sunarto, Priyo Hartono, Supadi, Supardi, dan pelaku boro yang lain; Sarmidi dan Samijo, serta keluarga boro, untuk mengadakan wawancara mendalam berikutnya dalam upaya menggali informasi lebih mendalam. Wawancara dengan mereka itu tidak hanya sekali dua kali, tetapi peneliti lakukan beberapa kali sampai peneliti bisa mendapatkan informasi yang benar dan sampai peneliti bisa menyusun laporan disertasi ini,
Kelima, dalam langkah ini peneliti mengadakan wawancara mendalam kepada pelaku boro tentang makna boro. Dalam langkah ini juga peneliti lakukan untuk mengkaji boro dari realitas subjektif, ada makna apa migran melakukan migrasi/boro? Bagiamana makna boro bagi pelaku boro itu sendiri? Adapun pertanyaanya sebagai berikut:
1) Mengapa bapak melakukan boro?
2) Ada makna apa bapak melakukan boro?
3) Bagaimana makna boro bagi pelaku boro itu sendiri?
4) Bagaimana maknanya boro demi anak-anak?
5) Bagaimana maknanya boro mencari ilmu?
6) Bagaimana maknanya boro meningkatkan status sosial seseorang di desanya?
7) Bagaimana maknanya boro merubah nasib?
8) Bagaimana efek boro terhadap lingkungan, tenaga kerja, dan kehidupan masyarakat?
Pertanyaan-pertanyaan itu juga belum cukup untuk menjawab permasalahan penelitian berkaitan dengan makna boro, maka selanjutnya peneliti menyampaikan pertanyaan kepada subjek penelitian, bagaimana konstruksi sosial makna boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri?
Hasil dari wawancara mendalam berkaitan dengan makna boro ini peneliti sajikan pada Bab 6 Analisis makna boro bagi subjek boro yang meliputi: boro ingin merubah nasib, boro ingin mencari ilmu dan, boro meningkatkan status sosial;
Wawancara mendalam tersebut peneliti lakukan tidak hanya sekali tetapi peneliti lakukan beberapa kali dalam kurun waktu selama 8 (delapan) bulan. Hal ini peneliti lakukan untuk mendapatkan data yang benar dan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah sampai peneliti dapat membuat laporan disertasi ini secara tertulis.
Setelah laporan disertasi ini secara tertulis selesai, peneliti masih melanjutkan komunikasi dengan informan tersebut untuk pengecekan kebenaran data tersebut di atas. Pengecekan data ini berlansung pada bulan Januari-Agustus 2003, peneliti bertemu lagi dengan informan yakni Sudarna, Jumari, Priyo Hartono, Supadi, Supardi dan beberapa pelaku boro yang lain.
Untuk memperkaya data dan validitas data maka selain mendapatkan informasi data dari pelaku boro tersebut di atas peneliti juga bertemu dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat. Dalam hal ini peneliti juga bertemu dan memperoleh informasi dari ibu Sekretaris Desa dimana suaminya sampai sekarang masih boro ke Sumatera. Langkah ini terus dikembangkan sampai diperoleh gambaran yang benar tentang proses dan makna boro. Setelah diperoleh kebenaran data boro, dan informasi yang ada kaitannya dengan boro tersebut di atas, peneliti masih perlu harus melakukan pengecekan data sampai diperoleh data yang benar sampai bisa menyusun laporan penelitian ini dengan benar.

3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan langsung terjun ke kancah terutama untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan mobilitas boro di Sragen, khusus di desa Tegalombo dihimpun data yang lebih detail, untuk itu dibutuhkan metode (1) observasi dan dokumentasi, (2) wawancara mendalam.

3.4.1 Metode Observasi dan Dokumentasi
Observasi dan dokumentasi ini digunakan untuk mempertahankan kebenaran ilmiah, sebagaimana ditegaskan oleh Gordon (1991), bahwa; “dasar-dasar pembatasan secara luas diterima oleh ilmuwan itu sendiri adalah kesaksian empirik, sebuah pernyataan adalah ilmiah jika diuji oleh observasi dan eksperimen (Gordon, 1991).
Observasi dan Dokumentasi dalam suatu penelitian kualitatif lazimnya berkaitan dengan situasi sosial tertentu. Setiap situasi sosial setidaknya mempunyai tiga elemen utama, yaitu: (1) lokasi/fisik tempat suatu situasi sosial itu berlangsung (2) manusia-manusia pelaku atau actors yang menduduki status/posisi tertentu dan memainkan peranan-peranan tertentu, dan (3) kegiatan atau aktivitas peran pelaku pada lokasi/ tempat berlangsungnya sesuatu situasi sosial.
Metode observasi dan dokumentasi ini digunakan dalam rangka mengumpulkan data yang memberikan gambaran tentang situasi setempat atau social setting yang menjadi konteks mobilitas boro. Social setting diperoleh melalui observasi dan dokumentasi yaitu melihat data lapangan dan mendengar informasi dari informan, dan cerita warga setempat.
Metode observasi ini peneliti gunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan: Aspek wilayah yang meliputi (1) potensi daerah yang dapat dikembangkan (2) siklus aktivitas pertanian dan kemiskinan (3) analisis pasar kerja (4) lowongan kerja dan penempatan kerja (5) deskripsi ringkas lokasi penelitian.
Sedangkan Metode dokumentasi, digunakan untuk memperoleh data-data antara lain: (1) keadaan geografis daerah penelitian, (2) data jumlah pelaku boro, (3) data pribadi pelaku boro, dan catatan-catatan lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Relevansi penggunaan metode observasi dan dokumentasi dengan permasalahan adalah, dalam rangka peneliti memperoleh data pelengkap, metode ini digunakan juga untuk mencocokkan beberapa informasi dengan data yang ada di lapangan. Adapun hasil observasi dan dokumentasi ini peneliti sajikan pada uraian bab 4.
3.4.2 Metode Wawancara Mendalam
Wawancara ini peneliti gunakan dalam situasi dialogis maupun wawancara mendalam (in-depth) dengan subjek penelitian (pelaku boro) secara bertahap. Pertama, kepada Sudarna (perintis boro), Jumari (boro yang sukses), Sunarto (boro berdagang kain), Priyo Hartono (boro dari suami Carik Desa), Supadi (boro yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya), Supardi (boro yang anaknya menjadi Sarjana). Kedua, peneliti wawancara dengan pelaku boro yang sukses dan merintis usaha mebeler di desanya yakni Sarmidi dan Samijo. Ketiga, peneliti juga wawancara dengan tokoh masyarakat dan sesepuh desa yakni Sri Hartini, dan Supatmo (perangkat desa) dan kepada informan lain yang bisa memberikan informasi tentang proses dan makna boro. Keempat, peneliti wawancara dengan pelaku boro yang tidak sukses (Dalimin) dan pelaku boro yang gagal (Sungadi).
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan subjek penelitian tersebut dengan alasan karena penelitian ini ingin memperoleh realitas senyatanya (emic-factors), karena itu peneliti harus memperoleh data langsung dari subjek penelitian agar diperoleh data yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hasil dari wawancara mendalam tersebut kemudian berikutnya dilakukan transkripsi, dan pemahaman agar ada kejelasan perbedaan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa literatur sehingga dapat diperoleh bahasa ilmiah yang tepat.
Dalam pelaksanaanya, peneliti menyampaikan beberapa pertanyaan kepada informan penelitian tentang hal-hal yang berkaitan struktur masyarakat desa Tegalombo, proses boro, dan makna boro, antara lain: Bagaimana srtuktur masyarakar desa Tegalombo dan bagaimana cara mengelompokkannya ? Siapa warga desa Tegalombo yang melakukan boro? Kemana saja mereka melakukan boro? Siapa diantara bapak-bapak yang bisa disebut sebagai perintis boro desa Tegalombo ini? Apa aktivitas, dan pekerjaan bapak sebelum bapak melakukan boro? Bagaimana prosesnya bapak melakukan boro? Mengapa bapak melakukan boro? Ada makna apa bapak melakukan boro? Bagaimana makna boro bagi pelaku boro itu sendiri? Bagaimana maknanya, boro demi anak-anak? Bagaimana maknanya, boro mencari ilmu? Bagaimana maknanya, boro meningkatkan status sosial seseorang di desanya? Bagaimana maknanya boro merubah nasib? Bagaimana efek boro terhadap lingkungan, tenaga kerja, dan kehidupan masyarakat?
Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, masih ada beberapa pertanyaan yang lebih terfokus untuk menjawab permasalahan penelitian ini, antara lain (1) siapakah pelaku boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial di desa Tegalombo, mengapa mereka boro, bagaimana pelaku boro mengkonstruksikan alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro? (2) bagaimana konstruksi sosial proses boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial, apakah ada keterkaitan antara proses boro itu dengan kesadaran akan jaringan sosial, apakah juga ada keterkaitan antara proses boro dengan jaminan sosial seperti jaminan keamanan, kesehatan terhadap keluarga (istri dan anak-anak) yang ditinggalkan?(3) bagaimana konstruksi sosial makna boro sebagai mobilitas boro dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri.
Beberapa pertanyaan ini disampaikan kepada informan sampai bisa membuka dan mengungkap baik pengalaman/pengetahuan eksplisit maupun yang tersembunyi di balik itu, termasuk informasi yang berkaitan dengan masa lampau, sekarang, maupun harapan dan cita-cita boro, data yang juga dianggap penting adalah peristiwa-peristiwa boro, tindakan-tindakan boro, dan ungkapan-ungkapan boro yang terkait dengan makna dan prosesnya itu.
Dalam proses wawancara ini diharapkan terjadi diskusi, obrolan spontanitas dengan subjek penelitian sebagai memecahan masalah, proses wawancara ini sampai mendapatkan pengetahuan tentang pemahaman para migran terhadap makna boro dan proses boro, dan pengetahuan tentang pemahaman para migran terhadap makna dan proses boro ini menghasilkan suatu temuan yang dapat memperbaiki teori tentang migrasi yang dilihat sebagai realitas subjektif dari perspektif fenomenologi. Hasil dari wawancara mendalam ini penulis sajikan pada bab penyajian data (bab 5 dan 6).
Dalam proses pengumpulan informasi (data) ini, kemungkinan akan terjadi bias-bias peneliti, seperti dinyatakan oleh Denzim dan Lincoln (1994), terdapat sedikitnya dua hal yang mengharuskan agar peneliti bersifat hati-hati, yaitu; (1) peneliti bisa kehilangan sensitifitas terhadap aktifitas sehari-hari karena sedemikian jauh peneliti going-along, sehingga berbagai aktifitas subyek penelitian dapat ditebak sebelumnya, sehingga peneliti dapat dibuat tidak tertarik atau bosan, dan mengakibatkan kemampuan melihat, mencatat dan merekam secara detail fenomena subjek penelitian menjadi tumpul; (2) peneliti kehilangan objektivitas terhadap setting, karena bisa jadi peneliti terikat dengan kelompok tertentu, yang bisa berakibat netralitas sebagai kolektor bahan empirik tidak terpenuhi (Denzin dan Lincoln, 1994: 231).
Posisi peneliti seperti diilustrasikan di atas, dapat menimbulkan bias kepentingan maupun bias nilai. Oleh karena itu, agar bisa tetap menghasilkan penelitian yang transferable, maka dijaga dari kemungkinan pengungkapan makna yang tidak sesuai realitas senyatanya, maka dalam hal ini perlu dilakukan triangulasi sebagai peneliti (investigator triangulation). Dalam hal ini, peneliti menempuh langkah penarikan diri. Pada saat-saat tertentu yang lain, peneliti bisa meneruskan penelitiannya dengan selalu menjaga agar tidak terjadi bias kedua dan seterusnya.

3.5 Teknik Analisis Data
Pada tahap analisis data ini menurut Dilthey, sebagaimana dikemukakan juga oleh pemikir fenomenologi, mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses yaitu: (1) memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli; (2) memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah; dan (3) menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup. Proses (1) dan (2) merupakan fist order understanding dan proses (3) merupakan second order understanding.
Perspektif fenomenologi untuk memperoleh first order underdstanding adalah:
Pertama, meminta peneliti aliran ini untuk menanyakan kepada pihak yang diteliti guna mendapatkan penjelasan yang benar terkait dengan; (1) bagaimana struktur masyarakat desa Tegalombo? (2) siapakah pelaku boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial di desa Tegalombo, mengapa mereka boro?
Kedua, informasi-informasi itu belum cukup bagi peneliti, maka selanjutnya peneliti harus menanyakan lebih lanjut; (1) bagaimana pelaku boro mengkonstruksikan alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro? (2) bagaimana konstruksi sosial proses boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial, apakah ada keterkaitan antara proses boro itu dengan kesadaran akan jaringan sosial, apakah juga ada keterkaitan antara proses boro dengan jaminan sosial seperti jaminan keamanan, kesehatan terhadap keluarga (istri dan anak-anak) yang ditinggalkan? dan (3) bagaimana konstruksi sosial makna boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri?
First order underdstanding, jika pihak yang diteliti itu mengatakan, boro demi anak-anak, maka informasi tersebut belum cukup bagi peneliti. Peneliti harus menanyakan kembali bagaimana ia boro demi anak-anak, mengapa boro demi anak-anak dan bagaimana maknanya boro demi anak-anak. Begitu juga informasi dari informan bahwa boro ingin mencari pengalaman/ilmu, boro ingin merubah nasib. Informasi-informasi itu belum cukup bagi peneliti, maka berikutnya peneliti harus menanyakan kembali, bagaimana ia melakukan boro? mengapa melakukan boro? Apa yang mendorong melakukan boro? bagaimana makna boro bagi mereka? bagaimana konstruksi sosial proses dan makna boro sebagai mobilitas boro dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri?
Beberapa pertanyaan di atas perlu disampaikan untuk memperoleh informasi tentang fenomena boro yang dilihat sebagai realitas subjektif. Informasi seperti inilah yang disebut ekternalisasi menurut pandangan Berger.
Ketiga, informasi-informasi itu belum cukup untuk menjawab permasalahan penelitian ini, kemudian peneliti berkewajiban untuk melakukan rekonstruksi dan interpretasi agar informasi yang satu dapat dijelaskan dalam pertaliannya dengan informasi yang lain sehingga akan diperoleh suatu makna yang baru. Makna yang baru inilah yang disebut second order understanding dalam fenomenologi atau objektivasi menurut pemahaman Berger.
Teknis analisis data tersebut dilakukan di lapangan atau bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data dan sesudahnya. Menurut Milles (1992) ada dua hal yang penting dalam analisis tersebut; Pertama, analisis data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses” kira-kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih tulis, tetapi analisis ini tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperlukan. Kedua, analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, dalam hal ini peneliti mencatat hasil wawancara dengan informan berkaitan dengan struktur masyarakat, pelaku boro, proses boro, dan makna boro, bagaimana makna boro bagi pelaku boro itu sendiri? bagaimana maknanya, boro demi anak-anak? bagaimana maknanya, boro mencari ilmu? bagaimana maknanya, boro meningkatkan status sosial seseorang di desanya? bagaimana maknanya boro merubah nasib? bagaimana efek boro terhadap lingkungan, tenaga kerja, dan kehidupan masyarakat? bagaimana pelaku boro mengkonstruksikan alasan yang mendasari tindakan mereka melakukan boro? bagaimana konstruksi sosial proses boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial, apakah ada keterkaitan antara proses boro itu dengan kesadaran akan jaringan sosial, apakah juga ada keterkaitan antara proses boro dengan jaminan sosial seperti jaminan keamanan, kesehatan terhadap keluarga (istri dan anak-anak) yang ditinggalkan? dan bagaimana konstruksi sosial makna boro sebagai mobilitas penduduk dan gejala sosial bagi pelaku boro itu sendiri?
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Penyajian data di sini sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan tentang fenomena boro tersebut di atas.
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis (peneliti) mulai mencari makna boro dan prosesnya. Dengan demikian, aktifitas analisis merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.

3.6. Keabsahan Data
Data merupakan fakta atau bahan-bahan keterangan yang penting dalam penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (aktivitas), dan selebihnya, seperti dokumen (yang merupakan data tambahan).
Kesalahan data berarti dapat dipastikan menghasilkan kesalahan hasil penelitian. Karena begitu pentingnya data dalam penelitian kualitatif, maka keabsahan data perlu diperoleh melalui teknik pemeriksaan keabsahan, seperti disarankan oleh Lincoln dan Guba, yang meliputi: kredibilitas (credibility), transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), konfirmabilitas (confirmability) (Lincoln, dan Guba, 1985: 298-331).
Adapun penerapannya dalam praktek adalah bahwa untuk memenuhi nilai kebenaran penelitian yang berkaitan dengan fenomena boro (proses dan makna boro) maka hasil penelitian ini harus dapat dipercaya oleh semua pembaca dan dari responden sebagai informan secara kritis, maka paling tidak ada beberapa teknik yang diajukan, yaitu:
Pertama, perpanjangan kehadiran penelitian, dalam hal ini peneliti memperpanjang waktu di dalam mencari data di lapangan, mengadakan wawancara mendalam kepada (Sudarna) sebagai perintis boro dan kepada pelaku boro yang lain tidak hanya dilakukan satu kali tetapi peneliti lakukan berulang kali, berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Hal ini peneliti lakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang benar, oleh karena itu perlu diadakan ceking data sampai mendapatkan data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Selanjutnya harus dilakukan pengamatan secara terus-menerus termasuk kegiatan pengecekkan data melalui informan lain untuk menanyakan kebenaran informasi dari Sudarna tersebut dan data yang lain yang penting. Dan kemudian data yang benar tersebut dilakukan triangulasi. Kebenaran data juga bisa diuji melalui diskusi dengan teman-teman sejawat, diskusi ini di samping sebagai koreksi terhadap kebenaran data yang merupakan hasil dari interpretasi informan penelitian juga untuk mencari kebenaran bahasa ilmiah dalam interpretasi terhadap interpretasi tersebut. Kemudian dilakukan analisis kasus negatif, pengecekan atas cakupan referensi, dan pengecekan informan.
Kriteria kedua, untuk memenuhi kriteria bahwa; hasil penelitian yang berkaitan dengan fenomena boro yang dilihat sebagai realitas subjektif dari perspektif fenomenologi, dapat diaplikasikan atau ditransfer kepada konteks atau setting lain yang memiliki tipologi yang sama. Kriteria ketiga, digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan melakukan evaluasi apakah si peneliti sudah cukup hati-hati dalam mencari data, terjadi bias atau tidak? apakah membuat kesalahan dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitian-nya, pengumpulan datanya dan, penginterpretasiannya.
Sedangkan kriteria keempat, untuk menilai mutu tidaknya hasil penelitian, jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti, maka konfirmabilitas digunakan untuk menilai kualitas hasil penelitian itu sendiri, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi, serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang cukup.

2 komentar: