Kamis, 06 Maret 2014
NKRI Harga Mati
NKRI Harga Mati
=============================================
oleh: Tjipto Subadi (Dosen Prodi Pendidikan Geografi FKIP UMS, juga mengajar di Prodi Pendidikan Matematika dan Pascasarjana Universitas Muhammadiyah, Surakarta)
=============================================
SEMAKIN hari ancaman gerakan separatisme semakin mengkhawatirkan. Setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berhasil diatasi, justru gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin meningkatkan kampanyenya untuk memisahkan diri dari NKRI.======
Anehnya, untuk mengatasi GAM, pemerintah pusat sampai menggelar operasi militer besar-besaran di Aceh sejak Daerah Operasi Militer (DOM) pada zaman Orba hingga Darurat Militer era reformasi. Sedangkan untuk membasmi RMS dan OPM, pemerintah pusat enggan melaksanakan operasi militer dalam skala besar, paling hanya operasi intelijen terbatas. Barangkali khawatir dituduh melakukan pelanggaran HAM berat dan diadukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.====
Meski kekuatan militer RMS dan OPM tidak sebesar GAM, namun keduanya jauh lebih berbahaya daripada GAM. Kedua gerakan separatis itu, terutama OPM, mendapat dukungan luas dari dunia internasional. Sebab jika mereka sampai berhasil memisahkan diri dari NKRI sebagaimana Freetelin di Timor Timur (1999), maka dikhawatirkan akan terjadi balkanisasi dan disintegrasi sehingga akhirnya NKRI bubar.====
Terbukti Agustus 2011 lalu, media Australia yang tergabung dalam jaringan media Fairfax seperti The Saturday Age dan The Canberra Times mengaku berhasil mendapatkan 19 dokumen rahasia antara tahun 2006-2009 mengenai “Anatomi Separatisme Papua”, hal mana disebutkan secara detail ancaman gerakan separatisme OPM, meski kemudian dibantah Kapuspen TNI, Laksamana Muda Iskandar Sitompul. Sebab, menurutnya, tidak ada operasi intelijen di Papua dan data seperti itu sudah diterbitkan media Australia tahun 2006 lalu.====
Dalam dokumen rahasia yang katanya berasal dari TNI AD itu detail disebutkan mengenai tokoh-tokoh kunci OPM dan tokoh internasional yang menjadi simpatisan OPM. Mereka antara lain 40 anggota Kongres AS, termasuk Senator dari Partai Demokrat Dianne Feinstein, anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Andrew Smith, mantan PM Papua Niugini Michael Somare dan pemenang Hadiah Nobel serta tokoh anti-Apartheid Afrika Selatan, Uskup Desmont Tutu. Dokumen itu juga memasukkan nama para politisi, akademisi, jurnalis, tokoh NGO dan para tokoh agama dari berbagai negara. Mereka semua menjadi simpatisan dan pendukung kuat OPM di Papua.====
Maka, sangat mengherankan jika Menlu Marty Natalegawa menyatakan bahwa di Papua tidak ada intervensi AS. Juga baru-baru ini Menhan Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa tidak ada intervensi asing di Papua dan pangkalan militer AS di Darwin Australia bukan ancaman bagi Indonesia. Purnomo Yusgiantoro berdalih, pemerintah AS dan Australia tidak ikut campur dalam masalah Freeport dan Papua, sebab itu masalah korporat, bukan masalah negara.====
Jelas, pernyataan kedua Menteri itu terasa aneh. Apalagi memanasnya situasi di Maluku dan Papua dan adanya indikasi dukungan para politisi AS termasuk sejumlah anggota Kongres kepada RMS dan OPM diduga kuat menjadi motif dibukanya pangkalan militer AS di Darwin, selain dalih meningkatnya dominasi militer China di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Apalagi AS juga memiliki perusahaan pertambangan emas terbesar di dunia, Freeport Mc-Moran di Papua.====
Padahal selama ini intervensi asing terutama AS di Papua sangat nyata. Terbukti, Menlu AS Hillary Clinton, November 2011 lalu menyampaikan kekhawatiran mengenai kondisi HAM di Papua. Menlu Hillary Clinton menyerukan adanya dialog untuk memenuhi aspirasi rakyat Papua. Hal itu mengindikasikan AS setuju jika diadakan referendum di Papua sebagaimana Timtim dahulu.====
Selain itu, ada kekuatan asing yang aktif melakukan operasi kontra-intelijen (insurgensi) dengan tujuan agar Papua memisahkan diri dari NKRI. Mereka sesungguhnya merupakan pemain lama dan non-state actor. Seharusnya kekuatan intelijen asing ini wajib diwaspadai oleh Badan Intelijen Negara (BIN).====
=======
Referendum Papua
================================
Meski integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 lalu, namun wacana mengenai referendum akhir-akhir ini semakin mengemuka setelah Gereja Papua mengusulkan adanya referendum untuk rakyat Papua. Apalagi setelah Vatikan berencana akan menunjuk langsung Uskup Papua sebagaimana Uskup Bello di Timtim yang ditunjuk langsung Vatikan. Jika itu sampai terjadi, dapat dipastikan akan menjadi pembuka jalan bagi lepasnya Papua dari NKRI.====
Dengan dukungan kuat dari Vatikan, negara Barat terutama AS dan negara tetangga Australia sangat setuju jika diadakan referendum di Papua. Jika itu sampai terjadi, dapat dipastikan mayoritas rakyat Papua akan mendukung kemerdekaan sebagaimana terjadi di Timtim (1999) dan Sudan Selatan (2011). PBB dan dunia internasional akan segera memberikan pengakuan kedaulatan kepada Papua, sebagaimana Sudan Selatan di mana hanya seminggu setelah proklamasi sudah 120 negara mengakui kedaulatannya.====
Anehnya, di sisi lain umat Islam Moro di Filipina Selatan yang sudah 50 tahun berjuang untuk melepaskan diri dari penindasan rezim Manila, perjuangan 60 tahun rakyat Palestina untuk merdeka dari rezim Zionis Israel, perjuangan 100 tahun umat Islam Pattani di Thailand Selatan untuk melepaskan diri dari pemerintahan Bangkok dan perjuangan 60 tahun rakyat Kashmir untuk melepaskan diri dari penindasan rezim New Delhi; perjuangan mereka yang begitu lama dan memakan banyak korban jiwa tidak pernah mendapatkan dukungan apalagi pengakuan dari PBB dan negara Barat. Mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mendapatkan otonomi khusus, melakukan referendum, apalagi kemerdekaan sebagai negara berdaulat. Mereka diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil seperti itu dikarenakan mayoritas umat Islam.====
Bagaimana agar Papua tetap berada dalam pangkuan NKRI dan konspirasi asing untuk melepaskan Papua berhasil dicegah dan digagalkan? Pertama, korupsi yang sudah sedemikian parah di Pemerintahan Papua harus diberantas sampai ke akar-akarnya, sehingga rakyat Papua dapat disejahterakan perekonomiannya melalui dana Otsus yang mencapai triliunan rupiah tersebut.====
Kedua, Pemprov Papua dan Papua Barat harus berani bertindak tegas untuk membersihkan birokrasinya jika didapati adanya unsur dan anasir tertentu yang menginginkan Papua lepas dari NKRI. Sebab, jika itu dibiarkan, tentu akan semakin membesar dan dikhawatirkan akan terjadi balkanisasi dan disintegrasi bangsa sehingga NKRI yang dahulu diperjuangkan para pahlawan bangsa akan bubar dan hanya tinggal kenangan. (Sumber: Jurnal Nasional | Rabu, 18 Jan 2012)====
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum Wr.Wb..
BalasHapusSaya telah membaca dan mengcopy postingan Bapak Tjipto mengenai NKRI Harga Mati, semoga dapat bermanfaat bagi saya dan teman-teman. Terimakasih bapak :)
Asslamu'alaikum Wr. Wb
BalasHapusBukan hanya Pemprov papua saja yg bertanggung jawab, tapi pemerintah pusat jg harus ikut campur tangan, bagaimanapun juga Papua belongs to Indonesia, Indonesia and Papua have each other, because they are a single entity.. "NKRI HARGA MATI"
FKIP Akuntansi -> A210120068
Kontrak Freeport Jakarta Pegang walau ada kekususan Otsus......itu aja dulu
BalasHapus