Selamat Datang di Blog saya

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jumat, 30 April 2010

Contoh Proposal Penelitian Kualitatif

PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN
MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM DENGAN MODEL LESSON STUDY
PADA PROGRAM STUDI PGSD FKIP-UMS


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di Perguruan Tinggi khususnya Mata Kuliah Psikologi Umum banyak faktor yang harus diperhatikan, misalnya; dosen, mahasiswa, sarana dan prasarana, laboratorium dan kelengkapannya, lingkungan dan manajemennya, serta model pembelajarannya. Peningkatan kualitas pembelajaran dosen dengan model pembelajaran inovatif (inovative teaching modelling) pada program studi PGSD-FKIP-UMS akan berpengaruh pada prestasi akademik mahasiswa (calon guru) dan selanjutnya akan berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia yang sekarang ini kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara lain.
Balitbang (2003) mencatat bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Khusus kualitas guru (2002-2003) data guru yang layak mengajar, untuk SD hanya 21,07 % (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 % (negeri) dan 60,09 % (swasta), untu SMA 65,29 % (negeri) dan 64,73 % (swasta), serta untuk SMK 55,49% (negeri) dan 58,26 % (swasta). Sedangkan data siswa menurut Trends in Mathematic and Science Study 2003/2004 mencatat bahwa siswa Indonesia (SD) hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking 37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam skala Internasional menurut Bank Dunia, Study IFA di Asia Timur menunjukkan ketrampilan membaca siswa kelas IV SD Indonesia berada pada tingkat rendah apabila dibandingkan dengan Negara lain yaitu Hongkong 75,5%, Singapura 74 %, Thailand 65,1 %, sedangkan Indonesia berada pada posisi 51,7 %. (dalam Laporan Penelitian Tjipto Subadi, 2009: 50-51)
Data-data tersebut di atas maknanya terdapat masalah-masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pertama; masalah mendasar yakni kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua; masalah-masalah yang berkaitan dengan pendekatan dan metode pembelajaran. Ketiga; masalah lain yang berkaitan dengan aspek praktis/teknis penyelenggaraan pendidikan misalnya; biaya pendidikan, sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru dan rendahnya prestasi siswa, dan sebagainya.
Upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2005 pemerintah dan DPR RI telah mensyahkan Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru/dosen agar guru/dosen menjadi profesional. Di satu pihak, pekerjaan sebagai guru/dosen akan memperoleh penghargaan yang lebih tinggi, tetapi di pihak lain pengakuan tersebut mengharuskan guru/dosen memenuhi sejumlah persyaratan agar mencapai standar minimal seorang profesional. Pengakuan terhadap guru/dosen sebagai tenaga profesional akan diberikan manakala guru/dosen telah memiliki antara lain kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang dipersyaratkan (Pasal 8). Kualifikasi akademik tersebut harus “diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat” (Pasal 9). Sertifikat pendidik diperoleh guru setelah mengikuti pendidikan profesi (Pasal 10 ayat (1)). Adapun jenis-jenis kompetensi yang dimaksud pada Undang-undang tersebut meliputi, Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Profesi (Pasal 10 ayat (1)).
Lesson study yang dimaksud dalam kajian ini merupakan proses pelatihan dosen yang bersiklus, diawali dengan seorang dosen:
1. Merencanakan perkuliahan melalui eksplorasi akademik terhadap materi ajar dan alat-alat pelajaran;
2. Melakukan perkuliahan berdasarkan rencana dan alat-alat pelajaran yang dibuat, mengundang sejawat untuk mengobservasi;
3. Melakukan refleksi terhadap perkuliahan tadi melalui tukar pandangan, ulasan, dan diskusi dengan para observer.
4. Oleh karena itu, implementasi program lesson study perlu dimonitor dan dievaluasi sehingga akan diketahui bagaimana keefektifan, keefisienan dan perolehan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Rood map penelitian dengan menggunakan lesson study sebagai model pembelajaran terdapat berbagai variasi pelaksanaan lesson study. Lewis (2002) menyarankan ada enam tahapan dalam awal mengimplementasikan lesson study di sekolah, yakni (1) membentuk kelompok lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) menyusun rencana pembelajaran (4) melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengamatinya (observasi) (5) refleksi dan menganalisis pembelajaran yang telah dilaksanakan (6) merencanakan pembelajaran tahap selanjutnya. Sementara itu, Richardson (2006) menyarankan 7 tahap lesson study untuk meningkatkan kualitas guru (yang masih mirip dengan Lewis) yakni (1) membentuk tim lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) merencanakan pembelajaran (4) persiapan untuk observasi (5) melaksanakan pembelajaran dan observasinya (6) melaksanakan diskusi pembelajaran yang telah dilaksanakan (refleksi) (7) merencanakan pembelajaran untuk tahap selanjutnya. (Sukirman: 2006: 7)
Penelitian Sagor (1992) dalam Bambang Subali (2006: 29-30) menghasilkan temuan bahwa lesson study sebagai suatu riset meliputi tiga tahapan utama yakni tahap perencanaan (planning), tahap implementasi (implementing/do), tahap refleksi (reflecting/see). Dari tahapan tersebut, jika mengacu pada PTK menurut Sagor, maka pelaku lesson study bekerja pada tiga tahapan tindakan, yakni: (1) memprakarsai tindakan (initiating action), misalnya ingin mengadopsi suatu gagasan atau ingin menerapkan suatu strategi baru (2) monitoring dan membenahi tindakan (monitoring and adjusting action) dan (3) mengevaluasi tindakan (evaluation action) untuk menyiapkan laporan final dari program secara lengkap.
Sagor menyarankan, dari sudut inquiry maka kegiatan untuk memprakarsai tindakan biasanya berupa kegiatan mencari informasi yang akan membantu dalam memahami dan memecahkan masalah sehingga merupakan research for action. Selama pelaksanaan dilakukan monitoring dan pembenahan tindakan yang lebih berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan sehingga merupakan research in action. Pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi akhir untuk mengevaluasi tindakan yang lebih berfokus untuk mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan sehingga merupakan research of action.
Penelitian Sa’dun dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD” berkesimpulan bahwa Model-model pembelajaran tematis untuk kelas 1 dan 2 SD yang berhasil disusun secara kolaboratif adalah model-model dan modul (worksheet) untuk tema-tema: Diri Sendiri, Keluarga, Lingkungan, Pengalaman, Kegemaran, dan Kesehatan-kebersihan dan keamanan. Dari sejumlah model dan modul (worksheet) yang telah disusun tersebut kualitasnya masih bervariasi, dan masih dalam bentuk matrik, yang selanjutnya perlu dinarasikan secara mengalir, disederhanakan, difinishing, sehingga lebih mudah dipahami dan dapat diterapkan. Penelitian lain yang dilakukan Agus Marsidi dkk (2006) yang berjudul “Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan” berkesimpulan antara lain “pada waktu mengajar mata pelajaran IPA, Matematika, IPS, dan Bahasa, Guru menekankan pada berbagai aspek seperti pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pemecahan masalah, pengetahuan prosedural, dan proses berpikir logis.” Penelitian ini dilakukan untuk mengatasi persoalan kelangkaan model-model peningkatan kualitas guru yang berbasis riset. (dalam Tjipto Subadi, 2009:5).
Penelitian dengan judul “Peningkatan Kualitas Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Umum dengan Model Lesson Study Pada Program Studi PGSD FKIP-UMS” dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah produk yang berupa model-model perkuliahan di PGSD-FKIP-UMS yang bisa meningkatkan kualitas dosen melalui pelatihan lesson study. Dengan demikian diharapkan dapat membantu mengatasi sebagian masalah pendidikan sebagaimana diuraikan di atas.

B. Permasalahan Penelitian.
Permasalahan penalitian ini adalah (1) bagaimana permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (2) bagaimana langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (3) bagaimana model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS?

C. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini menghasilkan produk berupa (1) identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.

D. Manfaat Penelitian.
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial tentang; (1) permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi guru/dosen, LPTK dan birokrasi pendidikan (pemerintah) dalam menyusun strategi kebijakan peningkatan kualitas pembelajaran bagi guru/dosen.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kompetensi Guru
Menurut Charles (1994 dalam Mulyasa, 2007: 25) kompetensi adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sarimaya (2008: 17) memaknai kompetensi guru sebagai kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sedangkan menurut Broke and Stone dalam Mulyasa (2007: 25) kompetensi guru sebagai; descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful (kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti).
Dari pendapat tersebut di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu. Sehingga kompetensi guru dapat dianggap kompeten jika memiliki kemampuan, pengetahuan dan sikap yang mampu mendatangkan apresiasi bagi guru.
Menurut Undang Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjelaskan bahwa standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu: 1) Kompetensi Pedagogik. 2) Kompetensi Kepribadian. 3) Kompetensi Sosial. 4) Kompetensi Profesional.
1) Kompetensi Pedagogik. Yang termasuk kompetensi pedagogik antara lain (1) memahami peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3) melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran dan (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2) Kompetensi Kepribadian. Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil, bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik.
3) Kompetensi Profesional. Kompetensi profesional adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam hal menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi antara lain; (1) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan, (2) memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4) Kompetensi Sosial. Kompetensi ini antara lain; (1) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; (2) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (3) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Sebagai perbandingan, di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski (2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3) kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keanekaragaman, (6) etika, (7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi. (http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).

B. Model Pembelajaran Inovatif
Guru adalah jabatan dan pekerja profesioal, indikator untuk mengukur keprofesionalan adalah jika kelas yang diasuh menjadi “surganya siswa untuk belajar”, atau “kehadiran seorang sebagai guru di kelas selalu dinantikan siswa”. (Sugiyanto, 2008: 5). Sudahkah pembelajaran kita mencapai kondisi yang demikian? Selain tugas profesional tersebut guru juga harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator. Jika peran ini dijalankan dengan baik dan benar maka usaha memberikan pelayanan pembelajaran yang optimal kearah pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) Insya Allah dapat dicapai. Perlu diingat bahwa kemampuan menerapkan pendekatan PAIKEM tersebut diperlukan model pembelajaran yang inovatif. Joyce dan Weil (1986) menjelaskan bahwa hakikat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar.
Banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha meningkatkan kualitas guru, antara lain; Model Pembelajaran Konstektual, Model Pembelajaran Quantum, Model Pembelajaran Terpadu, Model Pembelajaran Kooperatif, dan Model Pembelajaran Berbasis Masalah.
1. Model Pembelajaran Kontektual.
Model Pembelajaran Konstektual (Constextual Teaching and Learning) adalah konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa, model ini juga mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar. Menurut Nurhadi (2002) pendekatan pembelajaran kontektual memiliki tujuh komponen, yaitu: (1) Constructivism (Konstruktivisme), (2) Inquiry (Menemukan), (3) Questioning (Bertanya), (4) Learning Community (Masyarakat Belajar), (5) Modelling (Pemodelan) (6) Reflection (Refleksi), (7) Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya).
Penjelasan dari ketujuh komponen ini menurut Harta (2009: 41) adalah sebagai berikut; konsrtuktivisme adalah suatu pembelajaran yang menekankan terbentuknya pemahaman siswa secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Sedangkan inquiry (menemukan) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontektual yang diawali dengan pengamatan terhadap fenomena, yang dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Langkah-langkah inkuiri dimulai dari observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpanan.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari questioning (bertanya). Bertanya merupakan strategi pokok dalam pembelajaran yang berbasis kontektual. Strategi ini dipandang sebagai upaya guru yang dapat membantu siswa untuk mengetahui sesuatu, memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Sehingga penggalian informasi menjadi lebih efektif, terjadinya pemantapan pemahaman lewat diskusi., bagi guru bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Learning Community (Masyarakat belajar) yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Maksud dari Modelling (pemodelan) dalam pembelajaran kontektual bahwa pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya cara menggunakan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan, Cara semacam ini akan lebih cepat dipahami oleh siswa. Adapun prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru, contoh yang dapat diperoleh langsung dari ahli yang berkompeten.
Reflection (Refleksi) juga bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan kontektual. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa-apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya adalah pengayaan dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun prinsip dalam penerapannya adalah perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh respon atas kejadian atau penyampaian penilaian atas pengetahuan yang baru diterima.
Sedangkan yang dimaksud Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Sehingga penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran berlangsung. Adapun penerapannya adalah untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, penilaian dilakukan secara komprehensif antara penilaian proses dan hasil, guru menjadi penilai yang konstruktif, memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan penilaian diri.
2. Model Pembelajaran Kuantum
Model ini disajikan sebagai salah satu strategi yang dapat dipilih guru agar pembelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (enjoyful learning). Model ini merupakan ramuan dari berbagai teori psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Penggagas model ini De Porter dalam Quantum Learning (1999: 16) ia menjelaskan bahwa Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori, seperti; Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik, Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Belajar dengan simulsi/permainan.
Ada beberapa karakteristik umum, menurut De Porter dalam Sugiyanto (2008: 11) yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum; 1) Berpangkal pada psikologi kognitif. 2) Lebih bersifat humanistis, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. (3) Lebih bersifat kontruktivistis, bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau naturasionistis. 4) Memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. 5) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna. 6) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. 7) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifialan atau keadaan yang dibuat-buat. 8) Menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. 9) Memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10) Memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal atau material. 11) Menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran. 12) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. 13) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
Sebagai kerangka operasional pembelajarannya, model kuantum memperkenalkan konsep TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Ulangi, dan Rayakan).
3. Model Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu penting disajikan, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Strandar Isi, IPS dan IPA merupakan mata pelajaran di SMP yang harus disajikan secara terpadu, namun penerapan model pembalajaran terpadu tersebut menemui banyak hambatan di lapangan karena memberikan beban berat bagi guru IPS dan IPA. Hal ini disebabkan: (1) Semua guru IPS dan IPA di SMP tidak ada yang berlatar belakang Pendidikan IPS/IPA tetapi hanya berlatar belakang salah satu pendidikan IPS/IPA yaitu; (sarjana pendidikan sejarah, sarjana pendidikan ekonomi, dan sarjana pendidikan geografi, sarjana pendidikan fisika, sarjana pendidikan biologi, sarjana pendidikan kimia), sehingga materi ajar yang dikuasai guru hanyalah materi salah satu dari rumpun IPS/IPA tersebut. (2) Selama kuliah para guru belum diajarkan mengemas bahan ajar dengan model terpadu.
Model pembelajaran terpadu menurut Ujang Sukamdi dkk (2001: 3) pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Menurut Anitah (2003: 16-17) pembelajaran terpadu mempunyai banyak keuntungan dan kelebihan: (1) Dapat meningkatkan kedalaman dan keluasan dalam belajar. (2) Memberikan kesadaran metakognitif kepada pebelajar. (3) Memudahkan pembelajar untuk memahami alasan mengerjakan sesuatu yang dikerjakan. (4) Hubungan antara isi dan proses pembelajaran menjadi lebih jelas. (5) Transfer konsep antar isi bidang studi lebih baik.
Menurut Forgaty (1991: 5) membagi 10 model yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran terpadu, yaitu ; (1) Fragmented model, (2) Connected model, (3) Nested model, (4) Sequencedmodel, (5) Share model (6) Webbed model, (7) Threathed model, (8) Networked model , (9) Immersed model, (10) Integrated model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut merupakan suatu kontinum dari model yang terpisah sampai model dengan keterpaduan yang komplek. Dari sepuluh model tersebut menurut Hamid (1997: 112) dapat direduksi menjadi lima langkah untuk perencanaan pembelajaran terpadu, yaitu; (a) pemetaan kompetensi dasar, (b) penentuan tema, (c) penjabaran KD ke dalam indikator, (d) pengembangan silabi, (e) penyusunan skenario pembelajaran.
4. Model PBL (Problem Based Learning)
Model PBL mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Menurut Sugiyanto (2008: 14-15) PBL fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka), tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan, mempresentasikan, dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi guru lebih harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Membuat siswa berpikir, menyelesaikan masalah, dan menjadi pelajar yang otonom bukan tujuan baru bagi pendidik. Berbagai strategi mengajar, seperti discovery learning, inquiry learning, dan inductive teaching memiliki sejarah panjang.
John Dewey (1993) mendiskripsikan secara cukup terperinci tentang nilai penting dari reflectivethinking (berpikir reflektif) dan proses-proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa memperoleh ketrampilan dan proses berpikir produktif. Jerome Bruner (1962) menekankan nilai penting dari discovery learning dan bagaimana guru mestinya membantu pelajar untuk menjadi “konstruksionos” terhadap pengetahuannya sendiri. Richard Suchman mengembangkan pendekatan yang disebut inquiry training yang gurunya menyodorkan berbagai situasi yang membingungkan kepada siswa dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.
Ada lima tahapan dalam pembelajaran model PBL yang utama, yaitu: 1) Orientasi tentang permasalahan. 2) Mengorganisasikan diri untuk meneliti. 3) Investigasi mandiri dan kelompok 4) Pengembangan ide dan mempresentasikan laporan hasil penyelidikan. 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Banyaknya model pembelajaran tersebut tidaklah berarti semau guru menerapkan semua model untuk setiap bidang studi, karena tidak semua model pembelajaran itu cocok untuk setiap pokok bahasan dalam setiap bidang studi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (1) Tujuan yang akan dicapai. (2) Sifat bahan/materi ajar. (3) Kondisi siswa. (4) Ketersediaan sarana prasarana belajar. Depdiknas (2005) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (a) Berorientasi pada tujuan. (b) Mendorong aktivitas siswa. (c) Memperhatikan aspek individu siswa. (d) Mendorong proses interaksi. (e) Menantang siswa untuk berpikir. (f) Menimbulkan inspirasi siswa untuk berbuat dan menguji. (g) Menimbulkan proses belajar yang menyenangkan. (h) Mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Harta (2009: 45) prinsip dasar pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif, hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu teknik yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Lie (2004: 27) dalam Sugiyanto (2008: 10) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu, adalah: (1) Saling ketergantungan positif. (2) Interaksi tatap muka. (3) Akuntabilitas individu. (4) Keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Ada lima tahapan dalam Model Pembelajaran Kooperatif, yaitu; (1) Mengklarifikasi tujuan dan estlablishing set. (2) Mempresentasikan informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. (3) Membentuk kerja kelompok belajar. (4) Mengujikan berbagai materi. (5) Memberikan pengakuan.
Model Pembelajaran Kooperatif ini dikembangkan menjadi enam model, yaitu: (a) Student Teams Achievement Division (STAD) (b) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (c) Jigsaw (d) Learning Together (e) Group Investigation, dan (f) Cooperative Scripting.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
Suatu model kooperatif yang mengelompokkan berbagai tingkat kemampuan yang melibatkan pengakuan tim dan tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran individual. Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin (1994) metode ini dilaksanakan dengan mengelompokkan siswa yang beranggotakan 4 siswa perkelompok yang berbeda dalam tingkat kemampuannya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) Guru membagi kelas (siswa) menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang heterogen kemampuannya. (2) Guru membagikan topik/bahasan/lembar kerja akademik kepada tiap-tiap kelompok (3) Kerja kelompok untuk membahas topik tersebut, anggota kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok. (4) Guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah mereka pelajari. (5) Guru memberi skor atas pekerjaan dari siswa. (6) Dan kemudian guru memberi hadiah kepada setiap siswa yang berhasil, sebaliknya guru memberi hukuman yang mendidik kepada yang kurang berhasil, misalnya menyanyi, menghafal surat-surat Al Quran yang pendek.
b. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Suatu model pembelajaran yang komprehenship untuk mengajarkan membaca dan menulis di kelas-kelas atas, para siswa bekerja dalam bebarapa tim yang beranggotakan empat siswa. Stevens & Slavin (1995) dalam Harta (2009: 54) menjelaskan bahwa CIRC adalah suatu program konprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar, terutama untuk kelas 4, 5 dan 6. Adapun gambaran pelaksanaan pembelajaran CIRC antara laian; Para siswa bekerja dalam beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan empat orang. Mereka melakukan serangkaian kegiatan satu sama lainnya, termasuk membacakan, memperkirakan kelanjutan cerita naratif, menyimpulkan cerita yang dibaca siswa lain, merespos suatu cerita, berlatih mengeja, menafsirkan, dan kosa kata.
c. Jigsaw
Jigsaw adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap timnya beranggotakan 4-6 siswa yang akan mempelajari bahan pembelajaran yang telah dibagi atas enam bagian, satu bagian untuk satu anggota. Dalam Jigsaw setiap kelompok akan mempelajari materi yang telah dibagi atas enam bagian. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok (beberapa tim), tiap kelompok/tim anggotanya terdiri dari 4 -6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. (2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut. (3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam ini disebut “kelompok pakar”. (expert group) (4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar. (5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “home teams”, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw versi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Individu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru.
d. Learning Together
Learning Together adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap kelompok heterogen beranggotakan empat-lima siswa untuk membahas materi secara bersama-sama. Pendekatan kooperatif heterogen yang dikembangkan oleh David Johnson and Roger Johnson (1999) ini menugaskan setiap kelompok bekerja sama untuk membahas suatu materi. Setiap kelompok mengumpulkan hasil pembahasan dan menerima penghargaan berdasarkan apa yang dihasilkan oleh kelompok tersebut. Model ini menekankan pada kegiatan-kegiatan untuk pembentukan kebersamaan kelompok sebelum bekerja dan diskusi dalam kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama.
e. Group Investigation
Menurut Harta (2009: 54) Group Investigation adalah suatu pendekatan kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan teknik inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Hasil penyelidikan kemudian disajikan kepada seluruh kelas.
Menurut pendapat (Sharan & Sharan, 1992) Group Investigation merupakan rencana organisasi kelas biasa di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan model inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Dalam model ini, para siswa membentuk sendiri kelompoknya (2 – 6 orang peserta didik). Setelah memilih subtopik dari topik yang sedang dipelajari oleh seluruh kelas, setiap kelompok memecah subtopik tersebut menjadi tugas-tugas individu untuk dilaksanakan dan dilaporkan sebagai bagian dari tugas kelompok. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan temuannya kepada seluruh kelas. Adapun langkah-langkah pembelajarannya Group Investigation menurut Sugiyanto (2008: 45-46) adalah : (1) Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik. (2) Merencanakan kerja sama. Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (3) Implementasi. Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (4) Analisis dan sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. (5) Penyajian hasil akhir. Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (6) Evaluasi selanjutnya. Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya.
f. Cooperative Scripting
Suatu pengkajian yang menuntut siswa bekerja berpasangan dan secara bergiliran secara lisan menyimpulkan bagian-bagian yang akan dipelajari. Banyak siswa yang menyukai bersama dengan teman sekelas mendiskusikan materi yang mereka dengar atau pelajari di kelas. Formalisasi latihan dengan teman sebaya ini telah diteliti oleh Dansereau (1985) dan rekan-rekannya. Dalam penelitian ini, para siswa belajar berpasangan dan secara bergilir membuat kesimpulan untuk materi yang dipelajarinya. Sementara seorang siswa menyimpulkan untuk rekannya, siswa lainnya mendengarkan dan mengkoreksi setiap kesalahan atau kekurangannya, jika ada. Kemudian kedua siswa bertukar peran, dengan kegiatan yang sama sehingga semua materi telah dipelajari. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan model ini secara konsisten menemukan bahwa para siswa yang mengikuti model ini jauh melebihi siswa yang menyimpulkan atau membaca sendiri (Newbern, Dansereau, Patterson & Wallace, 1994). Penelitian lain menemukan bahwa siswa yang mengajar lebih tinggi dibandingkan dengan rekannya yang berperan sebagai pendengar (Spurlin, Dansereau, Larson & Brooks, 1984; Fuchs & Fuchs, 1997; King, 1997, 1998).

C. Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Peningkatan kualitas pembelajaran adalah usaha untuk menjadikan pembelajaran lebih baik sesuai dengan kondisi-kondisi yang dapat diciptakan atau diusahakan. Kriterianya bersifat normatif yaitu hasil tindakan dianalisis dengan metode alur kemudian dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan kualitas pembelajaran/perkuliahan mata kuliah psikiologi umum, di mana peningkatan pembelajaran ini diharapkan berpengaruh kepada prestasi mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum tersebut lebih baik.
Kegiatan pembelajaran di Perguruan Tinggi merupakan bagian dari kegiatan pendidikan pada umumnya, yang secara otomatis meningkatkan kualitas mahasiswa ke arah yang lebih baik. Bila diamati keberhasilan dalam pendidikan tidaklah lepas dari kegiatan pembelajaran. Keberhasilan dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi biasanya diukur dengan keberhasilan mahasiswanya dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan. Semakin banyak mahasiswa yang dapat mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi, maka semakin tinggi keberhasilan dari pembelajaran tersebut.
Pembelajaran sebagai pembinaan ke arah perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup harus direncanakan dan dilaksanakan secara kondusif dan menyenangkan, sehingga mahasiswa memiliki motivasi dan perhatian untuk belajar lebih jauh. Karena itu maka pembelajaran yang efektif seyogyanya menggunakan berbagai macam pendekatan, metode dan media pembelajaran (pendidikan) yang dapat menyenangkan dan menarik perhatian.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa / mahasiswa yang harus memainkan peranan, serta ada hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia (Hasibuan, 2006: 3). “Pembelajaran merupakan kegiatan mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar sehingga dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melalukan kegiatan belajar”. (Sudjana, 2005: 7).
Dari uraian pembelajaran tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari pengajar/guru/dosen untuk membuat proses belajar-mengajar terjadinya perubahan tingkah laku pada diri pelajar/siswa/mahasiswa yang berlaku dalam waktu relatif lama. Karena itu dalam guru mengajar/dosen memberi kuliah, bagaimana siswa/mahasiswa dapat mempelajari bahan sesuai tujuan. Usaha yang dilakukan guru/dosen merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa/mahasiswa. Peran guru/dosen bukan sebagai penyampai informasi, melainkan sebagai motivator, organisator, fasilitator, dalam pembelajaran.

D. Lesson Study
1. Tinjauan Sejarah
Lesson Study di Jepang. Lesson Study dikembangkan di Jepang sejak tahun 1900-an. Guru-guru di Jepang mengkaji pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk memotivasi siswa-siswanya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyokenkyu, yang berasal dari dua kata yogyo yang berati lesson atau pembelajaran, dan kentyu yang berarti study atau research atau pengkajian. Dengan demikian lesson study merupakan study atau penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. (Tim UPI, 2007: 20).
Lesson Study bisa dilaksanakan oleh kelompk guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok guru sebidang, semacam MGMP di Indonesia. Kelompok guru dari beberapa sekolah berkumul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di Jepang adalah yang diselenggarakan oleh suatu sekolah dan dikenal sebagai konaikenshu yang berkembang sejak tahun 1960-an. Konaikenshu juga dibentuk oleh dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah dan kata kenshu yang berarti tanning. Jadi istilah konaikenshu berarti school-based in-service training atau in service education within the school atau in house workshop. Pada tahun 1970-an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari konaikenshu dan sejak itu pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu dengan menyediakan dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan konaikenshu. Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang melaksanakan konaikenshu. Walaupun pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan biaya bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu tetapi kebanyakan sekolah melaksanakan secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya (Tim Lesson Study UPI, 2007: 20-21)
Lesson Study Telah Menjadi Milik Dunia. The Third Intenational Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan studi untuk membandingkan pencapaian hasil belajar matematika dan IPA kelas 8 (kelas 2 SMP). Penyebaran lesson study di dunia pada tahun 1995 di latar belakangi oleh TIMSS. Empat puluh satu negara terlibat dalam TIMSS, dua puluh dari empat puluh satu Negara memperoleh skor rata-rata matematika yang signifikan lebih tinggi dari Amerika Serikat. Negara-Negara yang memperoleh skor matematika yang lebih tinggi dari Amerika Serikat antara lain Singapura, Korea, Jepang, Kanada, Prancis, Australia, Ireland. Sementara hanya 7 negara yang memperoleh skor matematika secara signifikan lebih rendah dari Amerika Serikat, yaitu Lithuania, Cyprus, Portugal, Iran, Kuwait, Colombia, dan Afrika Selatan.
Posisi pencapaian belajar matematika siswa-siswa SMP Kelas 2 (dua) di Amerika Serikat membuat negara itu melakukan studi banding pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman. Tim Amerika Serikat melakukan perekaman video pembelajaran matematika di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat untuk dilakukan analisis terhadap pembelajaran tersebut. Pada waktu itu, Tim Amerika Serikat menyadari bahwa Amerika Serikat tidak memiliki sistem untuk melakukan peningkatan mutu pembelajaran, sementara Jepang dan Jerman melakukan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Amerika Serikat selalu melakukan reformasi tapi tidak selalu melakukan peningkatan mutu. Selanjutnya ahli-ahli pendidikan Amerika Serikat belajar dari Jepang tentang lesson study. Sekarang lesson study telah berkembang di sekolah-sekolah di Amerika Serikat dan diyakini lesson study sangat potensial untuk pengembangan keprofesionalan pendidik yang akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Selain itu lesson study juga telah berkembang di Australia.
Lesson Study di Indonesia. Lesson Study berkembang di Indonesia melalui IMSTEP (Indonesia Mathematics and Science Teacher Education Project) yang diimplemantasikan sejak Oktober tahun 1998 di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP Yogjakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta/UNY) dan IKIP Malang (sekarang bernama Universitas Negeri Malang /UNM) bekerja-sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuan Umum dari IMSTEP adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di Indonesia, sementara tujuan khususnya dalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang. Pada permulaan implementasi IMSTEP, UPI, UNY, dan UM berturut-turut bernama IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang.
2. Konsep Dasar Lesson Study
Lesson Study merupakan suatu model pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun learning community. Lesson Study bukan suatu metode pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan lesson study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi pendidik.
Lesson study dapat merupakan suatu kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru/dosen dan pakar pembelajaran yang mencakup; (1) tahap perencanaan (planning), (2) tahap implementasi (action) pembelajaran dan observasi, dan (3) tahap refleksi (reflection) terhadap perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
a. Tahap perencanaan
Pada tahap ini hal-hal yang akan dilakukan adalah: Pertama, Identifikasi masalah pembelajaran yang ada di kelas yang akan digunakan untuk kegiatan lesson study, dan perencanaan alternatif pemecahannya. Identifikasi masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan (materi pelajaran) yang relevan, karakteristik mahasiswa dan suasana kelas, metode/pendekatan pembelajaran, media/ alat peraga, dan proses evaluasi dan hasil belajar yang akan dicapai.
Kedua, Dari hasil identifikasi tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang; (a) pemilihan materi pembelajaran, (b) pemilihan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa, serta (c) jenis evaluasi yang akan digunakan. Pada saat diskusi, akan muncul pendapat dan sumbang saran dari para mahasiswa, dosen dan pakar dalam kelompok tersebut untuk menetapkan pilihan yang akan diterapkan. Pada tahap ini, pakar dapat mengemukakan hal-hal penting/baru yang perlu diketahui dan diterapkan oleh dosen, seperti pendekatan pembelajaran konstruktif, pendekatan pembelajaran yang memandirikan belajar mahasiswa, pembelajaran kontekstual, pengembangan life skill, pemutakhiran materi ajar, atau lainnya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan tersebut.
Ketiga, Hal yang penting pula untuk didiskusikan adalah penyusunan lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan indikator-indikatornya, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikator itu disusun berdasarkan perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan untuk dimiliki mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran. (4) Dari hasil identifikasi masalah dan diskusi perencanaan pemecahannya, selanjutnya disusun dan dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri atas : (a) Rencana Pembelajaran (RP) (b) Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide) (c) Lembar Kerja mahasiswa (LKM) (d) Media atau alat peraga pembelajaran (e) Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran. (f) Lembar observasi pembelajaran.
b. Tahap Implementasi dan Observasi
Pada tahap ini seorang dosen, melakukan implementasi rencana pembelajaran (RP) yang telah disusun tersebut di kelas. Pakar dan dosen lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan. Para observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Selain itu (jika memungkinkan), dilakukan rekaman video (audio visual) yang meng close-up kejadian-kejadian khusus (pada dosen dan mahasiswa) selama pelaksanaan pembelajaran. Hasil rekaman ini berguna nantinya sebagai bukti autentik kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.
c. Tahap Refleksi
Selesai praktik pembelajaran, segera dilakukan refleksi. Pada tahap refleksi ini, dosen yang tampil dan para observer serta pakar mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang baru saja dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh pakar/dosen lain yang ditunjuk. Pertama, dosen yang melakukan implementasi rencana pembelajaran tersebut di atas diberi kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran, baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi. Kedua, observer (dosen lain/pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang menyangkut kegiatan siswa selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Ketiga, dosen yang melakukan implementasi tersebut akan memberikan tanggapan balik atas komentar para observer.
3. Pengembangan Lesson Study
a. Pengembangan Lesson Study Sebagai PTK
Lesson Study sebagai penelitian tindakan kelas dapat dilaksanakan dalam beberapa macam. Mengacu pendapat Kemmis dan McTaggart (1997) ada tiga macam PTK, yakni PTK yang dilakukan secara individual, PTK yang dilakukan secara kolaboratif, dan PTK yang dilakukan secara kelembagaan.
1) Lesson Study dalam Bentuk PTK yang Dilakukan Secara Individual
Lesson study dalam PTK yang dilakukan secara individual, seorang guru/dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, guru/dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti guru/dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktek pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadopsi bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
2) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kolaboratif
PTK dalam bentuk kolaboratif/kelompok melibatkan sekelompok guru/dosen, sehingga ada guru/dosen sebagai peneliti dan guru/dosen sebagai praktisi. Dapat pula kolaborasi dilakukan antara guru dengan dosen. Dalam kolaborasi antara guru dan dosen, permasalahan digali bersama di lapangan, dan dosen dapat sebagai inisiator untuk menawarkan pemecahan atas dasar topik area yang dipilih. Dalam hal ini validitas penelitian lebih terjamin karena ada posisi sebagai peneliti dan posisi sebagai praktisi.
3) Lesson Study berbasis PTK yang Dilakukan Secara Kelembagaan
Lesson study yang dilakukan dalam bentuk PTK individual/perorangan ataupun dalam bentuk PTK yang dilakukan secara kolaboratif/kelompok memiliki skop terbatas atau berfokus pada topik area yag sempit. Misalnya, penelitian hanya berfokus pada hubungan antara proses pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai. PTK yang dilakukan secara kelembagaan memiliki skop penelitian yang lebih luas dan ditujukan untuk perbaikan lembaga. Dengan demikian, dalam satu penelitian dapat ditetapkan beberapa topik area. Dalam PTK yang dilakukan secara kelembagaanpun melibatkan kolaborasi dapat dibangun secara luas dengan melibatkan banyak pihak yang terkait. Untuk sekolah, dapat melibatkan siswa, guru, karyawan, orang tua, kepala sekolah, dinas, dan dosen perguruan tinggi. Untuk perguruan tinggi, dapat melibatkan mahasiswa, dosen, karyawan, pihak pengguna, dan stakeholder ataupun yang lainnya.
Tujuan utama PTK yang dilakukan secara kelembagaan adalah untuk memajukan lembaga. Oleh karena itu, dapat dibuat kelompok-kelompok peneliti menurut topik-topik area yang relevan dengan kelompok yang bersangkutan. Menurut Kemmis dan McTaggart (1997) dalam PTK bentuk ini kelompok-kelompok kecil yang ada di dalamnya dapat melakukan kegiatan eksperimen untuk menguji beberapa inovasi untuk permasalahan yang ada.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial yang bergerak pada kajian mikro. Fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian melakukan interpretasi, dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan pengetahuan tentang; (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Jenis penelitiannya menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan secara individual, yakni seorang dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktik pembelajaran sebagai praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan. Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadop bila hasilnya dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.

B. Latar Penelitian, Informan Penelitian
Yang menjadi latar penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah psikologi umum dan mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum semester I PGSD-FKIP-UMS tahun ajaran 2009/2010, Informan penelitian ini adalah; Pimpinan Struktural, Dosen, Mahasiswa PGSD.
Melalui Pimpinan Strukturan, Dosen dan Mahasiswa PGSD akan diperoleh informasi/interpretasi tenang; Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.

C. Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.
Data tentang Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam.
Observasi dilakukan untuk mengamati perkuliahan psikologi umum, sedangkan wawancara dilakukan baik kepada pimpinan, dosen dan mahasiswa, untuk memperoleh data tentang masalah-masalah perkuliahan. Untuk itu, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, dan angket-semi terbuka. Proses wawancara sampai memperoleh interpretasi dari informan, dan kemudian peneliti menginterpretasikan interpretasi informasi tersebut sampai memperoleh bahasa ilmiah yang tidak merubah makna dari interpretasi pertama. Dalam hal ini Berger (dalam Santoso, 2004) menyebutnya dengan first order understanding dan second order understanding. Sehubungan dengan hal tersebut di atas peneliti perlu mempersiapkan antara lain; (1) instrumen penelitian, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, angket semi terbuka, (2) model pembelajaran

D. Analisis Data.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Analisis data ini menggunakan pendekatan proses alur; data dianalisis sejak tindakan pembelajaran/ perkuliahan dilaksanakan, dikembangkan selama proses perkuliahan berlangsung sampai diperoleh perkuliahan yang berkualitas / profesional. Teknis analisis data tersebut di atas mengacu pendapat Miles (1992), Pertama, analisis data yang muncul berwujud kata-kata, data ini dikumpulkan dari survey/observasi, wawancara mendalam dan model perkuliahan. Kedua, analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, dalam hal ini peneliti mencatat hasil observasi dan wawancara dengan informan berkaitan dengan permasalahan penelitian yang telah di rumuskan pada bagian latar belakang tersebut di atas.
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data. Penyajian data di sini sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini berbentuk teks naratif, teks dalam bentuk catatan-catatan hasil wawancara dengan informan penelitian sebagai informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis (peneliti) mulai mencari makna peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study. Dengan demikian, aktifitas analisis merupakan proses interaksi antara ketiga langkah analisis data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan penelitian selesai.

E. Keabsahan Data
Data merupakan fakta atau bahan-bahan keterangan yang penting dalam penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (aktivitas), dan selebihnya, seperti dokumen (yang merupakan data tambahan). Kesalahan data berarti dapat dipastikan menghasilkan kesalahan hasil penelitian. Karena begitu pentingnya data dalam penelitian kualitatif, maka keabsahan data dalam penelitian ini melalui teknik pemeriksaan keabsahan yang disarankan oleh Lincoln dan Guba, yang meliputi: kredibilitas (credibility), transferabilitas (transferability), dependabilitas (dependability), konfirmabilitas (confirmability) (Lincoln, dan Guba, 1985: 298-331).


F. Indikator Kinerja
Indikator kinerja ini diarahkan pada pencapaian produk yakni (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Indikator peningkatan kualitas pembelajaran tersebut di atas tercapai apabila dosen sudah mampu mempraktekkan dengan benar 9 ketrampilan mengajar sebagai berikut: (1) Ketrampilan mengelola kelas (2) ketrampilan membuka pelajaran (3) ketrampilan bertanya (pre test, saat menerangkan, dan pos test) (4) ketrampilan menerangkan (5) ketrampilan menggunakan multi media (6) ketrampilan menggunakan multi metode (7) ketrampilan memberikan motivasi (8) ketrampilan memberikan ganjaran (9) ketrampilan menutup pelajaran

G. Perancangan Produk
Perancangan produk yang berupa model peningkatan kualitas dosen dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan dosen lain (dosen tim pengampu mata kuliah psikologi umum). Di samping itu dibantu oleh 3 orang berstatus sebagai anggota peneliti dari mahasiswa S1 yang dilibatkan dalam diskusi-diskusi dalam pengembangan instrument penelitian, pengumpulan data, pelatihan penyusunan model pembelajaran, lokakarya penyusunan model, dan penyuntingan.
Kegiatan kolaboratif ini dilakukan dalam jangka waktu 6 bulan berupa; pengumpulan data tentang (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkan lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
H. Spesifikasi Produk.
Produk yang berupa identifikasi masalah-masalah pengembangan model peningkatan kualitas dosen yang dihasilkan dengan spesifikasi sbb:

Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kulian Psi. Umum

Masalah-Masalah Perkuliahan Dosen Mata Kuliah Psikologi Umum

a. Kemampuan dosen dalam pengembangan kurikulum menjadi perkuliahan berkualitas.
b. Ketersediaan sumber belajar yang dimiliki dan pemanfaatannya.
c. Pola interaksi perkuliahan.
d. Pola pemanfaatan potensi alam dan manusia sekitar kampus dalam mendukung kegiatan perkuliahan.
e. Kesulitas mahasiswa dalam penguasaan kompetensi.
f. Kesulitas dosen dalam mengembangkan perkuliahan berkualitas.
g. Kemampuan dosen mengembangkan instrumen penilaian.
h. Peran pimpinan dalam pengembangan perkuliahan berkualitas.
i. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan.
j. Kreatifitas mahasiswa dalam perkuliahan.
k. Rasa senang mahasiswa dalam perkuliahan.
l. Faktor-faktor pendukung (potensial) untuk pengembangan perkuliahan berkualitas.
m. Faktor-faktor penghambat pengembangan perkuliahan berkualitas bagi dosesn PGSDS.
n. Lesson study baru dikembangkan di SD, SLP, SLA dan belum dikembangkan di Perguruan Tinggi.

Sedangkan spesifikasi produk yang berupa langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dan model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS berupa model perkuliahan yang berkaulitas dan seperangkat program semester perkuliahan, silabus, jaringan tema, dan (MRP) Model Rencana Perkuliahan.

I. Produk Yang Akan Dihasilkan
Produk yang akan dihasilkan dari penelitian ini, untuk tahun pertama; model peningkatan kualitas kooperatif (improvement model of quality of co-operative). Produk untuk tahun kedua; model peningkatan kualitas berdasar masalah (improvement model of quality of based on problem. Dan untuk tahun ketiga; model peningkatan kualitas langsung (improvement model of quality of direct)

Tahun Pertama: Model Peningkatan Kualitas Kooperatif (Improvement Model of Quality of Co-Operative)
Model kooperatif ini memiliki beberapa unsur yaitu; (1) Mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4 sampai 5 orang untuk efektifitas kelompok dalam belajar. (2) Setiap anggota kelompok memiliki rasa ketergantungan dalam kelompok, keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota dalam kelompok tersebut (3) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok, kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar sangat mendukung keberhasilan kelompok (4) Terdapat kegiatan komunikasi tatap muka baik antar anggota kelompok dalam kelompok maupun antar kelompok. Adanya komunikasi ini dapat mendorong terjadinya interaksi positif, sesama mahasiswa dapat lebih saling mengenal, masing-masing mahasiswa saling menghargai pendapat teman, menerima kelebihan dan kekurangan teman apa adanya, menghargai perbedaan pendapat yang selalu terjadi dalam kehidupan. Mahasiswa saling asah, saling asih dan saling asuh (5) Anggota-anggota kelompok berlatih untuk mengevalusi pendapat teman, melalui adu argumentasi, belajar menerima hasil evaluasi dari teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa toleransi pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Dari ke 5 unsur tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lewat perkuliahan kooperatif, di samping diperoleh pencapaian aspek akademik yang tinggi di kalangan mahasiswa, juga bermakna dalam membantu dosen dalam mencapai tujuan perkuliahan yang berdimensi sosial dalam hubungannya dengan sesama.

Tahun Kedua: Model Peningkatan Kualitas Berdasar Masalah (Improvement Model of Quality of Based on Problem)
Model peningkatan kualitas dosen ini bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa lewat latihan penyelesaian masalah, oleh sebab itu mahasiswa dilibatkan dalam proses maupun perolehan produk penyelesaiannya. Dengan demikian model ini juga akan mengembangkan mahasiswa keterampilan berpikir lewat fakta empiris maupun kemampuan berpikir rasional, sehingga latihan yang berulang-ulang ini dapat membina mahasiswa keterampilan intelektual dan sekaligus dapat mendewasakan mahasiswa. Mahasiswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat perkuliahan model ini mahasiswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi sehingga dapat bertindak sebagai seorang ilmuwan atau orang dewasa.
Model ini tentu tidak dirancang agar dosen memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa, tetapi dosen perlu berperan sebagai fasilitator perkuliahan dengan upaya memberikan dorongan agar mahasiswa bersedia melakukan sesuatu dan mengungkapkannya secara verbal.

Tahun Ketiga: Model Peningkatan Kualitas Langsung (Improvement Model of Quality of Direct)
Perkuliahan seringkali dianggap lebih sesuai dengan sifat ilmu yang dipelajari, seperti halnya kelompok mata pelajaran Basic Science. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan ilmiah tersusun secara terstruktur yang memuat materi prasyarat dalam setiap langkah penyajiannya. Perkuliahan langsung pada umumnya dirancang secara khusus untuk mengembangkan aktivitas belajar di pihak mahasiswa berkaitan dengan aspek pengetahuan prosedural serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik yang dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Fokus utama dari perkuliahan ini adalah adanya pelatihan-pelatihan yang dapat diterapkan dari keadaan nyata yang sederhana sampai yang lebih kompleks.

J. Pelaporan dan Seminar Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini sebelum dijilid (dilaporkan) akan diseminarkan terlebih dahulu, hal ini penting untuk menambah keabsahan hasil penelitian.

Daftar Pustaka


Bambang Subali dkk. 2006. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi Program Lesson Study, Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.

Berger, P. and T. Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. London. Allen Lane.
---------------. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta. LP3ES.

DGSE. 2002. Report on Validation and Socialization of the Guideline of Syllabi and Evaluation System of Competent-Based Curriculum for Mathematics in Manado. North Sulawesi. Jakarta: Depdiknas.

Denzin K. N. Lincoln S. Y. 1994. Hand Book of Qualitative Research. London- New Delhi: Sage Publications.

Fandy Tjiptono & Anastasia Diana 1996. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi.

Fernandez, C and Yoshida M. 2004. Lesson Study : A Japanese Approach to Improving Mathematics Teaching and Learning. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Publishers.

Garfield, J. 2006. Exploring the Impact of Lesson Study on Developing Effective Statistics Curriculum. (Online): diambil tanggal 19-6-2006 dari: www.stat.auckland.ac.nz/-iase/publication/-11/Garfield.doc.

Harta, I dan Djumadi, 2009, Pendalaman Materi Metode Pembelajaran, Modul PLPG, Departeman Pendidikan Nasional, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Panitia Sertifikasi Guru Rayon 41, Surakarta.
Lewis, Catherine C. 2002. Lesson study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.

Lincoln, Y. S., Guba, E.G., 1984, Naturalistic Inquiry, California: Sage Publication.

Marsidi, A., dkk (2006), Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi Sulawesi Selatan (Laporan Penelitian tidak Terbit)

Miles, B. M., Michael, H., 1984, Qualitative Data Analisys, dalam H.B. Sutopo, Taman Budaya Surakarta dan Aktivitas Seni di Surakarta, Laporan Penelitian, FISIPOL UNS.
Morgan, S. 2001. Teaching Math the Japanese Way (Online). Diambil tanggal 16 Mei 2005 dari: http://www.as1.org/alted/lessonstudy.htm,.

Mulyasa, 2004, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Remaja Rosda Karya, Bandung.

Nung M. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, (edisi III), Yogyakarta: Penerbit Rakesarasin.

Paidi. 2005. Implementasi Lesson Study Untuk Peningkatan Kompetensi Guru dan Kualitas Pembelajaran yang Diampunya. Makalah disampaikan pada acara Diskusi Guru-guru MAN 1 Yogyakarta tanggal 10 Desember 2005.

Robinson N. 2006. Lesson Study: An example of its adaptation to Israeli middle school teachers. (Online): stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/ Robinson proposal.doc

Roger A. Stewart, Jonathan L. Brenderfur, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.681, 7 pgs.
Richardson J. 2006. Lesson study: Teacher Learn How to Improve Instruction. Nasional Staff Development Council. (Online): www.nsdc.org. 03/05/06.

Sagor, R. (1992), How to Conduct Collaborative Action Research, Association for
Supervision and Curriculum Development, Alexandria.

Saito. E. Imansyah. H. dan Ibrohim. 2005. Penerapan Studi Pembelajaran di Indonesia: Studi Kasus dari IMSTEP. Jurnal Pendidikan “Mimbar Pendidikan. No.3. Th. XXIV: 24-32.

Saito. E. 2006. Development of school based in-service teacher training under the Indonesian Mathematics and Science Teacher Education Project. Improving Schools. Vol.9 (1): 47-59

Sa’dun dkk, 2006, Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD. (Laporan Penelitian tidak Terbit)

Sonal Chokshi, Clear Fermandez, 2004, Phi Delta Kappan, Bloomington: Mar 2004. Vol. 85. Iss. 7, pg.520, 6 pgs.

________________, 2005, Phi Delta Kappan, Bloomington: May 2005. Vol. 86. Iss. 9, pg.674, 7 pgs.

Stephen L. Thompson, 2007, Science Activities, Washington: Winter 2007. Vol. 43. Iss. 4, pg.27, 7 pgs.


Subadi T, (2009), Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta, (Laporan Penelitian, DP3M Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.

Sukirman. 2006. Peningkatan Profesional Guru Melalui Lesson Study.Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.

Suparwoto dkk 2006. Inovasi Pembelajaran MIPA di Sekolah dan Alternatif Implementasinya. Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.

Tim Piloting. 2002. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.

___________. 2003. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.

___________. 2004. Laporan Kegiatan Piloting. Yogyakarta: IMSTEP-JICA FMIPA UNY.

Tim Pengembang Sertifikasi Kependidikan. 2003. Pedoman Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kependidikan (draft). Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Ditjen Dikti Depdiknas.

KOMPETENSI GURU DI AMERIKA SERIKAT

Kompetensi Guru di Amerika Serikat

Di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski (2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3) kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keanekaragaman, (6) etika, (7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi. (http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).

Minggu, 25 April 2010

Pembelajaran yang Inovatif

Para Pembaca silahkan unduh tulisan-tulisan saya di blogspot ini GRATIS

Pembelajaran yang Inovatif
Oleh : Tjipto Subadi

Guru adalah jabatan dan pekerja profesioal, indikator untuk mengukur keprofesionalan adalah jika kelas yang diasuh menjadi “surganya siswa untuk belajar”, atau “kehadiran seorang sebagai guru di kelas selalu dinantikan siswa”. (Sugiyanto, 2008: 5). Sudahkah pembelajaran kita mencapai kondisi yang demikian? Selain tugas profesional tersebut guru juga harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator. Jika peran ini dijalankan dengan baik dan benar maka usaha memberikan pelayanan pembelajaran yang optimal kearah pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) Insya Allah dapat dicapai. Perlu diingat bahwa kemampuan menerapkan pendekatan PAIKEM tersebut diperlukan model pembelajaran yang inovatif. Joyce dan Weil (1986) menjelaskan bahwa hakikat mengajar adalah membantu siswa memperoleh informasi, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar.
Banyak model atau strategi pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha meningkatkan kualitas guru. Diantaranya adalah: 1) Model Pembelajaran Kontektual, 2) Model Pembelajaran Quantum, 3) Model Pembelajaran Terpadu, 4) Model Pembelajaran Berbasis Masalah. dan 5) Model Pembelajaran Kooperatif,
1.Model Pembelajaran Kontektual.
Model Pembelajaran Konstekstual (Constextual Teaching and Learning) sering disingkat dengan istilah CTL. Howey (dalam Reese, 2002) mengutip definisi pengajaran kontekstual dari Office of Vocational and Adult Education sebagai pengajaran yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang di dalamnya siswa memanfaatkan pemahaman dan keterampilan akademiknya dalam konteks yang bervariasi baik dalam sekolah maupun diluar sekolah untuk memecahkan situasi atau masalah dunia nyata, baik sendiri maupun secara bersama-sama.
Pembelajaran kontekstual memiliki karateristik, menurut Masnur Muslich (2007) karakteristik pembelajaran kontekstual adalah:
a.Learning in real life setting, yakni pembelajaran yang diarahkan ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau dalam lingkungan yang alamiah.
b.Meaningful learning, yakni pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna.
c.Learning by doing, yakni pembelajaran yang dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
d.Learning in a group, yakni pembelajaran yang dilaksanakan melalui kerja kelompok.
e.Learning to ask, to inquiry, to work together, yakni pembelajaran yang dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerjasama.
f.Learning as an enjoy activity, yakni pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Menurut Nurhadi (2002) pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen pendekatan, yaitu: (1) Constructivism (Konstruktivisme), (2) Inquiry (Menemukan), (3) Questioning (Bertanya), (4) Learning Community (Masyarakat Belajar), (5) Modelling (Pemodelan) (6) Reflection (Refleksi), (7) Authentic Assessment (Penilaian yang Sebenarnya). Penjelasan dari ketujuh komponen tersebut di atas menurut Harta (2009: 41) adalah sebagai berikut;
Constructivism adalah suatu pembelajaran yang menekankan terbentuknya pemahaman siswa secara aktif, kreaktif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Sedangkan inquiry (menemukan) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontektual yang diawali dengan pengamatan terhadap fenomena, yang dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Siklus inkuiri dimulai dari observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpanan.
Quistioning (bertanya). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi pokok dalam pembelajaran yang berbasis kontektual. Strategi ini dipandang sebagai upaya guru yang dapat membantu siswa untuk mengetahui sesuatu, memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Sehingga penggalian informasi menjadi lebih efektif, terjadinya pemantapan pemahaman lewat diskusi., bagi guru bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Learning Community. Masyarakat belajar yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun diluar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Modelling. Maksud dari pemodelan dalam pembelajaran kontektual bahwa pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya cara menggunakan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan, Cara semacam ini akan lebih cepat dipahami oleh siswa. Adapun prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru , contoh yang dapat diperoleh langsung dari ahli yang berkompeten.
Reflection. Refleksi juga bagian penting dalam pembelajaran dengan pendekatan kontektual. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa-apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa lalau. Siswa mengedepankan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya adalah pengayaan dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Adapun prinsip dalam penerapannya adalah perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh respon atas kejadian atau penyampaian penilaian atas pengetahuan yang baru diterima.
Authentic Assessmen. Penilaian yang sebenarnya adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Sehingga penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran berlangsung. Adapun penerapannya adalah untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, penilaian dilakukan secara komprehensif antara penilaian proses dan hasil, guru menjadi penilai yang konstruktif , memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan penilaian diri.

2.Model Pembelajaran Kuantum
Model ini disajikan sebagai salah satu strategi yang dapat dipilih guru agar pembelajaran dapat berlangsung secara menyenangkan (enjoyful learning). Model ini merupakan ramuan dari berbagai teori psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh sebelumnya sudah ada. Penggagas model ini De Porter dalam Quantum Learning (1999: 16) ia menjelaskan bahwa Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori, seperti; Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik, Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Belajar dengan simulusi/permainan.
Ada beberapa karakteristik umum, menurut De Porter dalam Sugiyanto (2008: 11) yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum; 1) Berpangkal pada psikologi kognitif. 2) Lebih bersifat humanistis, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. (3) Lebih bersifat kontruktivistis, bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau naturasionistis. 4) Memadukan menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai konteks pembelajaran. 5) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekedar transaksi makna. 6) Menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. 7) Menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifialan atau keadaan yang dibuat-buat. 8) Menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. 9) Memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10) Memusatkan perhatian pada pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal atau material. 11) Menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting prosespembelajaran. 12) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban. 13) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.

3.Model Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu penting disajikan, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Strandar Isi, IPS dan IPA merupakan mata pelajaran di SMP yangharus disajikan secara terpadu, namun penerapan model pembalajaran terpadu tersebut menemui banyak hambatan dilapangan karena memberikan beban berat bagi guru IPS dan IPA. Hal ini disebabkan: (1) Semua guru IPS dan IPA di SMP tidak ada yang berlatar belakang Pendidikan IPS/IPA tetapi hanya berlatar belakang salah satu pendidikan IPS/IPAyaitu; (sarjana pendidikan sejarah, sarjana pendidikan ekonomi, dan sarjana pendidikan geografi, sarjana pendidikan fisika, sarjana pendidikan biologi, sarjana pendidikan kimia), sehingga materi ajar yang dikuasai guru hanyalah materi salah satu dari rumpun IPS/IPA tersebut. (2) Selama kuliah para guru belum diajarkan mengemas bahan ajar dengan model terpadu.
Model pembelajaran terpadu menurut Ujang Sukamdi dkk (2001: 3) pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Menurut Anitah (2003: 16-17) pembelajaran terpadu mempunyai banyak keuntungan dan kelebihan: (1) Dapat meningkatkan kedalaman dan keluasan dalam belajar. (2) Memberikan kesadaran metakognitif kepada pebelajar. (3) Memudahkan pebelajar untuk memahami alasan mengerjakan sesuatu yang dikerjakan. (4) Hubungan antara isi dan proses pembelajaran menjadi lebih jelas. (5) Tansfer konsep antar isi bidang studi lebih baik.
Menurut Forgaty (1991: 5) membagi 10 model yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran terpadu, yaitu ; (1) Fragmented model, (2) Connected model, (3) Nested model, (4) Sequencedmodel, (5) Share model (6) Webbed model, (7) Threathed model, (8) Networked model , (9) Immersed model, (10) Integrated model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut merupakan suatu kontinum dari model yang terpisah sampai model dengan keterpaduan yang komplek. Dari sepuluh model tersebut menurut Hamid (1997: 112) dapat direduksi menjadi lima langkah untuk perencanaan pembelajaran terpadu, yaitu; (a) pemetaan kompetensi dasar, (b) penetuan tema, (c) Penjabaran KD kedalam indikator, (d) pengembangan silabi, (e) penyusunan skenario pembelajaran.

4.Model PBL (Problem Based Learning)
Problem Based Learning (PBL) atau Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Pembelajaran ini bermula dari suatu program inovasi yang dikembangkan di Kanada oleh Fakultas Kedokteran Universitas McMaster berdasarkan kenyataan bahwa banyak lulusannya yang tidak mampu menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam praktek sehari-hari.
Pembelajaran ini menjelaskan bahwa suatu teknik pembelajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para siswa belajar berpikir kritis dan berlatih memecahkan masalah yang kemudian siswa memperoleh ilmu pengetahuan. Barrow (1996) menjelaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah ini merupakan proses yang aktif, terintegrasi, dan konstruktif yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan kontekstual. Wilkerson dan Gijselaers (1996) menambahkan pembelajaran berbasis masalah ini berpusat pada siswa (students centered), peran guru sebagai fasilitator, dan tersedianya soal terbuka (open ended question) yang digunakan untuk memusatkan perhatian awal untuk belajar.
Ada lima tahapan dalam pembelajaran model PBL atau PBM yang utama, yaitu: 1) Orientasi tentang permasalahan. 2) Mengorganisasikan diri untuk meneliti. 3) Investigasi mandiri dan kelompok 4) Pengembangan ide dan mempresentasikan laporan hasil penyelidikan. 5) Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Banyaknya model pembelajaran tersebut tidaklah berarti semau guru menerapkan semua model untuk setiap bidang studi, karena tidak semua model pembelajaran itu cocok untuk setiap pokok bahasan dalam setiap bidang studi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (1) Tujuan yang akan dicapai. (2) Sifat bahan/materi ajar. (3) Kondisi siswa. (4) Ketersediaan sarana prasarana belajar. Depdiknas (2005) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (a) Berorientasi pada tujuan. (b) Mendorong aktivitas siswa. (c) Memperhatikan aspek individu siswa. (d) Mendorong proses interaksi. (e) Menantang siswa untuk berpikir. (f) Menimbulkan inspirasi siswa untuk berbuat dan menguji. (g) Menimbulkan proses belajar yang menyenangkan. (h) Mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut.

5.Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksilakan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Harta (2009: 45) prinsip dasar pembelajaran kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif, hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suatu teknik yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Lie (2004: 27) dalam Sugiyanto (2008: 10) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah, asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). Siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat eleman-elemen yang saling terkait. Elemen-elemen itu, adalah: (1) Saling ketergantungan positif. (2) Interaksi tatap muka. (3) Akuntabilitas individu. (4) Keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Ada lima tahapan dalam Model Pembelajaran Kooperatif, yaitu; (1) Mengklarifikasi tujuan dan estlablishing set. (2) Mempresentasikan informasi/mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar. (3) Membentuk kerja kelompok belajar. (4) Mengujikan berbagai materi. (5) Memberikan pengakuan. Model Pembelajaran Kooperatif ini dikembangkan menjadi enam model, yaitu: (a) Student Teams Achievement Division (STAD) (b) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (c) Jigsaw (d) Learning Together (e) Group Investigation, dan (f) Cooperative Scripting.
a. Student Teams Achievement Division (STAD)
Suatu model kooperatif yang mengelompokkan berbagai tingkat kemampuan yang melibatkan pengakuan tim dan tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran individual. Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin (1994) metode ini dilaksanakan dengan mengelompokkan siswa yang beranggotakan 4 siswa perkelompok yang berbeda dalam tingkat kemampuannya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) Guru membagi kelas (siswa) menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang heterogin kemampuannya. 2) Guru membagikan topik, lembar kerja akademik kepada tiap-tiap kelompok. 3) Kerja kelompok untuk membahas topik tersebut, anggota kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok. 4) Guru memberikan evaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah mereka pelajari. 5) Guru memberi skore atas pekerjaan dari siswa. 6) Dan kemudian guru memberi hadiah kepada setiap siswa yang berhasil, sebaliknya guru memberi hukuman yang mendidik kepada yang kurang berhasil, misalnya menyanyi, menghafal surat-surat Al Quran yang pendek.
b. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
Suatu model pembelajaran yang komprehenship untuk mengajarkan membaca dan menulis di kelas-kelas atas, para siswa bekerja dalam bebarapa tim yang beranggotakan empat siswa. Stevens & Slavin (1995) dalam Harta (2009: 54) menjelaskan bahwa CIRC adalah suatu program konprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar , terutama untuk kelas 4, 5 dan 6. Adapun gambaran pelaksanaan pembelajaran CIRC antara laian; Para siswa bekerja dalam beberapa kelompok yang masing-masing beranggotakan empat orang. Mereka melakukan serangkaian kegiatan satu sama lainnya, termasuk membacakan, memperkirakan kelanjutan cerita naratif, menyimpulkan cerita yang dibaca siswa lain, merespos suatu cerita, berlatih mengeja, menafsirkan, dan kosa kata.
c. Jigsaw
Jigsaw adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap timnya beranggotakan 4-6 siswa yang akan mempelajari bahan pembelajaran yang telah dibagi atas enam bagian, satu bagian untuk satu anggota . Dalam Jigsaw setiap kelompok akan mempelajari materi yang telah dibagi atas enam bagian. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok (beberapa tim), tiap kelompok/tim anggotanya terdiri dari 4 -6 siswa dengan karakteristik yang heterogen.
2) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
3) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu menkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam ini disebut “kelompok pakar”. (expert group)
4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar.
5) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam “home teams”, para siswa dievaluasi secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw versi Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Individu atau tim yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru.
d. Learning Together
Learning Together adalah suatu pendekatan kooperatif yang setiap kelompok heterogen beranggotakan 4-5 siswa untuk membahas materi secara bersama-sama. Pendekatan kooperatif heterogen yang dikembangkan oleh David Johnson and Roger Johnson (1999) ini menugaskan setiap kelompok bekerja sama untuk membahas suatu materi. Setiap kelompok mengumpulkan hasil pembahasan dan menerima penghargaan berdasarkan apa yang dihasilkan oleh kelompok tersebut. Model ini menekankan pada kegiatan-kegiatan untuk pembentukan kebersamaan kelompok sebelum bekerja dan diskusi dalam kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama.
e. Group Investigation
Menurut Harta (2009: 54) Group Investigation adalah suatu pendekatan kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan teknik inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Hasil penyelidikan kemudian disajikan kepada seluruh kelas.
Menurut pendapat (Sharan & Sharan, 1992) Group Investigation merupakan rencana organisasi kelas biasa di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan model inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Dalam model ini, para siswa membentuk sendiri kelompoknya (2 – 6 orang peserta didik). Setelah memilih subtopik dari topik yang sedang dipelajari oleh seluruh kelas, setiap kelompok memecah subtopik tersebut menjadi tugas-tugas individu untuk dilaksanakan dan dilaporkan sebagai bagian dari tugas kelompok. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan temuannya kepada seluruh kelas.
Adapun langkah-langkah pembelajarannya Group Investigation menurut Sugiyanto (2008: 45-46) adalah: (a) Seleksi topik; Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupunkemampuan akademik. (b) Merencanakan kerja sama; Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (c) Implementasi; Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (d) Analisis dan sintesis; Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas. (c) Penyajian hasil akhir; Semua kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (e) Evaluasi selanjutnya; Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya.
f. Cooperative Scripting
Suatu pengkajian yang menuntut siswa bekerja berpasangan dan secara bergiliran secara lisan menyimpulkan bagian-bagian yang akan dipelajari. Banyak siswa yang menyukai bersama dengan teman sekelas mendiskusikan materi yang mereka dengar atau pelajari di kelas. Formalisasi latihan dengan teman sebaya ini telah diteliti oleh Dansereau (1985) dan rekan-rekannya. Dalam penelitian ini, para siswa belajar berpasangan dan secara bergilir membuat kesimpulan untuk materi yang dipelajarinya. Sementara seorang siswa menyimpulkan untuk rekannya, siswa lainnya mendengarkan dan mengkoreksi setiap kesalahan atau kekurangannya, jika ada. Kemudian kedua siswa bertukar peran, dengan kegiatan yang sama sehingga semua materi telah dipelajari. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan model ini secara konsisten menemukan bahwa para siswa yang mengikuti model ini jauh melebihi siswa yang menyimpulkan atau membaca sendiri (Newbern, Dansereau, Patterson & Wallace, 1994). Penelitian lain menemukan bahwa siswa yang mengajar lebih tinggi dibandingkan dengan rekannya yang berperan sebagai pendengar (Spurlin, Dansereau, Larson & Brooks, 1984; Fuchs & Fuchs, 1997; King, 1997, 1998).

Peran, Tugas, Profesi, serta Kompetensi Guru

Para Pembaca dipersilahkan Unduh tulisan ini GRATIS

Peran, Tugas, Profesi, serta Kompetensi Guru
Oleh: Tjipto Subadi


1. Peran Guru
Peran guru dalam proses pembelajaran, adalah; a) Guru sebagai sumber belajar. b) Guru sebagai fasilitator. c) guru sebagai pengelola. d) Guru sebagai demonstrator. e) Guru sebagai pembimbing. f) Guru sebagai motivator. g) Guru sebagai evaluator.
a. Guru Sebagai Sumber Belajar.
Guru sebagai sumber belajar, karena guru berkaitan erat dengan kemampuan penguasaan materi pembelajaran, ia dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik sehingga benar-benar ia berperan sebagai sumber belajar bagi siswa, apa yang ditanyakan oleh siswa berkaitan dengan materi pembelajaran, ia akan dapat menjawab dengan penuh keyakinan. Sebagai sumber belajar dalam proses pembelajaran hendaknya guru melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Memiliki bahan referensi yang lebih banyak dibandingkan dengan siswa. Guru sering mengakses bahan-bahan dari internet, jurnal-jurnal penelitian, dari buku-buku terbitan terakhir, atau berbagai informasi media masa. 2) Guru dapat menunjukkan sumber belajar yang dapat dipelajari oleh siswa yang biasanya memiliki kecepatan belajar diatas rata-rata siswa lain. 3) Guru perlu melakukan pemetaan tentang materi pelajaran, misalnya dengan menentukan bagian inti (core), yang wajib dipelajari dan dikuasai siswa bagian materi tambahan, bagian materi yang harus diingat kembali karena pernah dibahas, dan lain sebagainya.
b. Guru Sebagai Fasilitator.
Guru berperan dalam memberikan palayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. Sebelum mengajar guru mengarahkan pertanyaan kepada siswa, misalnya apa yang harus dilakukan agar siswa mudah mempelajari bahan pelajaran sehingga tujuan belajar tercapai secara optimal. Pertanyaan tersebut mengandung makna bahwa tujuan mengajar adalah mempermudah siswa belajar. Inilah hakikat peran fasilitator dalam proses pembelajaran. Ada beberapa hal yang harus dipahami agar melaksanakan peran sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran; 1) Guru perlu memahami berbagai jenis media dan sumber belajar beserta fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media sangat diperlukan, belum tentu suatu media cocok digunakan untuk mengajarkan semua materi pelajaran, Setiap media memiliki karakteristik berbeda, 2) guru perlu mempunyai ketrampilan dalam merancang suatu media. Kemampuan merancang media merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional. Dengan perancangan media yang dianggap cocok akan mempermudahkan proses pembelajara, sehingga pada gilirannya tujuan pembelajaran akan tercapai optimal, 3) guru dituntut untuk mampu mengorganisasikan berbagai jenis media serta dapat mengikuti perkembangan teknologi mutakhir, 4) guru dituntut agar mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa secara efektif.
c. Guru Sebagai Pengelola.
Guru sebagai pengelola pembelajaran berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar dangan menyenangkan. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa. Dalam hubungannya dengan pengelolaan pembelajaran, Alvin C. Eurich menjelasakn prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru, sebagai berikut; 1) Segala sesuatu yang dipelajari oleh siswa, sebaiknya siswa belajar sendiri, 2) Setiap siswa memiliki kecepatan belajar masing-masing. 3) Seorang siswa akan belajar lebih banyak apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement. 4) Penguasaan secara penuh dari setiap langkah memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti. 5) Apabila siswa diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar. Dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran ada dua macam kegiatan yang harus dilakukan, yaitu mengelola sumber belajar dan melaksanakan peran sebagai umber belajar itu sendiri. Selain itu sebagai pengelola, guru memiliki empat fungsi umum, yaitu : (1) Merencanakan tujuan belajar, (2) Mengorganisir berbagai sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar, (3) Memimpin, yamg meliputi memotivasi, mendorong dan menstimulasi siswa. (4) Mengawasi segala sesuatu, apakah sudah berfungsi sebagaimana mestinya atau belum dalam rangka pencapaian tujuan.
d. Guru Sebagai Demonstrator.
Guru peran untuk mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan. Ada dua konteks peran guru sebagai demonstrator. (1) Guru harus menunjukkan sikap-sikap yang terpuji, dalam setiap aspek kehidupan guru merupakan sosok ideal bagi setiap siswa. Dengan demikian, dalam konteks ini guru berperan sebagai model dan teladan bagi setiap siswa. (2) Guru harus dapat menunjukkan bagaimana caranya agar setiap materi pelajaran dapat lebih dipahami dan dihayati oleh setiap siswa. Oleh karena itu, sebagai demonstrator erat kaitannya dengan pengaturan strategi pembelajaran yang efektif.
e. Guru Sebagai Pembimbing.
Guru berperan menjaga, mengarahkan, membimbing agar siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang ideal yang menjadi harapan setiap orang tua dan masyarakat. Agar guru dapat berperan sebagai pembimbing yang baik, maka ada beberapa hal yang harus dimiliki, diantaranya; (1) Guru harus memiliki pemahaman tentang siswa yang sedang dibimbingnya. Misalnya, pemahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar serta tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak. (2) Guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan, baik merencanakan tujuan dan kompetensi yang dicapai maupun merencanakan proses pembelajaran.
f. Guru Sebagai Motivator.
Guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa dengan cara; 1) Memperjelas tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. 2) Membangkitkan minat siswa. Siswa akan terdorong untuk belajar apabila mereka memiliki minat belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, di antaranya; a) Menghubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh apabila ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. b) Mesesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa akan tidak diminati oleh siswa. c) Menggunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain. d) Menciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. e) Memberikan pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa. f) Memberikan penilaian. g) Memberikan komentar terhadap hasil pekerjaan siswa. h) Menciptakan kompetisi dan kerjasama.
g. Guru Sebagai Evaluator.
Guru berperan untuk mengumpulkan data atas informasi tentang keberhasilan pembelajaran yang telah dilakukan. Terdapat dua fungsi dalam memerankan perannya sebagai evaluator; (1) untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan atau menentukan keberhasilan siswa dalam menyerap materi kurikulum. (2) untuk menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah diprogramkan.


2. Tugas Pokok Guru
Selain beberapa peran guru yang telah diuraikan di atas harus disadari pula tugas pokok seorang guru. Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 Tugas Pokok Guru, adalah; a) Guru Sebagai Pendidik. b) Guru Sebagai Pengajar. c) Guru Sebagai Pembimbing. d) Guru Sebagai Pengarah. e) Guru Sebagai Pelatih. f) Guru Sebagai Penilai dan Pengevaluasi dari Peserta Didik.
a. Guru Sebagai Pendidik.
Guru adalah pendidik yang memiliki tanggung jawab utuh terhadap hasil yang dicapai peserta didik dalam semua aspek, menjadi tokoh, panutan bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus mempunyai standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung-jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Guru harus memahami nilai-nilai, norma-moral sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya dalam proses pembelajaran di sekolah.
h. Guru Sebagai Pengajar.
Di dalam tugasnya, guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari. Guru berperan dalam melakukan transfer ilmu dan nilai sehingga tujuan pendidikan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai.
i. Guru Sebagai Pembimbing.
Guru sebagai pembimbing dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang bertanggung-jawab. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
j. Guru Sebagai Pengarah.
Sebagai pengarah guru harus mampu mengarahkan peserta didik dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengarahkan peserta didik dalam mengambil suatu keputusan terkait studinya maupun kehidupan yang lebih luas. Guru juga dituntut untuk mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya, sehingga peserta didik dapat membangun karakter yang baik bagi dirinya dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
k. Guru Sebagai Pelatih.
Aspek pendidikan mencakup kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan ketrampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar sesuai dengan potensi masing-masing peserta didik.
l. Guru Sebagai Penilai.
Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran peserta didik. Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan teknik yang sesuai. Penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut. Maka, guru perlu memiliki pemahaman, kesiapan, pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang memadai dalam bidang evaluasi.

3. Profesi Guru
Boaduo dan Babitseng (2007) mendefinisikan professi sebagai: an occupation with a set of competencies based on knowledge acquired through many years of both academic and professional training. The goal of its members is commitment to service guided by specific code of ethics. The rofession is granted autonomy and public recognition to provide a service considered essential by society through a regulatory body responsible for establishing and maintaining standards through mechanisms such as credentialing, standards of practice, competence and registration. (Suatu profesi adalah suatu jabatan dengan suatu perangkat kemampuan berdasar pada pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yeng profesional. Gol dari anggotanya adalah kesanggupan untuk melayani yang dipandu oleh kode etika. Profesi diwarisi otonomi dan pengenalan publik untuk menyediakan suatu jasa penting yang dibutuhkan oleh masyarakat melalui suatu pengatur badan yang bertanggung jawab untuk menetapkan dan pemeliharaan standard melalui mekanisme seperti yang surat kepercayaan diplomatik, standard praktek,kemampuan/wewenang dan pendaftaran). (http://www.Learning-Journal.com diakses pada 12/11/2008 13:12)
Untuk mempertajam analisis tentang profesi, dapat dilihat penjelasan Ornstein dan Levine (dalam Soetjipto dan Kosasi, 1994: 15) bahwa profesi adalah jabatan yang mengandung pengertian;
a. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak berganti-ganti pekerjaan).
b. Memerlukan bidang ilmu dan ketrampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
c. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek (teori baru di kembangkan dari hasil penelitian).
d. Memerlukan latihan khusus dengan waktu yang panjang.
e. Terkendali berdasarkan lisensi baku dan/atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya.
f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu atau adanya persyaratan tertentu (tidak teratur orang lain).
g. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak pindah ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan untuk kerja yang baku.
h. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.
i. Menggunakan administrator untuk memindahkan profesinya; relatif bebas dari supervisi dalam jabatan (misalnya: dokter memakai tenaga administrator untuk mendata klien, sementara tidak ada supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter itu sendiri).
j. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k. Mempunyai profesi dan atau kelompok elit untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan.
l. Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyaksikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari publik kepercayaan diri setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayani).
n. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila di banding dengan jabatan lainnya).
Dengan demikian dapat disimpulakn bahwa profesi merupakan pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian yang didapat dari proses pendidikan, digunakan untuk melayani masyarakat, dibawah pengawasan kode etik dan lembaga profesi. Profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang dan hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang terdidik yang sudah disiapkan untuk menekuni bidang pendidikan. Menurut Umar Hamalik dalam Yamin (2006: 7) menjelaskan bahwa guru profesional harus memiliki persyaratan yang meliputi: 1) Memiliki bakat sebagai guru. 2) Memiliki keahlian sebagai guru. 3) Memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi. 4) Memiliki mental yang sehat. 5) Berbadan sehat. 6) Memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas. 7) Berjiwa Pancasila. 8) Merupakan warga negara yang baik.
Sedangkan menurut Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7, profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme. (2) Memiliki komitmen untuk meningkat mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. (3) Memiliki kualitas akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. (4) Memilik kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas (5) Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan (6) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. (7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. (8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dan (9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Tuntutan profesionalisme guru terus didengungkan oleh berbagai kalangan di masyarakat, termasuk kalangan guru sendiri melalui berbagai organisasi guru yang ada. Disamping tuntutan perbaikan taraf hidup guru, mereka berharap untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia, Tuntutan profesionalisme guru dijawab pemerintah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang tersebut guru diposisikan sebagai suatu profesi sebagaimana profesi dokter, hakim, jaksa, akuntan dan profesi - profesi lain yang akan mendapat penghargaan sepadan sesuai dengan profesinya masing-masing. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional seperti yang dimaksudkan di atas dibuktikan dengan sertifikasi pendidik.
Berdasarkan pertimbangan dan misi menjadikan pendidik sebagai tenaga professional, Pemerintah Republik Indonesia dengan UU No. 14 tahun 2005 melakukan berbagai langkah strategi yang meliputi:
1) Penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi akademik dan kompetensi.
2) Pemenuhan hak dan kewajiban guru sebagai tenaga profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas.
3) Penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.
4) Penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian para guru.
5) Peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas profesional.
6) Peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional.
7) Penguatan kesetaraan antara guru yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan guru yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
8) Penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga professional.
9) Peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru.

4. Kompetensi Guru
Menurut Charles (1994 dalam Mulyasa, 2007: 25) kompetensi adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sarimaya (2008: 17) memaknai kompetensi guru sebagai kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bewujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran. Sedangkan menurut Broke and Stone dalam Mulyasa (2007: 25) kompetensi guru sebagai; descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful (kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti).
Dari pendapat tersebut di atas, maka jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi. Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu. Sehingga kompetensi guru dapat dianggap kompeten jika memiliki kemampuan, pengetahuan dan sikap yang mampu mendatangkan apresiasi bagi guru.
Suparno (2003: 47-53) menjabarkan tiga kompetensi guru yang harus dimiliki dan selalu dikembangkan oleh guru agar dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan maksimal. Tiga kompetensi tersebut, ialah; a) Kemampuan Kepribadian. b) Kemampuan Bidang Studi. c) Kemampuan dalam Pembelajaran dan Pendidikan.
a. Kemampuan Kepribadian.
Kemampuan ini lebih menyangkut jati diri guru sebagai pribadi yang baik, tanggung jawab, terbuka dan terus belajar untuk maju. Untuk itu hal hal yang mesti ditekankan kepada guru ialah beriman dan bermoral, aktualisasi diri yang tinggi sebagai bentuk tanggung jawab, berdisiplin serta mau terus mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.
b. Kemampuan Bidang Studi.
Kemampuan ini memuat pemahaman akan karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsep, mengenal metodologi ilmu, memahami konteks ilmu yang diajarkan dan kaitanya ilmu tersebut dengan ilmu lain serta dengan masyarakat. Untuk itu guru dituntut untuk: menguasai bahan yang menjadi tugasnya, memahami metode ilmu tersebut bekerja dan memahami konteks ilmu tersebut dengan kondisi kekinian.
c. Kompetensi dalam Pembelajaran dan Pendidikan.
Kemampuan ini memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembanganya, mengerti konsep pendidikan, menguasai metode pengajaran, serta menguasai evaluasi sehingga mampu meningkatkan kemampuan siswa. Untuk kompeten dalam hal itu, guru mesti mengenal peserta didik, menguasai teori tentang pendidikan dan menguasai bermacam macam model pembelajaran serta teknik evaliasi pembelajaran.
Sedangkan menurut Undang Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dalam rangka melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa Standar kompetensi guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu: 1) Kompetensi Pedagogik. 2) Kompetensi Kepribadian. 3) Kompetensi Sosial. 4) Kompetensi Profesional.
1) Kompetensi Pedagogik.
Yang termasuk kompetensi pedagogik antara lain (1) memahami peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3) melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran dan (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2) Kompetensi Kepribadian.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil, bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik, konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik.
3) Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam hal menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi antara lain; (1) menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan. (2) memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4) Kompetensi Sosial.
Kompetensi ini antara lain; (1) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; (2) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan; (3) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

Sebagai perbandingan, di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski (2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3) kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keaneka ragaman, (6) etika, (7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi. (http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).